Pustaka
Bahasa Indonesia

Oh My Emperor

28.0K · Tamat
Jackie Boyz
27
Bab
179
View
9.0
Rating

Ringkasan

21++Di Balik Kemilau Emas, Tersembunyi Nafsu yang Membara Dalam kemegahan Istana Kerajaan Azure, di mana setiap lengkungan emas menyimpan rahasia dan setiap bisikan adalah senjata, terletaklah kisah cinta dan pengkhianatan yang paling mematikan. Keke, seorang gadis cantik yang dibesarkan dalam dinginnya kehidupan pelayan, melihat kesempatan untuk mengubah takdirnya ketika dia menarik perhatian Pangeran Weilong, pewaris tahta yang tampan dan perkasa. Melayani dengan setia, dia membangun gambaran kesempurnaan di mata pangeran—lembut, patuh, dan sepenuhnya miliknya. Namun, istana adalah labirin bayangan, dan Keke tidak hanya menarik perhatian satu penguasa. Kaisar Lushang, ayah Weilong, seorang pria yang digerakkan oleh nafsu dan kebosanan akan kemewahannya sendiri, melihat dalam diri Keke sebuah keindahan liar yang ingin dikuasainya. Apa yang dimulai sebagai kunjungan rahasia di kamar pelayannya yang sempit dengan cepat berubah menjadi hubungan terlarang yang penuh gairah dan bahaya. Keke, cerdik dan ambisius, melihat dalam diri Kaisar bukan hanya seorang kekasih, tetapi juga tangga menuju ambisinya. Dengan bisikan manis di atas bantal, dia merangkai permintaannya: sebuah tempat di harem putranya sendiri. Dengan kekuasaan Kaisar, Keke pun diangkat menjadi Selir Junior Pangeran Weilong. Dia akhirnya memiliki tempat di atas ranjang emas, dikelilingi sutra, dan dipandang dengan cinta dan penghormatan oleh seorang pria yang dia mulai kasihi secara tulus. Namun, kenyataan itu beracun. Kaisar Lushang tidak melepaskannya begitu saja. Dalam kegelapan malam, ketika Weilong percaya istrinya sedang beristirahat, Keke terpaksa memenuhi hasrat ayah mertuanya, tubuhnya menjadi medan perang bagi dua penguasa, hatinya terkoyak antara cinta sejati dan ambisi buta. Istana pun mulai membisikkan kebenaran yang memalukan. Selir-selir yang cemburu, pelayan yang waspada, dan dinding yang seolah memiliki telinga mulai menyebarkan skandal terbesar yang pernah melanda dinasti. Weilong, yang tergila-gila pada istri cantiknya, menolak untuk mempercayai desas-desus itu. Bagaimana mungkin wanita yang selalu menyambutnya dengan senyuman lembut dan kehangatan tulus bisa melakukan pengkhianatan sedemikian hina? Sampai suatu hari, di taman istana yang terlarang, dia menyaksikannya dengan mata kepalanya sendiri. Dunia Weilong runtuh. Namun, bahkan di ambang kehancuran, cintanya pada Keke membara begitu kuat sehingga kebencian dan rasa sakitnya kalah. Dia memilih untuk terus mencintai, memeluknya erat-erat, bahkan saat dia tahu anak dalam kandungannya mungkin bukan darah dagingnya sendiri. Sebuah Selir untuk Dua Raja adalah sebuah kisah melodrama yang menggugah tentang hasrat yang tak terbendung, cinta yang buta, dan pengkhianatan yang menggetarkan takhta. Ini adalah perjalanan intim ke dalam hati tiga orang yang terjerat dalam jaring nafsu dan kekuasaan, masing-masing berusaha mencari cinta dan penebusan di antara tirai sutra dan bayangan istana yang penuh rahasia. Sampai di manakah batas pengampunan? Bisakah cinta bertahan ketika diuji oleh kebohongan paling mendalam? Dan akankah Keke akhirnya harus memilih antara pria yang dia cintai dan pria yang mengendalikan takdirnya?

