OTW 8
Renata merapikan rumah dan letak perabot yang tersisa agar terlihat menarik untuk ditawarkan kepada calon penyewa. Ia memastikan seluruhnya dapat digunakan dengan baik. Beberapa bagian tembok yang terlihat kusam telah dicat kembali sehingga tampilan rumah itu semakin cerah. Sekarang tinggal menunggu kabar tentang calon penyewa dari Ines.
Sudah tiga hari ia dan Bagastya tidak berkomunikasi. Kontak terakhir hanya berupa pesan singkat dari Bagastya yang mengabarkan bahwa barang-barangnya telah sampai dengan selamat. Itu saja. Renata juga tidak berharap lebih. Pasti pria itu semakin fokus dengan calon istrinya. Mungkin mereka tengah sibuk merencanakan pernikahan.
Ah, mengapa masih saja ada rasa nyeri di hati bila mengingat itu? bukanlah ia telah memantapkan hati untuk melupakan masa lalu. Bahkan tiga hari yang lalu ia memasukkan barang-barang Bagastya dengan hati riang. Mengapa tidak mendengar suaranya ia gelisah seperti ini?
Lebih parah lagi, Bagastya ternyata benar-benar menelepon malam itu.
"Renata? Kamu baru apa?"
"Habis gosok gigi. Mau tidur."
"Oh, aku mengganggu?"
"Iya, memgganggu banget!"
"Oh!"
"Renata? Aku boleng ngomong sedikit?"
"Mau ngomong apa? Kapan kita mau menghadap atasanmu dan diperiksa untuk syarat perceraian?"
"Renata ...."
"Apa, sih? Cepetan ngomong!"
"Aku ... aku kangen."
Renata terdiam.
"Aku kangen banget, Renata. Aku datang ke rumahmu, ya?"
"Ngapainnn? Kamu mau bikin aku nangis lagi?"
"Iya, aku mau bikin kamu nangis bahagia."
"Ooo, kamu batal menikah lagi?"
"Enggak. Rencana itu masih."
Segala binatang yang bergelantungan di pohon sontak melintas dalam benak Renata. "Buat apa ke rumahku kalau gituuuuu!" pekik Renata dengan emosi melambung.
"Mau ketemu. Kangen. Aku udah di depan rumah, nih. Bukain pintu, cepet! Ntar sate kambingnya keburu dingin."
Seperti orang bodoh yang terhipnotis, Renata berjalan ke depan untuk membuka gerbang bagi suaminya itu. Begitu bisa masuk, Bagastya langsung membenamkan Renata dalam pelukan. Renata luluh begitu saja. rasa rindu yang memuncak telah membuat logikanya macet. Ia menurut saja saat Bagastya menggandengnya masuk ke rumah.
"Kamu tidur di kamar yang mana?" bisik Bagastya.
"Kamar atas."
"Mamamu di mana?"
"Di atas juga, di kamar satunya."
"Yuk."
Renata tidak bertanya lagi apa arti kata 'yuk' itu. Ia menurut saja saat pria itu membimbingnya ke kamar, menutup pintunya, lalu menggendongnya ke kasur. Sesudah itu ia juga menurut saat Bagastya memintanya membuka baju dan seterusnya, dan seterusnya. Sate kambing yang dibeli benar-benar dibiarkan dingin di atas meja.
***
Pagi hari, mereka sarapan bertiga. Ibunda Renata menatap menantu dan anaknya dengan keheranan.
"Kamu menginap di sini semalam?" tanya wanita itu pada Bagastya.
"Iya, Ma. Maaf, enggak ketemu Mama tadi malam."
Dengan mulut setengah terbuka, wanita itu menatap putrinya, meminta jawaban. Renata tidak bisa menjawab. Ia melengos dengan serta merta.
Bagaimana mau menjawab? Buktinya ia menikmati kebersamaan mereka semalam.
Bu Hetty tidak mau mempermasalahkan lagi. Asal Renata bahagia, ia mendukung saja. Mau bagaimana lagi, bila Renata sendiri bersedia dimadu?
"Kalau masih cinta, sering-sering datang," nasehatnya dengan lirih.
"Pasti, Ma!" jawab Bagastya dengan bersemangat.
Renata menghabiskan makannya dengan tertunduk. Bingung sekali dengan situasi mereka saat ini. Berpisah rumah, namun masih berkumpul dan melakukan hubungan suami istri. Sorenya, Bagastya datang dan menginap kembali. Renata semakin yakin bahwa Bagastya masih mencintainya.
