4. Pelampiasan
“Aku gak akan sudi jadi anak tiri kamu fer, udah ya aku gak ada lagi urusan sama kamu. Plis, lepas tangan aku!” Setelah membentak, Ferdi pun melepas tangan ini perlahan.
Wajahnya tampak sangat kesal, akan tetapi aku hanya bisa merelakan kalau dia sudah menjadi pacar dari mama aku. Entah kenapa setiap lelaki yang di ajak ke rumah, dan di kenal kan pada mama akan jatuh hati padanya. Mungkin mama adalah wanita pemilik pelet paling ampuh di dunia, sampai anak anak lajang atau bahkan semua lelaki akan jatuh hati padanya.
Ketika berjalan di sebelah Mita, aku pun menatap langsung ke sahabat. “Kamu kenapa Vin, kok aku lihat kesal banget sih?” tanya Mita, sahabatku.
“Iya, aku bertemu dengan mantan. Kita pulang aja yuk, mood aku ydah hilang nih. Kalau ketemu terus menerus bisa gila nih,” jawab ku sambil memasang wajah sangat sinis.
Akhirnya Mita pun mengangguk, dia berdiri seraya mengajak aku pergi. Kami sama sama berjalan meninggalkan lokasi saat ini, yang tadinya ingin membuang rasa bosan malah berubah jadi sangat sangat bosan. Begitulah yang aku rasakan, mama datang bagai angin, tidak di undang dan berlalu begitu saja. Dengan langkah lebar, aku pergi bersama sang sahabat untuk menuju ke parkiran.
Kami melaju meninggalkan mall ini, di sepanjang perjalanan aku hanya memikirkan Ferdi. Tidak habis pikir akan apa yang sudah terjadi, karena dia telah membuat hati ini hancur sehancur hancur nya. Bagaimana tidak, aku yang biasa bersama dengan dia sekarang harus merelakan Ferdi bergandeng tangan bersama mama. Namun, namanya juga makhluk hidup pasti akan mencari harta.
Mama adalah wanita karir, yang selalu banyak uang. Semua biaya kehidupan pasti akan di tanggung, sekali pun dia masih lajang. Baru kali ini aku menemui kan seorang pria realistis seperti wanita, yang sangat menginginkan uang daripada cinta. Ya sudahlah sekarang aku akan fokus pada revan, lelaki dengan wajah tertampan di sekolah.
Tapi tidak akan pernah aku ajak ke rumah, kalau mama melihat dia hadir maka akan langsung di ambil oleh mama. Nanti malam, kami akan berkenalan dan jalan jalan ke sebuah kafe. Beberapa menit kemudian, tibalah aku di depan gerbang rumah. Dan dengan sangat lanju, aku ke luar dari mobil seraya menatap ke arah sahabat di dalam kendaraan.
“Mit, aku minta maaf banget ya udah buat kamu kecewa, aku gak bisa temani kamu sampai lama. Karena ya gini lah, kalau ngajak aku jalan jalan pasti ada aja yang terjadi,” kataku pada Mita, dia pun menatap sambil mengangguk.
“Iya, gak apa apa kok. Aku juga gak nyalakan kamu juga, siapa sih yang gak sakit hati kalau cowok kita jalan sama orang lain. Hmm … ya udah kalau gitu aku mau balik aja, terima kasih ya Vin atas waktunya yang sangat singkat ini,” jawab mita, lalu dia pergi gitu saja dari hadapanku.
Seraya menarik napas panjang, aku pun menganguk dan masuk ke dalam rumah. Entah kenapa mereka berdua harus muncul di saat yang kurang tepat. Akibatnya semua yang sudah aku rencanakan telah sirna, dengan memasuki istana yang seperti kapal pecah aku pun membuka pintu. Rasa lelah datang begitu saja, lalu diri ini duduk di ruang depan seraya menatap ke arah teras.
Suara mobil masuk, dan aku menebak kalau itu pasti maka yang pulang dari mall yang sama. Dengan menyentuh kening, akhirnya keduanya sama sama masuk ke dalam rumah. Mama menggandeng tangan kanan dari mantan pacar aku, dia adalah Ferdi.
“Tadi seru banget ya sayang, aku sampai betah dan gak mau pulang loh. Kalau kamu gimana, suka gak sama pemandangan tadi?” tanya mama pada Ferdi.
Aku menutup telinga, pura pura tak mendengar apa yang dia katakan saat ini. “Sama sayang, aku juga suka. Apalagi pas kamu yang naik ke atas kuda, He He He … jadi pengen main kuda kudaan deh sama kamu,” jawab Ferdi, dan aku melirik nya sangat tajam.
Dapat di tebak setelah ini pasti keduanya akan masuk ke dalam kamar, dan langsung praktik membuat bayi. Karena bukan hanya satu kali, tetapi berkali kali sampai aku tak dapat menghitungnya. Begitulah aktivitas mama dan Ferdi, selalu membuat sinting kalau sudah pulang ke rumah. Lelaki yang aku anggap baik dan polos, untuk di jadikan calon suami malah akan menjadi ayah tiriku nanti.
Bahkan saat ini keduanya juga belum menikah, akan tetapi mama tidak dapat di berikan nasihat dan selalu main jos terus ketika bersama dengan semua lajang lajang yang dia bawa ke rumah ini. Tak berapa lama, Ferdi pun masuk ke dalam ruangan bersama dengan mama, aku tak peduli sama sekali. Bahkan menyapa pun tidak, walau kami sama sama saling lirik.
Karena bosan, aku pindah tempat duduk dan memasuki dapur, menuang minuman yang terbuat dari jeruk segar. Aku meneguk minuman beberapa saat, dan dari arah belakang mendarat pula sentuhan lembut. Diri ini menoleh, ternyata dia adalah Ferdi dengan keadaan tidak memakai baju. Hanya bokser saja yang dia pakai, lalu aku berdiri.
“Kamu ngapain sih di sini?! Jangan pegang pegang!” kataku membentak.
“Vin, aku masih cinta sama kamu. Plis jangan gini dong, walau aku sama mama kamu tapi kita masih bisa kan—“
“Gak akan pernah bisa fer, aku gak mau menerima mamu lagi. Udah ya sekarang kamu pergi, jangan pernah dekati aku lagi,” ancam ku dengan memegang segelas minuman.
“Kamu berubah Vin, kamu gak berjuang buat dapatkan aku. Katanya kamu cinta sama aku, tapi malah mama kamu yang sangat effort sama hubungan ini. Gimana coba aku gak milih dia, tiap aku pengen malah mama kamu yang kasih,” jawabnya, dan aku pun terdiam.
Ferdi tertunduk lemah, lalu lelaki bertato naga itu pun datang mendekat, dia menatap aku dan memeluk dari belakang. Tepat di dalam dapur, aku pun membiarkan Ferdi melalukan nya. Karena selama kami pacaran, jangankan meminta jatah hubungan itu, sekadar pegangan tangan pun tidak. Selama tiga tahun pacaran selalu aku warnai dengan hubungan yang alim.
Padahal kenyataannya tidak, lelaki tidak kuat kalau hanya pacaran hanya sekadar pegangan tangan. Mereka mau yang lebih, tapi aku masih sekolah. Tak mau kalau gadis ini hilang dengan pria yang salah, akhirnya aku memilih melepas nya. Tak berapa lama, Ferdi pun mengecup pundakku dari belakang.
“Kamu udah berapa kali sama mama?” tanyaku perlahan, sangat lembut.
“Gak tahu, hampir tiap hari. Mama kamu mau memberikan, tapi kami selalu muntah di perut. Itu yang aku mau dari kamu, karena gak mungkin juga kan kalau aku kamu akan mengandung di kala masih sekolah,” katanya, lalu diri ini menarik napas panjang.
“Ya sudah, kalau kamu suka sama mama dan sudah berkali kali sama dia kenapa harus aku lagi tujuan hidupmu, lepaskan dan kembalilah padanya.”
“Vina … walau pun aku akan jadi ayah tiri kamu, tapi aku juga mau sama kamu. Plis, kamu bisa kan jadi yang kedua buat aku. Jangan ngelawan dong, bentar lagi kami akan menikah dan kamu resmi jadi anak aku.”
“Terserah fer, aku udah punya cowok, dan dia adalah lelaki yang tampan. Kamu gak akan bisa mendekati aku lagi, mulai detik ini hubungan kita gak ada lagi paham!”
Setelah membentak, aku pun pergi meninggalkan Ferdi sendirian di dalam dapur. Langkah kaki menuju lantai dua, ketika aku berada di anak tangga ternyata mama datang menemui Ferdi. Dia masih menatap arah yang sama, dan kemudian mama berkata padanya.
“Sayang … kamu kenapa ada di sini, ayo dong kita lanjutkan? Katanya kamu cuma sebentar, tapi lama banget sih?” tanya mama bertubi tubi.
“I iya Mirna, aku hanya sebentar. Kamu masuk duluan aja, mas mau ada di sini bentar lagi.”
“Mas … aku udah gak tahan, ayo masuk …,” ajak mama sangat manja, dan mereka pun masuk ke dalam.
Barulah aku kembali ke dalam ruanganku, di sepanjang perjalanan ini aku pun menarik napas panjang dan meneteskan air mata. Yang paling pedih selama ini adalah menahan sakit hati, karena aku belum pernah sesakit ini ketika merelakan mantan yang lainnya. Tapi sekarang terlihat oleh mata, kalau Ferdi sedang menabur cintanya pada mama kandungku sendiri.
Bukan hanya satu kali, bahkan berkali kali. Memang kalau di lihat lihat, mama adalah wanita yang sangat cantik, bahkan dia juga tidak salah pilih karena Ferdi bertato dan macho. Tapi salahnya kenapa harus pacar aku yang dia ajak menikah, apakah kecantikannya itu hanya di jadikan sebagai topeng untuk mengambil milik anaknya.
Setalah masuk ke dalam kamar, aku melepar gelas dari lantai dua menuju ke balkon. Mendengarkan suara suara yang menggema, dan teriakan mama terdengar sampah ke lantai atas.
“Mas … terus emm …,” ucap mama dengan bada suara berteriak, entah itu benar benar indah atau hanya sekadar ingin membuat aku muak dan hancur saja.
“Em em em …,” jawab Ferdi, lalu aku pun segera memasuki kamar mandi.
Kemudian aku menyalakan shower dan membasahi badan dengan air yang sangat deras. Tidak terkira, karena tak ada satu pun orang mampu membuat aku tenang. Derasnya air mata membuat semua ini terjadi bagai sebuah sembilu yang mampu menusuk ke relung hati yang paling dalam, aku hanya bisa mengobatinya setelah beberapa jam berlangsung.
Tak berapa lama ponsel milikku berdering di dalam kamar mandi, dan dengan tangan kanan aku langsung mengambilnya seraya menatap layarnya. Dia adalah revan, seperti nya akan mengajak aku ke luar malam ini. Di saat kesal, akhirnya aku meredah sendiri dengan caraku.
[Hallo, kenapa van?] tanyaku dengan sangat lembut.
[Kamu lagi di mama nih Vin, aku mau jemput kamu nih satu jam lagi. Bisa kan?] tanyanya balik, lalu aku pun berdiri dan mematikan shower.
[Oke, aku akan siap siap. Kalau gitu aku mau memakai baju dulu ya van, kamu datang aja sesuai dengan tempat yang aku share itu ya.]
[Baik Vin, kamu kenapa lagi nangis ya?]
[Enggak kok, aku gak lagi nangis atau apa. Kalau begitu aku langsung matikan ponsel aja ya, hati hati di jalan.]
Bersambung …