DewasaPengkhianatanMemanjakanZaman KunoNovel MemuaskanEmosionalDrama

BAB 1: LANGKAH PERTAMA DI ATAS MARMER DAN BAYANG-BAYANG

Dingin. Itulah sensasi pertama yang selalu menyergap Keke setiap kali kakinya menapaki lantai marmer berukir istana. Dingin yang menusuk hingga ke tulang, seakan-akan marmer-merah muda yang dipoles sempurna itu menyimpan es abadi dari puncak gunung terjauh. Tapi, dingin itu sudah menjadi teman setianya sejak ia dibawa ke istana sepuluh tahun silam, yatim piatu, kecil, dan tak berdaya. Kini, di usia sembilan belas tahun, dingin itu bukan lagi musuh, melainkan pengingat. Pengingat bahwa di balik kemilau emas, lukisan indah, dan sutra yang halus, Istana Kerajaan Azure selalu menyimpan hawa menusuk yang siap membekukan siapa pun yang lengah.

Keke melangkah pelan di koridor barat, membawa nampan perak berisi teh oolong hangat dan kue-kue kering kesukaan Pangeran Weilong. Langkahnya terukur, hampir tidak bersuara, hasil dari latihan bertahun-tahun. Matanya, sepasang almond yang berwarna coklat tua, menatap lurus ke depan, namun menangkap setiap detail di sekelilingnya: para penjaga yang berdiri kaku seperti patung, pelayan lain yang lalu lalang dengan kepala tertunduk, dan bayangan mereka sendiri yang memanjang diterpa sinar matahari yang menyelinap dari jendela-jendela tinggi.

Hidupnya telah ditakdirkan untuk melayani. Itulah yang selalu dikatakan Nyonya Pengawas Kepala, wanita tua dengan wajah sekaku batu dan hati yang, Keke yakin, bahkan lebih dingin dari lantai marmer. Keke adalah salah satu dari sekian banyak roda penggerak dalam mesin raksasa yang disebut istana. Dia harus bersih, efisien, dan tak terlihat. Sebuah alat, bukan seorang manusia.

Namun, di balik ketundukan itu, ada sesuatu yang berdegup kencang. Ambisi. Sebuah keinginan yang membara yang justru disulut oleh dinginnya istana ini. Dia tidak ingin selamanya hanya menapaki marmer yang dingin. Dia ingin diusung di atas tandu, dikipasi dengan kipas bulu burung phoenix, dan disanjung.

Tujuannya adalah Pangeran Weilong.

Pangeran Weilong, putra mahkota yang tampan dan perkasa, pewaris tahta Kerajaan Azure. Keke telah melayaninya selama tiga tahun terakhir, bertanggung jawab atas kebutuhan santapannya di pagi hari. Weilong adalah pria yang berwibawa, seringkali keras dan tegas, tetapi selalu adil. Di matanya yang tajam, Keke melihat potensi seorang penguasa besar. Dan di balik pelayanannya yang sempurna, Keke menaruh harapan-harapan kecil. Sebuah senyuman, sebuah pandangan yang bertahan satu detik lebih lama, sebuah pujian kecil. Itu semua adalah kepingan-kepingan emas yang dikumpulkannya diam-diam.

Hari itu, seperti biasa, dia memasuki kamar kerja pangeran. Weilong sudah duduk di belakang mejanya yang besar, terbuat dari kayu jati berukir naga. Dia sedang memeriksa peta-peta strategi militer, alisnya berkerut konsentrasi.

“Tuanku,” sapa Keke dengan suara lembut namun jelas, suara yang telah dilatihnya ratusan kali di depan cermin. Dia membungkuk dalam-dalam, menempatkan nampan dengan gerakan anggun di sudut meja.

Weilong tidak langsung menoleh. “Letakkan saja di sana, Keke,” gumannya, jarinya masih menelusuri sebuah garis di peta.

Keke berdiri menunggu, tangan terlipat rapi di depan apronnya yang putih. Dia memerhatikan profil tegas pangeran, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang sering mengerut dalam ketegasan. Jantungnya berdebar-debar, seperti selalu terjadi ketika berada begitu dekat dengannya.

Setelah beberapa saat, Weilong akhirnya mengangkat kepala. Matanya, berwarna hitam pekat, memandangnya. “Teh oolong hari ini?”

“Ya, Tuanku. Dan kue kacang merah yang Tuanku sukai,” jawab Keke dengan senyum kecil yang sopan.

Weilong menganggap singkat, lalu mengambil cangkir. Dia menyesapnya, dan untuk sepersekian detik, kerutnya menghilang. “Enak. Kau selalu tahu cara menyeduh teh dengan sempurna, Keke.”

Sebuah kehangatan yang lebih efektif daripada teh apa pun menyebar di dada Keke. “Terima kasih, Tuanku. Itu adalah kehormatan hamba.”

Dia membungkuk lagi dan berbalik untuk pergi, merasakan pandangan Weilong mungkin tertuju padanya untuk sesaat lebih lama. Itu sudah cukup. Itu adalah bahan bakar untuk mimpinya menjadi Selir. Bukan sekadar pelayan, tapi seorang wanita yang diakui, yang memiliki tempat di sisi pria yang suatu hari nanti akan menjadi raja ini.

Mimpi itu, bagaimanapun juga, memiliki jalan berliku yang bahkan tidak pernah dia bayangkan.

Perkenalan mereka terjadi secara tidak sengaja, di sebuah paviliun tua di taman istana bagian barat, area yang jarang dikunjungi. Keke sedang mencari seekor kucing peliharaan salah satu dayang yang kabur. Saat itulah dia bertemu dengan seorang pria. Dia bukan penjaga, bukan pelayan, dan jelas bukan pangeran. Pakaiannya sederhana, namun terbuat dari kain yang mahal. Posturnya tegap, dan matanya memancarkan kewibawaan yang membuat Keke langsung membungkuk dalam-dalam, bahkan tanpa tahu siapa dia.

“Maaf, Hamba mengganggu,” katanya, suaranya gemetar.

Pria itu tersenyum, sebuah senyuman yang hangat namun terasa jauh. “Tidak. Aku hanya sedang mencari ketenangan. Siapa namamu?”

“Keke, Tuan. Hamba adalah pelayan Pangeran Weilong.”

“Weilong…” ucap pria itu, pikirannya melayang. Matanya menatap Keke dengan lebih saksama, seakan-akan memeriksa setiap detail wajahnya. “Kau cantik.”

Keke memerah. Pujian langsung seperti itu tidak lazim di istana. “Terima kasih, Tuan.”

“Aku adalah Lushang,” katanya, begitu saja.

Keke membeku. Lushang. Itu adalah nama Kaisar. Ayah dari Weilong. Jantungnya berdebar kencang, hampir melompat dari dadanya. Dia langsung bersujud, keningnya menyentuh lantai batu yang dingin. “Paduka Yang Mulia! Hamba tidak tahu! Hamba mohon ampun!”

Lushang tertawa, suaranya dalam dan beresonansi. “Bangun, anakku. Di taman ini, formalitas boleh sedikit dilonggarkan.”

Itulah awal dari segala sesuatu.

Kunjungan diam-diam Lushang ke kamar kecil Keke di sayap pelayan dimulai beberapa malam kemudian. Kamarnya sempit, hanya berisi sebuah tempat tidur tunggal, sebuah meja kecil, dan sebuah lampu minyak. Sebuah ruangan yang tidak pantas untuk didatangi seorang Kaisar.

Awalnya, Keke ketakutan. Ini adalah pelanggaran yang bisa berujung pada pemenggalan. Tetapi Lushang datang bukan sebagai Kaisar yang galak, melainkan sebagai seorang pria yang, dalam kata-katanya sendiri, lelah dengan kemunafikan istana dan mencari “kebenaran” yang hanya ditemukan pada seorang gadis polos seperti Keke.

Gairahnya kasar, terburu-buru, dan penuh tuntutan. Itu adalah sebuah transaksi yang tidak diucapkan. Keke memberikan tubuhnya, ketaatan palsunya, dan ilusi kemudaan yang begitu didambakan Lushang. Sebagai gantinya, dia mendapatkan perlindungan diam-diam dan, yang paling penting, sebuah harapan.

Suatu malam, saat nafas berat Lushang masih membasuh telinganya, Keke berani bersuara. Suaranya bergetar, tetapi tekadnya membaja.

“Yang Mulia,” bisiknya, “Hamba… hamba memiliki sebuah permohonan.”

“Apa itu?” gumam Lushang, masih terlelap dalam kepuasan sesaat.

“Hamba… hamba ingin melayani Tuanku Pangeran Weilong. Bukan sebagai pelayan, tapi… sebagai selir.”

Lushang mendadak diam. Ruangan kecil itu menjadi sunyi, hanya diisi oleh suara desisan lampu minyak. Keke menahan napas, menunggu amarah yang bisa datang kapan saja.

Namun yang datang justru sebuah tawa pendek. “Jadi ambisius? Kau ingin naik status? Dari pelayan menjadi selir putra mahkota?”

“Hamba… mencintai Pangeran, Yang Mulia,” jawab Keke, separuh benar, separuh lagi adalah kebohongan yang dia rangkai untuk menyelamatkan dirinya.

Lushang memandangnya, matanya menyipit. Ada cahaya licik di dalamnya, sebuah pengakuan akan permainan yang sama yang mereka mainkan. “Baik,” katanya tiba-tiba. “Aku akan mengaturnya. Tapi ingat, Keke. Keterikatammu padaku tidak berakhir hanya karena kau berpindah kamar.”

Itu bukan sebuah permintaan. Itu adalah perintah.

Dan Lushang menepati janjinya. Dengan pengaruhnya yang tak terbantahkan, proses yang biasanya memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun disingkat menjadi hitungan minggu. Keke “ditemukan” sebagai gadis dari keluarga bangsawan rendah yang jauh (sebuah fiksi yang dengan mudah diatur oleh Lushang) dan dipersembahkan untuk Pangeran Weilong.

Weilong, yang memang sudah memperhatikan kesetiaan dan kecantikan Keke, menerimanya dengan cukup baik. Dia terkesan dengan keanggunan dan kecerdasan Keke yang, meski berasal dari “kelas bangsawan rendah”, jauh melampaui pelayan mana pun.

Malam pernikahan mereka adalah malam yang paling membingungkan dalam hidup Keke. Weilong adalah kekasih yang berbeda sama sekali dari ayahnya. Dia penuh perhatian, sabar, dan penuh gairah yang murni. Di pelukannya, Keke merasakan sesuatu yang mendekati cinta sejati, sebuah kehangatan yang nyata yang mencairkan dingin istana, bahkan hanya untuk sesaat. Dia melihat ke dalam mata Weilong yang penuh penghargaan dan rasa memiliki, dan sebuah rasa bersalah yang dalam mulai menggerogoti jiwanya.

Namun, istana tidak pernah membiarkan siapa pun lupa pada realita. Beberapa hari setelah dia resmi menjadi Selir Junior, sebuah panggilan diam-dadi dari Lushang datang. Sebuah catatan kecil yang diselipkan oleh tangan yang tidak dikenal.

Keke menggigit bibirnya, hatinya terbelah. Tapi janji Lushang, ancaman terselubungnya, dan ambisinya sendiri berbicara lebih keras. Dia pergi ke tempat pertemuan rahasia mereka, sebuah gudang tua di dekat pemandian istana.

Lushang sudah menunggu, sebuah senyum kepuasan terpancar di wajahnya. “Jadi, bagaimana rasanya menjadi selir putra mahkota?”

“Hamba berterima kasih pada kemurahan hati Yang Mulia,” jawab Keke, menunduk.

“Kemurahan hati harus dibayar, Sayangku,” bisik Lushang, menariknya ke dalam pelukan yang sudah terlalu dikenalnya.

Dan siklus itu pun dimulai. Siang hari, dia adalah Selir Keke yang setia dan penuh kasih bagi Pangeran Weilong. Dia melayaninya dengan sepenuh hati, mempelajari setiap kesukaannya, menghibur saat dia stres, dan menjadi pendamping yang selalu dia impikan. Weilong semakin jatuh cinta padanya, dan Keke pun mulai benar-benar mencintainya.

Tetapi di malam-malam tertentu, ketika Weilong sibuk dengan urusan negara atau sedang berburu, dia akan berubah menjadi kekasih gelap Kaisar Lushang. Dia hidup dalam dua dunia, kepalanya dipenuhi oleh bayangan Weilong yang mencintainya dan bayangan Lushang yang menguasainya.

Istana, dengan seribu mata dan seribu telinganya, mulai menangkap gelagat yang tidak beres. Bisik-bisik mulai berhembus, pelan pada awalnya, seperti angin yang menyusuri koridor. Seorang pelayan melihat sesuatu. Seorang penjaga mendengar sesuatu. Istri-istri Lushang yang lain, yang cemburu pada siapa pun yang mendapatkan perhatian sang Kaisar, mulai menyelidiki.

Keke, dalam naifitasnya yang berambisi, mengira dia bisa mengendalikan kedua pria ini dan rahasia besar mereka. Dia tidak menyadari bahwa dia hanyalah sebuah bidak dalam papan catur yang jauh lebih besar, dan bahwa di istana, bahkan dinding pun memiliki mulut untuk membisikkan pengkhianatan.