Akan tetapi, hari berikutnya, Bagastya berangkat ke kantor dengan berpamitan, "Nanti sore aku pulang ke rumah Mama."
Renata kini tahu, waktu Bagastya telah dibagi. Dua hari Bagastya menginap di rumah ibunya, kemudian dua hari menginap di rumah Renata. Renata mulai paham, Bagastya tengah berusaha membuat ia terbiasa berbagi jadwal. Begitu seterusnya hingga dua minggu berlalu.
Renata semakin berpikir untuk mengalah. Dua hari on, dua hari off, sepertinya tidak terlalu sulit. Ia masih merasakan kehadiran Bagastya dalam hidupnya.
Renata sempat mempertimbangkan untuk menerima saja memiliki madu.
Akhir pekan, Renata berharap Bagastya menghabiskan hari bersamanya.
"Kamu menginap lagi malam ini, kan?" tanya Renata pada hari Jumat pagi saat mereka bersiap berangkat ke kantor.
Bagastya memandangnya dengan mata redup. Renata langsung menggigit bibir.
"Aku menginap di rumah Mama. Minggu malam aku ke sini. Nggak papa digilir begitu, kan?"
Digilir ....
Hati Renata hendak menangis, namun ia terpaksa mengangguk. Diam-diam ia bertanya-tanya, dengan siapa Bagastya akan melewatkan akhir pekan. Apakah dengan Dewi? Berarti ini adalah akhir pekan pertama di mana ia sendirian saja. Entah mengapa hatinya tertoreh.
"Akhir pekan depan, aku tinggal di sini," terang Bagastya seraya mengelus pipi dan dagu istrinya. Kedua tangan besar dan hangat itu menangkup di pipi sang istri, kemudian mengecup bibirnya dengan sayang.
Renata membalas ciuman dengan meraup bibir Bagastya seolah ingin menguasai semua. Saat pria itu merenggang, kepalanya ditahan dengan tangan sehingga bibir mereka berpagut kembali. Renata sangat tidak rela melepaskan.
Bagastya bisa merasakan keinginan Renata. Walau sudah melakukannya semalam, ia bertanya, "Kita masih punya waktu?"
Renata mengangguk. "Masih pagi."
Mereka tidak jadi pergi, justru membuka baju dengan cepat. Entah mengapa, Renata merenggut Bagastya dengan keras dan menjatuhkan tubuh mereka ke kasur.
"Renata ...?" desah Bagastya lirih. Ia kaget dengan perubahan sikap istrinya.
Renata tidak menjawab. Ia mengecupi seluruh tubuh suaminya yang bisa dijangkau seperti orang kalap. Ia tidak mau kehilangan, sungguh, walau hanya satu kali akhir pekan!
"Oh, Renata ...," suara Bagastya terdengar pilu. Ia belum pernah mendapati Renata yang seperti ini. Ia membalas dengan segenap kemampuan untuk menyenangkan hati istrinya.
Saat semuanya berakhir dan Bagastya telah berangkat, Renata tercenung mengingat kejadian itu. Apa yang terjadi padanya tadi? Bagastya bahkan belum tidur dengan wanita itu, tapi ia telah kehilangan akal.
Bagaimana nanti saat mereka sudah menikah? Akan seperti apa rasanya?
Mata Renata kembali sembab. Sanggupkah ia berbagi Bagastya?
***
Proses menyewakan sebuah rumah itu membutuhkan kesabaran. Selain harga dan kondisi rumah, ada pula faktor keberuntungan. Akhir pekan yang lalu, ada dua calon pelanggan yang diantar oleh Ines. Yang satu pasangan suami istri yang baru pindah dari Medan. Yang satu lagi serombongan karyawan sebuah perusahaan. Sayang, mereka menawar terlalu rendah, sehingga tidak mencapai kesepakatan. Renata terpaksa menunggu calon penyewa berikutnya. Seminggu berlalu tanpa kabar. Ternyata hari ini ada berita baik. Ines memberitahukan bahwa ia mendapatkan peminat baru. Setelah semangat terjun bebas akibat kepergian Bagastya tadi pagi, kabar itu adalah hiburan yang menyenangkan.
"Mana orangnya?" tanya Renata pada Ines di kafe tempat mereka berjumpa. Ia langsung ke tempat itu sepulang kerja karena Ines ingin mengajak seorang calon penyewa untuk melihat-lihat rumah.
