Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

OTW 9

Renata menyambut uluran tangan Satria dengan berdebar. Tangan itu besar dan genggamannya kokoh. Akan tetapi, rasanya dingin. Mau tak mau Renata mendongak untuk menatap wajahnya dan mendapati sepasang mata tajam bagai mata elang yang terbingkai dalam raut wajah yang tegas.

"Renata, Pak." Jawaban Renata terdengar parau. Ia tiba - tiba merasa tidak percaya diri di hadapan pria itu.

"Silakan duduk dulu, Pak," saran Ines seraya memberi isyarat dengan tangan. "Mau minum apa?"

Satria menarik kursi, kemudian duduk dengan anggun. "Tidak usah, terima kasih. Jangan panggil, Pak. Kita seumuran, 'kan?"

Renata dan Ines mengangguk bersamaan.

"Emang umur Abang berapa?" tanya Ines tanpa malu.

Renata langsung menoleh pada temannya itu. Ia heran mendapati sorot berbinar dalam sepasang mata lebarnya.

Satria kembali tersenyum. "Bisa menebak?"

"Tiga puluh?"

"Tiga puluh satu?"

Ines dan Renata menyahut bersamaan. Pria tampan itu kembali tersenyum, namun tidak menjawab. "Rahasia."

"Ih, pakai rahasia segala?" seloroh Ines kembali.

Memang dalam hal menyeletuk, Ines tidak memiliki tandingan.

"Saya meniru kaum wanita, suka merahasiakan usia." Satria menjawab dengan tenang.

"Kalau begitu, saya panggil Abang aja, ya?" tanya Ines dengan gaya sok akrab.

"Boleh banget. Kalian udah selesai minum? Gimana kalau kita langsung ke lokasi biar enggak kemalaman?" saran Satria.

"Bisa, Bang. Oh, sebentar saya bungkuskan kopi." Tanpa menunggu persetujuan pria itu, Ines langsung melesat ke meja pemesanan. Kini tersisa Renata berdua saja dengan pemuda itu.

"Renata tinggal di mana?" tanya Satria. Suaranya dalam namun lembut.

"Saya di sebelah rumah yang akan disewakan."

Mata pria muda itu melebar dan alis tebalnya terangkat. "Oh, kalau jadi, kita akan tetanggaan? Bagus juga. Kalau ada kerusakan atau lainnya saya gampang menghubungi."

"Oh, iya, Bang," jawab Renata. Entah mengapa, tatapannya terkunci pada wajah berkumis dan bercambang halus di hadapannya. Barangkali karena pria itu memiliki mata lebar dengan bulu mata yang tebal dan lentik yang mengingatkannya pada Bagastya. Yang berbeda adalah manik mata Satria kecokelatan, serasi dengan rambut yang tidak terlalu hitam dan kulit yang putih. Ketiga hal itu memberi kesan Satria memiliki darah Kaukasia.

"Renata kerja di mana?" tanya Satria lagi.

"Di sekuritas. Kantor saya dekat sini, itu sepuluh blok ke sebelah sana," tunjuk Renata.

"Wah, dekat kalau pulang pergi ke kantor, ya."

"Iya, Bang. Kalau boleh tahu Abang tinggal di mana?"

"Oh, saya baru pindah dari Samarinda. Sekarang menumpang di rumah kakak di daerah Kebon Jeruk. Padahal saya kerja di ITC situ."

"Jauh, tuh, lumayan juga pulang perginya, Bang."

Satria mengangguk. Seulas senyum tersungging di bibir yang tipis membuat wajahnya kian rupawan. Akan tetapi, di mata Renata, wajah itu terlihat lelah.

"Karena jauh itu, saya mau cari kontrakan yang dekat dengan kantor biar nggak capek pulang pergi." Satria menjelaskan lebih lanjut.

"Di Samarinda enggak macet kayak gini?" tanya Renata lagi.

"Enggak. Jalanan di sana lebih manusiawi." Ia mengakhiri kalimat dengan senyum lebar yang memperlihatkan deretan gigi yang putih dan rapi.

Renata terkesiap. Senyum itu manis sekali karena membuahkan lesung pipit di kedua pipi.

"Keluarga Abang masih di Samarinda? Nanti mau diajak ke sini?" selidik Renata. Ia juga tidak tahu untuk apa menanyakan hal itu.

Reaksi Satria sungguh tak terduga. Ia mengembuskan napas panjang dan sorot matanya langsung meredup. "Andai ada yang diajak," sahutnya lirih.

Renata merasakan hawa dingin yang tiba-tiba menyeruak dan menembus dada.

"Istri dan anak saya meninggal enam bulan yang lalu karena kecelakaan."

Segores pilu turut menyayat hati Renata. Ternyata ada yang bernasib lebih malang. Menilik wajahnya yang muram, pria ini pasti belum selesai berkabung.

"Oh. Maaf. Saya turut berduka cita."

Satria mengangguk. "Tidak apa, itu sudah berlalu."

Renata tidak yakin dengan perkataan itu. Beruntung Ines datang sehingga mereka bisa mengalihkan perhatian dari pembicaraan yang mengundang sendu.

