BAB 5 PESTA, GAUN, DAN LUKA YANG TERBUKA
Istana Azure gempar. Kelahiran Putra Mahkota Weilong adalah sebuah peristiwa besar yang harus dirayakan dengan pesta yang tak tertandingi. Selama berminggu-minggu, para pelayan sibuk seperti semut, menghiasi setiap sudut dengan lentera merah dan bunga peony. Aroma daging panggang dan kue-kue manis memenuhi udara, menciptakan suasana riang yang hampir berhasil menutupi bisikan-bisikan beracun yang masih berseliweran.
Bagi Keke, perayaan ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ini adalah pengukuhan posisinya. Dia telah memberikan seorang putra pada dinasti. Statusnya sebagai Selir yang dicintai dan produktif tak terbantahkan. Di sisi lain, kehamilan dan kelahiran ini telah menjadi pengingat abadi akan rahasia terbesarnya. Setiap tatasan pada bayi laki-laki yang sehat itu—mencari kemiripan dengan Weilong atau, yang lebih menakutkan, dengan Lushang—adalah siksaan baginya.
Malam pesta tiba. Aula utama istana berkilauan dengan cahaya ribuan lilin dan lentera. Para bangsawan dan selir berkumpul dengan pakaian mereka yang paling mewah, berbisik dan tertawa, mata mereka berbinar-binar menyaksikan pertunjukan kekuasaan dan kekayaan ini.
Keke berdiri di depan cermin di kamarnya, mengenakan hanfu sutra yang dibuat khusus untuknya. Warnanya merah merona, bordir naga dan phoenix berbenang emas melingkari tubuhnya. Itu adalah gaun yang layak untuk seorang permaisuri, bukan sekadar selir. Hadiah dari Weilong. Sebuah pernyataan.
Weilong sendiri berdiri di belakangnya, tangan di atas pundaknya, matanya memantulkan kebanggaan dan kepuasan di cermin. “Kau luar biasa,”bisiknya, mencium rambutnya. “Malam ini, kau adalah ratu istana.”
Keke memaksakan senyuman. Rasa bersalah menggerogotinya, tajam seperti pisau. “Ini semua berkat Tuanku.”
“Tidak,” bantah Weilong lembut. “Ini berkat kamu. Kau telah memberiku hadiah terbesar.” Matanya jatuh pada buaian di sudut ruangan, tempat putra mereka tertidur lelap.
Tiba-tiba, ada keributan di luar. Seorang pelayan membungkuk masuk. “Yang Mulia Kaisar menghadiahkan hadiah untuk Selir Keke.”
Keke membeku. Weilong mengernyit, tapi kemudian menganggap. “Biarkan hadiahnya dibawa masuk.”
Hadiahnya bukanlah kotak biasa. Itu adalah sebuah screen lipat yang indah, terbuat dari kayu sandalwood dan dilukis dengan tangan. Adegannya menggambarkan seekor phoenix yang sedang menari, bulu-bulunya berwarna merah dan emas yang memesona, matanya yang berbinar terbuat dari batu giok hijau kecil. Phoenix itu terlihat perkasa, bebas, dan memesona.
Semua orang berdecak kagum. Tapi Keke melihat lebih dekat. Di sudut kanan bawah, hampir tak terlihat, ada ukiran kecil seekor naga yang hampir tersembunyi di antara awan, matanya—dari giok yang sama—tertuju pada phoenix.
Pesan itu jelas. Hanya untuknya. Kau phoenix-ku. Kau milikku. Aku mengawasimu.
Weilong, yang tidak melihat detailnya, tersenyum. “Hadiah yang indah. Ayah sangat dermawan.”
Keke merasa ingin muntah. “Sangat… dermawan,” dia mengulangi, suaranya serak.
Pesta berlangsung meriah. Keke duduk di samping Weilong, menerima ucapan selamat, tersenyum sampai rahangnya sakit. Dia berusaha mati-matian untuk tidak menatap ke arah takhta tinggi tempat Lushang duduk, Permaisuri Hui di sampingnya dengan senyum tipis yang tidak pernah mencapai matanya.
Lushang, bagaimanapun, tidak bisa menahan diri. Saat pesta mencapai puncaknya dan anggur mengalir deras, dia berdiri dan mengangkat pialanya. “Untuk Putra Mahkota!Untuk Selir Keke! Dan untuk masa depan Kerajaan Azure yang cerah!” soraknya.
Semua orang bersorak. Lushang menurunkan pialanya, matanya menatap langsung Keke melalui kerumunan. “Selir Keke. Keberhasilanmu adalah keberhasilan kita semua. Kau telah membawa kehormatan besar bagi istana. Aku, khususnya, merasa… sangat bangga.”
