OTW 10
Renata merasa lega akhirnya rumah itu laku disewa. Uangnya lumayan, begitu pula penghuni baru itu. Sebagai tetangga, Satria begitu menggairahkan. Apakah jalan mereka akan beriringan di masa depan? Renata memang tidak berharap banyak. Akan tetapi, bukan sebuah kebetulan bila pria itulah yang mengontrak rumahnya, bukan?
“Abang enggak bawa mobil, kan? Gimana kalau saya antar?” tanya Ines.
Lagi-lagi Renata kagum dengan kebrangasan kecepatan tindakan wanita itu. Barangkali karena pedagang, ia terbiasa menangkap peluang dengan sekejap mata.
“Oh, saya pesan taksi online aja. Rumah saya kan jauh. Nanti merepotkan,” tolak Satria secara halus.
Ines terlihat kecewa. Namun senyum Satria membuatnya bersemangat kembali, dan itu membuat perut Renata penuh. Ada apakah antara Ines dengan Satria?
Seseorang mengetuk pintu.
“Nah, si Pinah datang. Sebentar, ya!” Ines melesat ke depan untuk menerima orang itu. Saat kembali ke ruang tengah, di tangannya telah terdapat dua kotak makanan. Di belakangnya, Pinah si asisten rumah tangga, menenteng sepiring buah potong.
“Bang Satria jangan buru-buru pulang, ya? Saya sudah siapkan makan malam. Abang nanti lama di jalan, kan? Pasti sampai rumah sudah malam. Nah, supaya enggak kelaparan di mobil, mari kita makan dulu.”
Renata benar-benar kagum. Bukan Ines kalau tidak bergerak cepat. Piring, sendok, gelas segera tersaji di meja makan tanpa menunggu persetujuan. Terpaksa Satria duduk bertiga dengan mereka dan bersantap bersama.
“Makasih loh, udah bikin repot,” ucap pria itu seraya menatap intens pada Ines. Yang dipandangi langsung salah tingkah.
Renata tidak hanya menjadi kenyang, namun juga mual. “Makanan ini enggak dicampur racun, 'kan, Nes?”
“Eeeh, pahit banget nuduhnya, Ta?” protes Ines. Tangannya mengambil piring Satria lalu menyendokkan nasi. “Segini cukup, Bang?”
“Cukup.” Satria tersenyum dan mengangguk kecil.
“Dagingnya cukup segini?”
Satria mengangguk kembali. Ia tidak terlihat risih dengan kelakuan Ines. Renata keheranan dibuatnya dan mulai merutuki nasib. Di luar, ia harus berhadapan dengan Bagastya dan Dewi.
Masa sekarang harus menghadapi Ines dan Satria? Bahkan pada cinta yang belum bersemi pun ia kalah. Betapa dunia tidak adil!
“Renata enggak makan?” Satria tiba-tiba menoleh dan membuat Renata terkesiap.
“Oh, makan, kok,” sanggah Renata. Tangannya segera menyendok nasi dan mengambil sayur bayam serta daging empal.
“Besok mau datang jam berapa, Bang?” tanya Ines lagi.
“Hmm, lihat kondisi. Saya masih ada urusan.”
“Pagi atau siang?”
Satria terlihat kurang suka didesak begitu. Ia tersenyum saja tanpa menjawab. Ines terpaksa mengunci mulut.
Bertiga mereka makan dalam diam. Rupanya Satria ingin segera pulang sehingga ia menolak ketika ditawari menambah porsi. Belum sempat menghabiskan makan malam, ponselnya berdering. Ternyata dari sopir taksi online yang dipesan. Ia berdiri dan berpamitan.
“Maaf, saya buru-buru. Makasih banget. Tetangga-tetangga saya ramah. Semoga saya kerasan di sini,” ucapnya. Lalu dengan langkah gegas, ia mendahului mereka menuju pintu.
Sekilas, Renata sempat menoleh pada Ines. Mata besar itu menatap lekat punggung Satria. Tak salah lagi, temannya itu telah jatuh cinta pada penghuni baru rumah ini!
“Saya permisi,” kata Satria sekali lagi saat mereka berpisah di ambang pintu gerbang. Dengan anggun, pria itu memasuki mobil lalu membuka jendela.
“Besok kalau mau pindahan, telepon dulu, ya!” kata Ines.
“Siap!” balas Satria seraya melambai dari balik jendela mobil.
“Bye!” Renata tak mau kalah.
“Bye!” Satria membalas seraya tersenyum manis, membuat hati Renata berbunga.
“Byeeee!”
“Byeeee!"
Kedua wanita muda itu masih melambai walau mobil Satria telah menjauh.
“Kamu suka dia, Nes?” tebak Renata.
“Hah? Enggak, kok!” sanggah Ines serta merta. Tentu saja hanya mulutnya yang menolak. Gerak tubuhnya menyatakan hal lain. Andai hari tidak gelap, Renata pasti bisa melihat rona merah di wajah wanita itu.
“Oh, syukurlah! Kalau kamu enggak mau, aku mau kok. Ganteng banget, lembut lagi!” tantang Renata. Ia heran juga, dapat dari mana kalimat sesat itu?
