Bab 4 TARIAN BAYANGAN DAN BISIKAN RACUN
Kembalinya Weilong dari perburuan disambut oleh istana yang berbisik. Bukan tentangnya, bukan tentang hasil buruannya yang melimpah, tetapi tentang sesuatu yang lebih beracun, lebih mematikan—sebuah rumor yang mulai menyebar seperti kabut di pagi hari, menyusup ke setiap celah dan koridor.
Weilong, dengan jiwa yang masih segar oleh udara hutan dan kepuasan sebuah perjalanan yang sukses, awalnya tidak menyadarinya. Dia bergegas ke kamarnya, ingin berbagi cerita dengan Keke, ingin melihat cahaya di matanya saat dia menceritakan bagaimana dia mengejar rusa jantan yang perkasa.
Dia menemukannya duduk di dekat jendela, menyulam. Posturnya tegang, dan ada lingkaran hitam samar di bawah matanya yang membuat hatinya tersentuh. Dia tampak… lebih kurus, seolah-olah didera oleh sesuatu yang tidak bisa dia katakan.
“Keke,” sapanya, suaranya penuh kehangatan yang membuatnya terkejut.
Keke menoleh, dan untuk sepersekian detik, dia melihat sebuah ketakutan yang dalam di matanya sebelum itu hilang, digantikan oleh senyuman lemah yang sudah terlalu sering dia tunjukkan akhir-akhir ini.
“Tuanku sudah kembali,” bisiknya, meletakkan sulamannya dan membungkuk. “Hamba harap perjalanan Tuanku menyenangkan.”
“Menyenangkan sekali,” jawab Weilong, menariknya ke dalam pelukan. Dia menyadari dia sedikit kaku. “Ada apa? Kau tidak sehat?”
“Tidak, Tuanku. Hamba hanya… kurang tidur,” jawab Keke, wajahnya terkubur di bahunya, menghindari pandangannya.
Weilong mendesah, mencium bagian atas kepalanya. “Istana bisa menjadi tempat yang melelahkan. Aku di sini sekarang. Kau bisa beristirahat.”
Tapi ketegangan itu tidak pergi. Itu menggantung di antara mereka seperti dinding yang tak terlihat.
Keesokan harinya, selama pertemuan dengan para menteri, Weilong mulai merasakannya. Tatapan yang terlalu lama dari beberapa pejabat tua, bisikan yang tiba-tiba berhenti ketika dia mendekat. Seorang paman jauhnya, seorang bangsawan tua yang dikenal karena mulutnya yang tajam, mendekatinya setelah rapat.
“Pangeran Weilong, perburuan yang sukses, kudengar,” katanya, matanya berbinar dengan kilatan yang tidak menyenangkan.
“Terima kasih, Paman,” jawab Weilong dengan sopan.
“Ya, memang baik untuk meninggalkan istana sesekali,” lanjut bangsawan tua itu, menurunkan suaranya. “Membersihkan pikiran dari… segala macam kotoran yang mungkin coba menempel.” Dia menepuk bahu Weilong dengan makna sebelum pergi, meninggalkan Weilong berdiri dengan perasaan tidak enak yang tidak dapat dijelaskan.
Rasa tidak enak itu berubah menjadi kecurigaan yang mengerikan ketika dia bertemu dengan Permaisuri, ibu tirinya, di taman. Permaisuri Hui, seorang wanita dengan kecantikan yang dingin dan elegan seperti es, sedang memberi makan ikan mas di kolam.
“Weilong,” ucapnya dengan senyum tipis. “Selamat atas kembalimu. Aku dengar selirmu, Keke, agak kesepian selama ketidakhadiranmu.”
Weilong membeku. “Apa maksudmu, Ibu?”
Permaisuri Hui mengedipkan mata, pura-pura tidak bersalah. “Oh, hanya itu. Dia terlihat sering berkeliaran di sayap barat sendirian. Dekat dengan perpustakaan pribadi Kaisar. Tempat yang sunyi untuk seorang selir muda yang kesepian, bukan?” Dia melemparkan sejumput makanan ikan lagi ke air. “Tapi tentu saja, dia pasti sedang mencari buku untuk membacanya. Dia memang dikenal… rajin.”
Petir menyambar jiwa Weilong. Sayap barat. Perpustakaan pribadi Kaisar. Ayahnya. Keke. Potongan-potongan itu mulai membentuk gambaran yang membuatnya mual.
Dia membanting pintu kamarnya saat kembali, membuat Keke yang sedang duduk melompat ketakutan.
“Tuanku? Apa yang terjadi?” tanyanya, matanya membesar.
Weilong berjalan mondar-mandir, napasnya berat. “Apa yang kau lakukan saat aku pergi?” tanyanya tiba-tiba, suaranya lebih keras dari yang dimaksudkan.
Keke pucat. “Hamba… hamba tidak melakukan apa-apa, Tuanku. Hamba tinggal di kamar, menyulam, membaca…”
“Membaca?” Weilong menyeringai, mendekatnya. “Di mana? Di perpustakaan pribadi Kaisar, mungkin?”
Dia melihatnya—ketakutan yang nyata, seperti kilat, di mata Keke. Itu adalah pengakuan yang lebih jelas daripada kata-kata apa pun.
“Siapa yang memberitahumu itu?” bisik Keke, suaranya nyaris tidak terdengar.
“Jadi itu benar?” desis Weilong, hancur. “Apa yang kau lakukan di sana? Apa yang dia lakukan padamu?”
Air mata mulai mengalir di pipi Keke. “Tidak… Tidak seperti yang Tuanku pikirkan! Yang Mulia hanya… hanya kebetulan lewat. Kami hanya berbicara!”
“BERBICARA?” raung Weilong, amarah dan rasa sakitnya akhirnya meledak. “Apakah kau pikir aku bodoh, Keke? Seluruh istana berbisik! Mereka mengatakan kau dan ayahku… bahwa kau…” Dia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Rasa sakitnya terlalu besar.
Keke jatuh berlutut, tangannya meraih jubah Weilong. “Tuanku, mohon! Itu tidak benar! Mereka iri! Mereka ingin menjatuhkanku! Hamba mencintaimu! Hanya kamu!” Dia menangis tersedu-sedu, tubuhnya terguncang.
Weilong melihatnya—wanita yang dia cintai, hancur di kakinya. Dia melihat kepolosannya, ketakutannya. Dan di balik amarahnya, cintanya yang dalam berbicara lebih keras. Tidak mungkin, bisik hatinya. Tidak mungkin dia melakukan ini. Tidak mungkin dia mengkhianatiku seperti ini. Dia korban dari rumor jahat, dari istana yang kejam.
Dia membungkuk, pelan, dan mengangkatnya. Tangannya, yang sebelumnya gemetar karena marah, sekarang lembut saat membelai rambutnya.
“Diam,” bisiknya, suaranya serak. “Diam, Sayangku. Aku… aku percaya padamu.”
Keke menatapnya, matanya penuh dengan keheranan dan rasa bersalah yang tak tertahankan. “Benarkah?”
“Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu,” janji Weilong, menariknya lebih dekat. “Aku akan membungkam setiap mulut yang berani menyebarkan fitnah tentangmu. Kau milikku. Dan aku melindungi milikku.”
Itu adalah sebuah keputusan. Sebuah penyangkalan terhadap bukti yang mulai bermunculan, terhadap bisikan yang masuk akal. Itu adalah pilihan untuk mencintai dan mempercayai, meskipun ada keraguan.
Malam itu, Weilong membuat cintanya seperti sebuah benteng. Dia membuat cinta padanya dengan kelembutan yang hampir putus asa, seolah-olah dengan sentuhannya dia dapat menghapus semua kenangan buruk, semua bayangan ayahnya. Dia berusaha untuk tidak kasar, tidak menuntut. Dia penuh perhatian, hampir menyembah.