Kata-katanya bermuatan double meaning yang membuat Keke merasa dingin. Dia membungkuk rendah, menyembunyikan wajahnya yang pucat. “Hamba berterima kasih atas kebaikan Yang Mulia.”
Weilong, yang mulai mabuk oleh anggur dan kebahagiaan, hanya memeluk pundak Keke lebih erat. “Dengarkan, Sayang! Bahkan Ayah memujimu!”
Malam semakin larut. Keke, yang lelah dan kewalahan, memohon izin untuk beristirahat sebentar. Weilong, yang sedang asyik berdiskusi tentang strategi militer dengan para jenderal, mengangguk absen.
Keke menyelinap keluar ke teras yang sepi, menghirup udara malam yang segar, berusaha menenangkan diri yang bergejolak. Dia berdiri di dekat pagar, memandangi bulan yang sama yang menyaksikan dosa-dosanya.
Tiba-tiba, sebuah bayangan muncul di sampingnya. Dia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Wangi kayu sandalwood dan kekuasaan sudah cukup.
“Gaunmu… sangat memesona,” bisik Lushang, suaranya rendah dan berbahaya. “Merah sangat cocok untukmu. Warna darah. Warna nafsu. Warna ku.”
Keke menutup mata, berusaha keras tidak gemetar. “Yang Mulia, tolong… ini terlalu berisiko.”
“Risiko?” Lushang mendesah, berpura-pura bosan. “Hidup adalah risiko, Burung Kecil. Tapi kau lihat, bukan? Hadiahku. Kau mengerti, bukan? Kau mungkin berbaring di ranjangnya, tapi kau masih bernyanyi untukku.”
Dia menyentuh lengannya, sentuhan yang cepat dan menyengat seperti sengatan kalajengking melalui kain sutra. “Dia bahkan tidak melihat. Dia terlalu sibuk bermain pahlawan. Apakah dia memberitahumu bagaimana dia membunuh rusa itu? Dengan satu panahan yang bersih? Anak yang membanggakan.”
Keke menarik napas tajam. Lushang tahu detailnya. Weilong telah membanggakan hal itu padanya pagi tadi. Itu artinya… Lushang memiliki mata dan telinga di mana-mana. Bahkan di dalam kamar tidur mereka.
“Aku merindukanmu,” bisik Lushang, suaranya tiba-tiba penuh dengan keinginan yang buas dan tidak tersembunyi. “Bulan-bulan ini… terlalu lama. Sekarang kau sudah pulih… kita harus merayakannya.”
Sebelum Keke bisa bereaksi, dia sudah pergi, menyelinap kembali ke dalam keramaian seperti bayangan.
Keke berdiri di sana, menggigil, perasaan terancam dan terhina. Dia bukan seorang selir yang dirayakan. Dia adalah sebuah properti yang diperebutkan oleh dua penguasa, dan salah satunya tidak akan pernah melepaskannya.
Ketika dia kembali ke pesta, dia mencoba mencari kenyamanan dalam pelukan Weilong, tetapi rasanya seperti penipuan. Dia menatap bayinya yang tidur, dan sebuah ketakutan yang mengerikan menyergapnya. Apa yang akan terjadi padamu jika rahasia kita terbongar?
Pesta akhirnya berakhir. Weilong, yang mabuk berat, dibopong oleh para pelayan ke kamar tidur. Keke mengikutinya, hati berat.
Saat dia membaringkannya di tempat tidur, Weilong meraih tangannya, matanya berkaca-kaca karena anggur dan emosi. “Keke,”gumannya, “malam ini… sempurna. Kau sempurna. Aku mencintaimu. Kau tahu itu, bukan? Aku akan melakukan apa pun untukmu. Melindungimu dari apa pun.”
Dia tertidur seketika, masih menggenggam tangannya.
Keke duduk di sampingnya, air mata akhirnya mengalir deras. Kata-kata Weilong adalah belati yang menikam hatinya. Dia begitu polos, begitu percaya.
Dia mendekatkan bibirnya ke telinganya yang tidak sadarkan diri dan berbisik, suaranya hancur oleh isakan, “Maafkan aku, Weilong. Maafkan aku.”
Di seberang istana, di kamarnya yang megah, Lushang berdiri di depan screen phoenix hadiahnya. Sebuah senyuman puas menghiasi bibirnya. Dia telah menanam benih keraguan dan ketakutan lagi. Dia telah mengingatkan Keke siapa yang memegang kendali sebenarnya.
Pesta mungkin sudah berakhir, tetapi permainannya—permainan kucing dan tikus yang berbahaya dan mematikan—baru saja memasuki babak baru. Dan kali ini, taruhannya lebih tinggi dari sebelumnya: seorang bayi yang tidak bersalah yang masa depannya tergantung pada kebohongan ibunya yang rapuh.