“Apa kamu bilang barusan?” Ines menoleh dengan membelalakkan mata. “Kok malah kamu? Aku duluan loh yang ketemu dia!"
Renata terkekeh dan bergegas masuk kembali. Ia akan membereskan beberapa hal seperti seprai dan selimut.
“Renata! Kamu juga mau sama dia? Emang dia mau sama kamu?” Ines dengan penasaran membuntuti temannya.
Tanpa menoleh, Renata menjawab, “Kamu enggak lihat matanya tadi? Siapa yang sering dilirik diam-diam?”
“Renataaaa! Kamu masih istri resmi Bagastya! Jangan macam-macam!”
“Aaah, itu kan cuma status di atas kertas. Faktanya udah pisah, kan?”
“Nyesal aku kenalin Satria ke kamu!”
Renata mencibir. “Ooo, enggak papa kalau marah. Aku malah enak, enggak perlu membayar komisi sewa.”
“Eeeeh, jangan gitu dong?”
Mata Renata bergulir ke atas. “Hmm, padahal aku mau pesan seprai dan selimut. Lalu taplak meja dan tirai baru.”
“Eeeh, jangan jauh-jauh, pesan sama aku aja.”
“Loh tadi mau ngambek?”
Plak! Bahu Renata ditampar oleh Ines. Wanita itu terbahak. Ya, kalau soal uang, semua menjadi teman bagi seorang Ines.
***
Tidak banyak yang perlu disiapkan untuk menyambut penghuni baru karena rumah itu telah dibersihkan jauh-jauh hari. Renata hanya meminta asisten rumah tangga ibunya untuk mengelap dan mengepel, serta meletakkan pengharum ruangan di beberapa sudut. Untuk masalah seprai dan selimut, Ines telah menyanggupi. Maklum, kenalan Ines banyak. Renata cukup memilih dari gambar dan barang itu akan diantar esok hari.
Malam itu, setelah mengemasi sisa makan malam mereka, Renata pulang ke rumah dengan membawa buntalan seprai, sarung bantal, serta selimut yang tidak dipakai. Ia masuk melalui garasi dan langsung memasukkan barang-barang itu ke dalam keranjang baju kotor untuk dicuci esok.
Rumah terasa lengang. Ibunya seringkali menginap di rumah Dodi bila kahir pekan. Tanpa berprasangka apa pun, ia naik ke kamar. Saat membuka pintu, lampu kamarnya masih mati. Ia meraba sebentar untuk mencari tombol. Begitu menemukan tombol yang dimaksud dan menyalakan lampu, ia memekik kaget. Bagastya telah duduk tegak di atas kasur, menatap lurus-lurus padanya.
“Bagas! Bikin kaget aja! Ngapain gelap - gelapan?” sentak Renata sambil menepuk-nepuk dada. Dan ngapain kamu di sini? Bukannya tadi pagi bilang mau menginap di rumah Mama Lastri?
“Aku malas bangun buat menyalakan lampu!” kilah pria itu kemudian kembali berbaring.
Walau keheranan, Renata meninggalkannya untuk mandi.
“Mau ke mana lagi?” sergah Bagastya.
“Mandi!” sentak Renata. Ia kesal juga diteriaki seperti itu.
Bagastya bangun dengan segera, lalu membuntuti istrinya.
“Kamu ngapain, sih?” Mau tak mau kedua alis Renata tertaut karena tingkah suaminya.
“Enggak usah banyak tanya!” bentak Bagastya membuat Renata berjingkat kaget.
“Bagas! Apa-apaan, sih? Kamu marah atau ketempelan? Aku mau mandi, nih!”
“Mandi aja, aku ikut!” Bagastya mendahului Renata masuk ke kamar mandi.
Renata mendelik melihat tingkah lelaki itu. Ia berbalik, hendak mandi di tempat lain. Tangan suaminya bergerak cepat dengan mencengkeram pergelangan tangan, sehingga tubuh Renata tertahan. Sebelum Renata sempat menjerit, Bagastya telah meraih pinggangnya dan mengunci pintu.
“Agaaasss!” Renata membebaskan diri untuk beberapa detik. Ia menyepak dan berusaha mengurai rengkuhan tangan yang kokoh itu.
“Diam! Aku mandiin kamu!” bentak Bagastya.
Renata kaget. Seumur-umur, baru kali ini ia diperlakukan kasar seperti itu. Apa salahnya hingga layak untuk dibentak-bentak? Hatinya sakit sekali. Ia terduduk di kloset dan tak berdaya melawan karena terlanjur terisak.
Dulu, saat berbulan madu, mereka sering mandi bersama seperti ini. Bagastya suka sekali mengguyurkan air ke sekujur tubuh lalu menyabuni, membilasnya kembali, kemudian mengeringkan dengan handuk. Saat ini pun ia duduk dengan posisi yang sama, namun dalam kondisi yang sangat berbeda.
“M-maaf,” pinta Bagastya saat menyadari Renata menangis. “Aku hanya ingin membuatmu senang.”
Renata masih sesenggukan.
“Renata?”
Renata tidak menjawab.
“Aku keluar kalau begitu,” ucap Bagastya seraya bergerak meninggalkan Renata sendiri.
===Bersambung==