Dan Keke, yang dihantui oleh kata-kata Weilong dan bayangan Lushang, merespons dengan sebuah gairah yang putus asa juga. Dia berusaha untuk hadir sepenuhnya, untuk membenamkan dirinya dalam cinta Weilong, untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa inilah yang dia inginkan, inilah kebenarannya. Setiap sentuhan, setiap ciuman, adalah sebuah doa, sebuah permintaan maaf, sebuah upaya untuk melarikan diri dari cengkeraman Kaisar.
Bagi Weilong, itu adalah konfirmasi. Lihatlah betapa dia mencintaiku, pikirnya. Lihatlah betapa dia menginginkanku. Mustahil dia akan membagikan keintiman seperti ini dengan orang lain.
Bagi Keke, itu adalah neraka. Setiap kali dia memejamkan mata, dia membayangkan wajah Lushang. Setiap kali Weilong membelainya, dia membandingkannya dengan cengkeraman kasar Kaisar. Dia memuncak dengan jeritan yang teredam, sebuah campuran dari kenikmatan, rasa sakit, dan rasa bersalah yang begitu kuat sehingga dia ingin menghilang.
Keesokan paginya, Weilong bangkit dengan tekad baru. Dia adalah Putra Mahkota. Dia akan menegakkan kekuasaannya. Dia secara terbuka memperingatkan para pelayan untuk tidak menyebarkan gosip. Dia menghadiahkan Keke dengan kalung mutiara yang indah, sebuah pernyataan tegas tentang status dan perlindungannya. Dia bahkan, dengan hati yang berat, menghadap Kaisar.
“Ayah,” katanya, membungkuk di hadapan takhta. “Ada rumor tidak menyenangkan yang beredar di istana. Mengenai Selirku, Keke, dan… dirimu.”
Lushang, yang duduk di takhtanya, mengangkat alisnya. Wajahnya adalah topeng yang sempurna dari kebingungan yang tidak bersalah. “Rumor? Tentang apa?”
“Mereka… mereka mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak pantas antara kalian berdua,” kata Weilong, berusaha keras untuk menjaga suaranya tetap stabil.
Lushang tertawa, sebuah suara yang keras dan tidak peduli. “Omong kosong! Weilong, kau terlalu lelah. Istana selalu penuh dengan desas-desus yang dibuat-buat oleh orang-orang yang bosan. Gadis itu… Keke, bukan? Dia cantik, ya. Tapi dia milikmu. Aku bukan orang yang akan mengambil apa yang menjadi milik putraku sendiri.” Dia menggelengkan kepala, berpura-pura kasihan. “Orang-orang jahat, mencoba meracuni pikiranmu. Jangan biarkan mereka.”
Weilong ingin percaya. Dia benar-benar ingin. Tapi sesuatu dalam nada ayahnya, dalam kilatan cepat di matanya, terasa salah.
Dia meninggalkan ruang takhta dengan perasaan tidak tenang. Dia telah melakukan segalanya—mempercayai Keke, menghadapi para pengumpat, bahkan menghadap Kaisar. Tapi bayangan itu tidak pergi. Itu hanya menyusut, bersembunyi di sudut-sudut gelap pikirannya, menunggu untuk muncul kembali.
Dan Keke, dengan kalung mutiara baru yang terasa seperti belenggu di lehernya, menyadari bahwa dia tidak melarikan diri. Dia hanya telah menggali lubangnya lebih dalam. Perlindungan Weilong membuatnya semakin dicemburui. Penyangkalan Weilong membuat pengkhianatannya semakin memualkan. Dan Kaisar, dia tahu, akan menganggap tindakan Weilong sebagai tantangan.
Perangkap itu mengencangkan cengkeramannya, dan tarian bayangan mereka yang berbahaya terus berlanjut, sekarang dengan tambahan pemain: kecurigaan yang tertanam dalam hati sang Putra Mahkota, dan sebuah kebohongan besar yang suatu hari nanti harus dihadapi oleh mereka semua.