"Bentar lagi datang. Nih, minum dulu, aku sudah pesan," kata Ines.
"Makasih." Renata menyeruput kopi seraya mengamati jalan di depan kafe. Hari masih terang. Beberapa orang-orang mulai memadati jalan karena saat ini adalah jam pulang kantor.
"Yang dua kemarin enggak ada kabar?" tanya Renata.
"Kayaknya masalah dana yang nggak cukup. Mereka aku cariin yang lebih murah dan udah dapat."
"Yah, belum jodoh," kata Renata tanpa menutupi kekecewaan.
"Sabar aja. Nanti pasti ada yang mau. Kamu juga harus pintar pakai strategi. Kalau orangnya nawar, jangan pelit, kasih aja potongan ee
sedikit. Orang kan seneng kalau kemauannya dituruti."
Renata meringis. "Diskonnya dipotong dari komisimu, ya?"
"Hih! Pelitnyaaa! Nanti susah dapat jodoh, loh!"
Renata tidak menanggapi. Matanya terpaku pada sejoli yang berjalan melintas di depan kafe. Sepintas, mereka seperti keluarga biasa. Pasangan suami istri yang akan menikmati akhir pekan. Si suami masih mengenakan seragam kantor, menggendong anak perempuan yang berusia sekitar dua tahun. Si anak terlihat ceria dan beberapa kali dicium dan digoda oleh si pria, sementara wanitanya menggandeng lengan pria itu dengan manja. Wajah mereka berseri, seperti tengah mengenyam kebahagiaan. Normal sekali sebenarnya bila pria itu bukan Bagastya.
"Ta, itu kan ...?" Telunjuk Ines pun mengarah ke mereka.
Renata mendengkus. "Iya, aku tahu. Biarkan aja," ujar Renata berusaha setenang mungkin. Apa daya, mata bertingkah sebaliknya. Bulir-bulir bening langsung menggenang di pelupuk. Sakit sekali hatinya menyaksikan kemesraan itu, padahal saat ini mereka belum menikah. Bagaimana bila menyaksikan keduanya serumah, bahkan memiliki anak?
Ines merengkuh bahu Renata dengan prihatin. "Sabar, ya. Semua pasti berlalu."
Renata mengangguk lantas segera menyeka air mata. Pertanyaannya tadi pagi langsung mendapat jawaban. Dimadu? Ia tidak sanggup! Dan tak akan pernah sanggup!
Bukan seperti itu pernikahan yang ada dalam pemahamannya. Kalau mencintai seseorang, ia akan memberikan diri pada orang itu, begitu pula sebaliknya. Baginya, pernikahan itu adalah penyatuan dua orang secara utuh, sehingga harus setara, baru ada cinta sejati. Bila salah satu menduakan seperti ini, bisakah dinamakan cinta sejati? Apalagi bila alasannya adalah tidak memiliki keturunan. Apakah karena tidak bisa melahirkan anak, ia boleh diduakan? Oh, segenap logikanya tidak bisa menerima itu!
"Aku udah mantap untuk cerai kok, Nes. Biar aja mereka mau ngapain," ujar Renata dengan suara serak.
Ines tersenyum. "Itu bagus! Masih mau berburu cogan, kan?" goda perempuan yang kerap dikira keturunan Arab padahal sebenarnya Jawa asli itu.
Renata berusaha tersenyum.
"Nah, pas banget, Ta! Tuh, cogannya datang!" tunjuk Ines.
Mata Renata langsung tertuju pada sosok yang dimaksud. Jantungnya berhenti sejenak. Pria yang tengah melintas dengan anggun dari parkiran menuju pintu kafe itu tinggi dan tegap. Kulitnya kuning terang. Mengenakan kemeja biru tua lengan panjang yang digulung sebatas siku yang dipadukan dengan celana abu-abu, ia terlihat gagah.
Ines berdiri untuk menyambut pria itu. Melihat Renata hanya mematung, ditepuknya bahu sang teman. Renata seperti disadarkan dari dunia gaib. Ia berdiri dengan tergesa sehingga kursinya bergeser keras menimbulkan bunyi berdecit yang menyakitkan telinga.
"Pak, kenalin, ini Renata, pemilik rumah yang saya kirimkan gambar-gambarnya tadi siang," kata Ines.
Pria itu menoleh pada Renata, mengangguk kecil, seraya mengulurkan tangan.
"Satria."
***
Bersambung...
