12. Rahasia
"Kau buat perjanjiannya, aku ingin semuanya berjalan dengan lancar, sesuai rencana," ujar Shane.
"Kau yakin?" Tanya pria tampan yang duduk santai di sofa dalam ruangan kerja. Yang tak lain adalah Gavin, Gavin adalah seseorang lulusan fakultas hukum.
Shene menganggukan kepalanya dengan santai.
"Jika ayahmu tahu, kau akan di pecat jadi anaknya, sialan!" Ujar Gavin.
Bagaimana tidak, Shene akan menyerahkan setengah perusahaan Mendell Company dan membuat perusahaan tunangannya sendiri bangkrut dan memberikannya kepada wanita yang entahlah, Gavin juga tidak tahu.
"Kau diam saja, cukup buatkan aku perjanjian aja."
Gavin memutarkan bola matanya. la tidak habis pikir di mana otak Shene, pagi pagi sekali Shene menemuinya, dengan setelan jas rapi, dan meminta agar Gavin membuat sebuah peralihan perusahaan.
"Kenapa tidak tuan Kalton saja yang buat?" Tanya Gavin, Kalton adalah pengacara ayahnya Shene bahkan pria tua itu sudah turun temurun menjadi pengabdi keluarga Shene.
"Kau pikir aku gila! Kalton pasti akan memberi tahu dad tentang ini," dengus Shene.
"Siapa wanita itu?" Tanya Gavin santai.
"Abigail Amar," ujar Shene, ia tersenyum miring, dan entah senyuman apa itu. Shene terlalu misterius.
Sedangkan Shene, sibuk dengan pikirannya sendiri. Membayangkan tubuh wanita itu, sialan bahakan dengan hanya membayangkannya saja juniornya berkedut.
"Abigail?" Tanya Gavin.
"Ya," jawab Shene sambil tersenyum.
"Abigail yang gendut?" Tanya Gavin, Shene hanya
menganggukkan kepalanya.
"Sialan kau! Apa kurang nya Jean, kau benar benar gila Shene," dengus Gavin.
"C'mon dude! Ini hanya permainan," ujar Shene santai.
Ia tersenyum tangannya meraih rokok dan pematik, lalu menyalakannya.
"Jangan sia siakan Jean, bajingan!"
"Iya iya, aku tahu, aku hanya akan menikah dengan Jean, tapi kau harus tahu, Abigail sekarang menakjubkan," ujar Shene, ia menyesap rokoknya, lalu mengeluarkan asapnya, Matanya ia pejamkan.
Bayangan Abigail benar benar membuatnya gila, apalagi bercinta dengan Abigail yang sekarang, sialan wanita itu benar benar sangat ahli, dengan siapa saja Abigail melakukan seks liar? Hingga wanita itu benar benar ahli.
"Bagaiman jika Jean tahu" ujar Gavin tiba tiba.
Wajah Shene tiba tiba serius lalu iris matanya menatap lekat wajah Gavin, "maka mati mu ada di tangan ku, karena hanya kau yang tahu," desis Shene, wajah Gavin langsung cemas seakan Shene mengatakan hal lain. Tapi seketika Shene terkekeh, "aku hanya bercanda," lanjutnya.
"Bisakah kau cepat menyelesaikan nya sekarang?, aku harus menjemput Jean," ujar Shene.
"Besok pagi akan ku berikan kepada sekertaris mu, sekarang kau pulanglah!" Ujar Gavin.
"Kau mengusirku?"
"Bukannya kau akan menjemput Jean?"
"Aku ingin bertemu dengan Abi," kekeh Shene.
Membuat Gavin menggelengkan kepalanya. "Apa kau tidak tahu malu? 5 tahun lalu kau menghina habis habisan Abi, dan sekarang kau seperti seorang remaja di mabuk cinta," dengus Gavin.
"Hanya dengan Abi, kau tahu aku tidak pernah melakukan seks selain dengan Abi, bukan?" Kata Shene.
Gavin menghela napas, apa yang di katakan Shene benar, Shene tidak pernah melakukan seks dengan siapapun. Keperjakaan Shene hilang karena melakukan seks dengan Abi, dan selama 5 tahun pula Shene tidak pernah melakukan seks dengan siapapun.
Bahkan dengan Jean sekalipun, padahal Jean sudah menyerahkan dirinya kepada Shene, tapi entah apa dalam pikiran Shene, ia tak kunjung melakukan seks dengan Jean.
Dan yang menggelikan adalah, ketika Shene, Gavin, Nial dan Lio pergi ke Club. Hanya Shene yang tidak melakukan seks. Ia hanya menyewa perempuan untuk memuaskan dirinya saja, ia tidak berani melakukan seks dengan siapapun.
Dering ponsel Gavin berbunyi, ia segera meraih ponselnya. Wajahnya tampak gugup.
"Angkat saja," ujar Shene, pria itu masih asik merokok sambil membayangkan wanita yang melakukan seks dengannya kemarin malam.
Gavin menghela napas, lalu mengangkat teleponnya dengan ragu.
"Jemput aku! Sekarang!"
Belum sempat Gavin menjawabnya, Wanita itu sudah memutuskan sambungan, teleponnya.
"Siapa?" Tanya Shene, pria tampan itu menaikan sebelah
alisnya heran.
Gavin mengangkat bahunya acuh. Ia menghela napas, menyembunyikan kegugupannya. Lalu menggelengkan kepalanya.
"Ayahku," ujar Gavin. la berdiri, mengambil jaketnya di balik pintu ruangan kerja.
"Aku akan pulang, kau mau pergi atau mau menungguku?" Ujar Gavin.
"Kau mengusir ku?" Tanya Shene.
"Astaga, mana bisa aku mengusir mu, calon kakak ipar?" Kekeh Gavin, menepuk pundak Shane.
Shene menaikan sebelah alisnya, ia sadar betul ada yang di sembunyikan oleh Gavin, tapi apa perduli nya? Apapun itu bukan masalah bagi Shene. Selagi urusan itu tidak merugikan Shene.
"Aku juga akan pulang." ujar Shene, ia berdiri lalu pergi di balik pintu ruangan kerja Gavin.
"Yasudah hati hati, Shene," ujar Gavin sedikit berteriak.
***
"Dimana dia sekarang?" Tanya Shene kepada seseorang di sebrang telepon sana. Wajahnya tampak serius mendengar jawaban dari lawan bicaranya, kemudian seketika menyeringai.
"Awasi terus dia, kau tidak perlu melakukan apapun hanya mengamatinya dari jauh saja! Dan terus kabari aku." Setelah mengatakan itu ia menutup teleponnya.
Tatapan Shene tampak kosong mengamati wallpaper ponsel miliknya yang terdapat poto dirinya dengan Jean ketika liburan di Paris.
"Aku kira kau sudah mengakhirinya, Jean." Shene nampak terkekeh, "maka aku pun melakukan hal yang sama dengan mu, mari membuat drama sendiri." Wajahnya seketika datar.
Ia memasukan kembali ponselnya ke dalan saku jasnya dan segera pergi dari Apartment Gavin. Ia tahu segalanya, apapun itu yang menyangkut Jean, tentu saja Shene bukan pria bodoh yang mencintai Jean sepenuh hatinya dan bersikap seperti orang tolol dengan berdiam diri menyaksikan Jean yang tidur dengan sahabatnya sendiri, ralat calon adik iparnya.
Dan tentang Ciana bersmaa Gavin, itu adalah resiko Ciana yang terus mengejar Gavin, sudah jelas Gavin sering menolak Ciana dari Ciana berumur 17 tahun tapi tetep saja adiknya itu keras kepala mengejar Gavin. Pada akhirnya Ciana harus menelan kepahitan.
Dari dulu Shene selalu menentang hubungan Ciana dan Gavin, karena Shene tahu bagaimna kekakuan temen temennya, tapi Ciana tetaplah Ciana kelakuannya sma persis seperti ayah dan ibunya, buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Keras kepala!
"Adikku yang malang," gumam Shene.
Setelah pergi dari Apartment Gavin Shene segera pergi ke kantornya. Dan sudah Shene duga kantornya sudah menjadi tongkrongan Nial dan Lio, jika ada mereka berdua maka sudah di pastikan Shene tidak bisa bekerja.
"Sialan!" Umpat Shene ketika melihat Nial mengeluarkan bir dari paper bag.
Ini baru saja pukul 10 pagi dan mereka sudah membawa minuman ke kantor Shene.
"Jangan hari ini," ujar Shene. Ia langsung mengambil duduk di sofa memijat pelipisnya, menggigit bibir bawahnya, merasa sedikit bingung dengan keadaan yang saat ini ia hadapi.
Dari mulai Abi, Anggello, perusahaan, Jean apalagi? Bahkan Shene lupa belum sarapan. Ia bangkit dari duduknya memencet tombol intercom yang terhubung langsung ke ruangan sekertarisnya.
"Belikan aku sarapan, aku tunggu 15 menit." Setelah mengatakan itu Shene kembali duduk, ia melonggarkan dasinya dan membuka jas kerjanya.
Nial menyadari raut wajah Shene ia mengerutkan keningnya, "Ada masalah?"
"Apa sangat jelas?" Tanya Shene balik bertanya.
"Astaga kau tahu Nial, Shene. Dia bisa membaca raut wajah, raut wajah anjing saja dia bisa membacanya," kekeh Lio, membuat Shene terkekeh geli. Dan sukses mendapatkan lemparan Bantal dari Nial.
"I'm coming, Shene!" Teriakan seseorang membuat mereka bertiga menutup telinganya.
"Omo omo omo, aigooo! Para malaikat sedang berkumpul!" Teriak Ciana menirukan ala drama korea yang ia tonton semalam.
Shene hanya menggelengkan kepalanya.
"Kenapa kau kesini?" Tanya Shene.
"Aku bawa bekal dari mommy," kata Ciana sambil memberikan paper bag kepada Shene. Kemudian ia duduk di samping Nial sambil bersandar.
Shene yang melihatnya langsung melemparkan tatapan tajam, "Kenapa masih disini? Pulang!"
"Kau memang kakak tidak berperasaan! Aku baru saja sampai sudah di suruh pulang!" Dengus Ciana. "Tidak mau!" Teriak Ciana, membuat Nial yang ada di sampingnya menutup telinganya.
"Astaga! Sepertinya aunty Carl makan trompet saat sedang hamil Cia!" Ujar Lio membuat Nial tertawa terbahak bahak sedangkan Shene hanya terkekeh beda dengan Cia yang sudah siap siap skan melayangkan bantal kepada Lio.
"Bantal itu menyentuh ku, kau tidak akan aku ajak berbelanja kagi!" Ujar Lio membuat senyum Ciana merekah, lala beralih duduk di samping Lio bergelayut manja.
"Besok kita berbelanja ya!" Kata Ciana membuat Nial kembali tertawa.
"Kak Nial, kau juga harus ikut. Besok jam 10 di mall biasa aku tunggu kalian berdua." Perkataan Ciana membuat Nial menghentikan tawanya.
"Aku menyesal datang ke kantor mu, Shene," gumam Nial, Shene yang mendengar gumaman Nial hanya menggelengkan kepalanya acuh.
"Shene! Dimana kekasih tampan ku?" Tanya Ciana girang.
Seketika mereka diam, Nial dan Lio tampak saling melemparkan tatapan, sedangkan Shene yang tampak santai mengamati mereka berdua, jelas mereka berdua ikut andil dalam hubungan gelap Gavin dan Jean.
To Be Continue