"Ayo kita berangkat," ajak wanita muda itu dengan suara renyah yang langsung mengubah suasana menjadi hangat.

Bertiga mereka keluar dari kafe.

"Kita satu mobil atau memakai mobil sendiri-sendiri?" tanya Ines.

"Saya tidak punya mobil. Bisa menumpang?" tanya Satria.

"Bisa, sama saya aja!"

"Sama saya!"

Ines dan Renata menawarkan diri bersamaan. Kontan mereka berpandangan.

"Mobilmu di mana, Nes?" tanya Renata setelah celingukan dan tidak menemukan sedan kecil putih milik wanita itu.

Ines menggaruk kepala. "Aduh, aku parkir agak jauh di sana," ujarnya dengan lemas. "Mobilmu di mana?"

Renata tertawa dalam hati. "Tuh, dekat aja. Tinggal jalan sepuluh meter lagi," tunjuk Renata pada sedan kecil berwarna merah miliknya.

Ines terlihat kecewa. "Ya, udah. Abang ikut Renata aja."

"Mari," ajak Renata.

"Renata! Renata!"

Baru berjalan beberapa langkah, seseorang memanggil. Saat Renata menoleh, ternyata Bagastya tengah berjalan cepat ke arahnya. Mata wanita itu langsung memindai lokasi dan menemukan Dewi bersama anaknya di pintu kafe.

"Ya?" tanya Renata dengan nada formal saat Bagastya telah berada di dekat mereka bertiga.

"Kamu mau ke mana?" Mata Bagastya beberapa kali mencuri pandang pada Satria.

Diam-diam Renata senang. Bila bersanding dengan Satria, pamor Bagastya langsung surut. Satria lebih tinggi, lebih tegap, lebih putih, wajahnya rupawan bak artis, dan tentu saja, jomlo.

"Mau mengantar Bang Satria lihat rumah."

"Oh?"

"Kenalkan, saya Satria," sapa Satria seraya mengulurkan tangan.

"Kenalkan, ini Bagastya, teman kuliah saya dulu."

Renata langsung menyerobot. "Dan ibu-ibu di depan kafe itu calon istrinya."

Mata Bagastya menyorot dengan tatapan meradang pada Renata sebelum menyambut jabatan tangan Satria. "Bagastya," ujarnya dengan menatap tajam pria itu.

"Ada perlu apa?" tanya Renata.

Sekali lagi Bagastya melirik Satria dan itu membuat Renata tersenyum puas.

"Ah, enggak. Cuma heran lihat kamu di sini," sahut pria itu.

"Loh, kantorku kan dekat sini. Kok heran? Kami tadi habis ngobrol di kafe itu. Kamu juga mau ke situ sama Dewi?"

Mata Bagastya langsung menjadi kelam. "Iya."

"Oh, pendekatan sama calon anak, nih?" goda Renata dengan seringai lebar walau di dalam dada hatinya remuk dan berhamburan. Apa yang dijanjikan Bagastya tempo hari? Ia tidak akan membuat Renata melihat kebersamaannya bersama Dewi? Konyol sekali. Mereka bekerja dan tinggal di daerah yang sama. Bagaimana bisa tidak berjumpa?

"Oh, iya sih." Suara itu terdengar seperti orang kalah.

"Ya udah, kami duluan, ya. Takut Bang Satria pulang kemalaman. Rumahnya jauh, di Kebon Jeruk," pamit Renata seraya melambaikan tangan.

Mereka bertiga meninggalkan Bagastya. Saat melajukan mobil keluar area parkir, Renata sempat melihat Dewi menarik lengan Bagastya untuk mengajaknya pergi dari tempat pria itu mematung.

Baru pacaran sudah posesif begitu. Bagaimana nanti kalau menjadi madu? Amit-amiiiiiitttt!

Berdua dalam kabin bersama Satria, tercium aroma maskulin pria itu. Beberapa kali Renata sempat mencuri pandang. Ia tidak menampik bahwa hatinya ingin terus menatap wajah rupawannya. Benar juga kata Ines. Pria ganteng memang enak untuk dipandangi. Apalagi saat ini dirinya praktis jomlo.

Aku bebaaas! Silakan aja kalau kamu mau mesra-mesraan dengan Dewi, Bagastya! Aku enggak mau kalah. Apa lelaki itu cuma kamu aja? Hih, jangan mimpi!

Tak lama berselang, mereka sampai di rumah Renata.

"Nah, ini rumahnya. Mari, Bang."

Satria turun dan berdiri di depan gerbang seraya mengamati lingkungan sekitar.

"Sejuk banget di sini," komentarnya. Ia lalu menyeberang jalan, menuju tepi sungai. "Itu taman kota?"

"Iya, Bang. Kalau mau olah raga atau jogging gampang. Setiap hari Minggu ada senam massal di situ."

Satria mengamati sungai dan hutan kota dengan berkacak pinggang. Rambutnya yang agak panjang dan bergelombang, membuat kesan maskulin itu semakin kental. Renata mengamati postur pria itu dari belakang. Tiba -tiba saja dadanya seperti kembali ke masa SMA, bergemuruh setiap melihat tubuh yang gagah.

"Saya suka lingkungannya," kata Satria seraya membalikkan badan. "Rumah Renata di mana?"

"Itu, Bang," tunjuk Renata pada rumah berlantai dua yang hanya dipisahkan oleh satu petak kaveling kosong.

"Oh!"

Ines datang. Dengan gaya anggun, ia mendekat. "Rumahku di sana, Bang. Tuh, selisih tiga kaveling."

"Oh, kalian tetanggaan. Pantas akrab."

Renata dan Ines langsung tersenyum. Mereka terus mengulas senyum seraya mengiringi Satria berkeliling rumah. Pria itu terlihat antusias saat menengok sisi dalam. Rumah itu memang dibuat dengan perhatian khusus pada pencahayaan dan ventilasi sehingga bagian dalamnya tidak panas dan terang benderang. Renata sengaja memilih suasana begitu agar kelak bila memiliki, anak-anak bisa bertumbuh dengan sehat. Sayang, harapan tinggallah harapan yang tidak bersemi. Bagastya tetap memilih Dewi dan ia bersikukuh untuk berpisah.

"Kamar tidurnya ada berapa?" tanya Satria memecah kesunyian.

"Empat. Dua di atas plus ruang kerja kecil, satu di bawah. Satu lagu kamar pembantu di belakang," jawab Ines dengan cepat. "Mari kita lihat ruang kerja. Nyaman banget, Bang."

Dengan gesit wanita itu mendahului ke atas. Di lantai dua ada selasar kecil yang menghubungkan ketiga kamar itu. Satria memasuki ketiganya dan terlihat terkesan dengan kamar tidur utama.

"Besar dan nyaman," pujinya.

"Kalau gitu diambil aja, Bang," pinta Ines dengan gaya membujuk. Renata sampai heran melihatnya. Binar mata wanita itu seperti kian cemerlang saja setiap memandang Satria.

Senyum bibir tipis Satria terkembang. "Harganya dulu berapa? Kalau cocok, baru saya ambil."

"Ah, Renata pasti kasih diskon. Bener, kan, Ta?"

Mata indah Satria kini mengarah langsung ke Renata, membuat wanita itu kelabakan. "Ya, ya itu tadi udah harga diskon, Bang," jawabnya terbata.

"Nah, benar itu, Bang. Udah murah banget, loh. Biasanya uang segitu cuma dapat rumah kosong. Yang ini perabotnya lengkap. Kalau bukan mereka mau bercerai, pasti enggak dapat yang kayak gini."

Rahang Renata langsung terkatup rapat. Ines sengaja atau keceplosan? Masa membuka aibnya pada kenalan baru? Apa yang ditakutkan Renata terbukti. Satria menatap padanya dengan sorot mata iba.

"Mantannya yang ketemu di depan kafe tadi?" tebak pria itu.

Renata merutuk dalam hati.

"Iya, Bang! Nyebelin banget, kan? Masa selingkuhan dibawa - bawa di depan istri begitu? Hih!" Kontan pinggang Ines dicubit dengan keras oleh Renata. Wanita itu mengaduh dan mendelik.

Di luar dugaan, Satria tidak terlihat ingin mentertawakan. Ia hanya mengangguk dengan senyum yang terlihat tulus. "Boleh kurang sedikit? Diskon empat juta, ya? Hitung - hitung buat ongkos pindahan ke sini."

Diskon itu lebih banyak dari yang diminta oleh dua peminat sebelumnya. Akan tetapi, kepala Renata mengangguk begitu saja. Yang paling girang justru Ines.

"Waaw! Selamat, ya, Bang! Kita tetanggaan! Kapan pindahan? Nanti kami siapkan rumahnya. Ditanggung bersih dan siap huni!"

"Besok, bisa? Uang panjarnya saya transfer sekarang. Sisanya besok."

"Bisa banget!" jawab Ines sebelum Renata sempat membuka mulut.

"Cuma, saya minta izin satu hal," lanjut Satria.

"Apa, Bang?" tanya Renata.

"Saya mau menanam pohon kamboja di halaman belakang. Bolehkah?"

"Boooo-leeeh!" sahut Ines. "Jangankan kamboja, beringin pun silakan!"

Plak! Bahu Ines kena tampar.

"Gimana Renata, boleh?" ulang Satria.

Renata mengangguk sekali lagi. Apa bahaya pohon kamboja? Biarpun mengingatkan pada kuburan, toh tetap tanaman hias, bukan?

"Oh, terima kasih."

"Ada lagi, Bang?" tanya Ines.

Satria menatap intens pada Renata. "Boleh disediakan seprai dan selimut baru?"

"Oh, enggak suka sama yang ada ini? Ini masih baru loh, Bang," tanya Ines.

Satria hanya tersenyum lebar. Mata indah itu berbinar penuh arti. Ines dan Renata langsung terpana.

"Enggak mau memakai bekas orang cerai, ya? Takut ketularan sial, Bang?" tanya Ines.

"Hiiih!" Plak!

Renata menampar keras bahu tetangganya, membuat wanita itu meringis seraya mengelus pundak yang terasa panas.

=====1640===

Bersambung...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel