Bab 11
Sepulang dari kampus, Adel pulang lebih cepat. Ia bahkan tak menunggu Bara dan mengabari siapapun. Adel pergi menggunakan taxi online.
Saat itu Raka melihat Adel yang pergi menggunakan taxi online, ia langsung menaiki motor sportnya dan membuntuti Adel.
Arah yang di tuju Adel bukanlah rumahnya, melainkan sebuah pemakaman umum.
Adel turun dari dalam mobil dan Raka menghentikan motornya cukup jauh dari posisi Adel turun. Raka kemudian memarkirkan motornya begitu saja dan berjalan mengikuti Adel yang masuk ke area pemakaman umum itu.
Adel duduk di samping salah satu makam yang terawat itu. Dari batu nisannya tertulis nama Sarah Maulida Hatmaja.
Itu adalah makam Ibunda Adelia. Adel duduk rengkuh di samping makam dan mengusap nisan sang Ibu.
"Hallo Ma, apa kabar? Maaf Adel datang tidak membawa bunga kesukaan Mama," ucap Adel. Raka terlihat berdiri tak jauh dari posisi Adel yang memunggunginya. Raka berpura-pura duduk di salah satu makam dengan posisi memunggungi Adel sehingga Adel tak menyadari keberadaannya dan Raka mampu mendengar apa yang ingin di sampaikan Adel kepada Ibu nya.
"Entah bagaimana dan apa yang harus aku katakan. Ma, sesungguhnya aku sangat ketakutan, aku sangat takut. Setiap mau meminum obat, rasanya begitu sesak dan aku selalu bertanya-tanya apa aku masih bisa bertahan hingga esok dengan meminum obat. Setiap malam aku merasa takut untuk memejamkan mata ini, aku takut tak mampu membuka mata lagi. Apa dulu Mama juga merasakan ketakutan seperti ini?" seru Adel dan tanpa terasa air matanya semakin luruh membasahi pipi.
"Sebenarnya aku tidak takut mati, karena aku tau semua orang pasti akan mati. Hanya saja aku takut meninggalkan semua orang yang aku sayangi di dunia ini, terutama Papa. Bagaimana perasaan Papa kalau dia mengetahui penyakit ini, penyakit yang juga telah merenggut Mama dari sisinya. Bahkan hingga sekarang Papa masih sangat mencintai Mama, sampai dia memilih hidup sendiri tanpa ingin mencari pendamping lagi."
Raka menundukkan kepalanya dengan mata yang memerah, ia mengusap matanya yang basah.
Sebenarnya bukan hanya Adel yang ketakutan, Rakapun di sangat amat ketakutan, mendengar kabar penyakit yang di derita Adel, terus saja menghantui Raka. Bayangan saat Ayahnya meninggal dulu karena penyakit jantung membuat Raka terus merasa sangat ketakutan. Ia belum siap dan tidak ingin kehilangan Adel.
"Setiap hari, rasa sakit di kepalaku semakin sering dan semakin menjadi. Entah sampai kapan aku mampu bertahan dan menahan rasa sakit ini. Sungguh Ma, Adel sangat takut... Hikzz...."
Adel menangis tersedu-sedu di sana seakan meluapkan semua beban di dalam hatinya. Raka pun masih setia menunggunya di sana.
Tiba-tiba hujan turun dengan deras membuat Raka segera berdiri dari duduknya, dan menoleh ke arah Adel yang terlihat mengusap nisan Ibunya.
"Adel pulang dulu yah Ma, terima kasih sudah mau mendengarkan curahan hati Adel. Nanti Adel datang lagi," ucap Adel mengecup nisan itu dan berdiri dari duduknya.
Gerakan Adel terhenti saat ia berbalik badan karena Raka sudah berdiri di hadapannya dengan merentangkan jaket miliknya di atas kepala Adel.
Keduanya saling bertatapan satu sama lain cukup lama. Adel mengalihkan pandangannya ke atas kepalanya dimana jaket Raka terbentang di kepalanya, melindungi dirinya juga kepala Raka dari air hujan.
"Lu..."
"Ayo kita pulang," ucap Raka kini berpindah posisi di samping tubuh Adel dengan masih melindungi kepala Adel.
Adel tak berkata apapun, ia menuruti Raka dan berjalan bersama keluar dari area pemakaman.
Mereka berlindung di di salah satu warung kelontongan yang berada di luar area pemakaman.
"Gue pesankan taxi online," ucap Raka dan mengotak atik iphone nya.
Adel menatap Raka yang fokus berbicara melalui telpon dengan sopir taxi online, kemudian tatapan Adel teralihkan ke jaket Raka yang terongok di atas kursi dalam kondisi basah.
'Kenapa lu begitu perhatian dan perduli sama gue, Ka?' batin Adel merasa sangat terharu.
"Sudah gue pesankan," ucap Raka menyadarkan Adel dari lamunannya. "Lu naik taxi saja, gue akan mengikuti lu dari belakang menggunakan motor."
Adel menganggukkan kepala.
Raka berbalik ke arah warung dan mengambil gelas teh hangat yang tadi ia pesan sebelumnya.
"Minum ini supaya tubuh lu hangat," ucap Raka menyodorkan gelas teh ke arah Adel.
Adel menerimanya dan meneguknya sedikit. Raka pun meneguk kopi panas yang ia pesan juga.
"Raka, thanks karena lu udah begitu perduli sama gue," ucap Adel.
"Lu ngomong apa sih, gue gak butuh terima kasih dari lu. Dan jangan pernah mengatakan kata itu lagi, gue gak suka," ucap Raka.
Adel hanya diam saja.
"Dan Del," ucap Raka membuat Adel menengadahkan kepalanya menatap ke arah Raka. "Jangan bersikap dingin lagi seperti beberapa hari ini dan berusaha menghindari gue juga yang lainnya. Jangan buat kami merasa kehilangan lu," seru Raka membuat Adel menatap manik mata tajamnya.
"Lu berarti buat gue dan yang lainnya. Jangan pernah berubah," ucap Raka membuat mata Adel berair dan air mata itu kembali luruh membasahi pipinya.
"Maafin gue, gue sungguh merasa sangat ketakutan dan gue gak mau buat kalian khawatir dan mengasihani gue. Please Ka, jangan mengasihani gue," seru Adel.
"Gue sama sekali gak mengasihani lu, gue tulus menyayangi lu. Gue ingin selalu ada buat lu, bukan berarti gue kasihan sama lu. Gue benar-benar tulus perduli dan sayang sama lu, Del. Lu sangat berarti buat gue," seru Raka terlihat begitu tulus hingga membuat Adel sangat terharu di buatnya.
"Gue juga sayang banget sama lu," ucap Adel tersenyum.
"Jangan hilangkan senyuman ini, oke." Raka mengusap air mata di pipi Adel dan mencubit pipinya.
"Aww... ih lu!" keduanya terkekeh.
'Tawa lu seperti udara sejuk yang mampu membuat gue selalu hidup. Jangan pernah menghilangkan itu semua, Del. Gue akan lakuin apapun juga buat mempertahankan tawa itu selalu ada di bibir lu.' Batin Raka.
Tatapan mereka terputus karena suara klakson mobil. Raka membantu Adel menaiki mobil, setelahnya ia membayar minuman mereka dan beranjak menaiki motornya. Membuntuti mobil yang di naiki Adel.
***
"Hai kak Adel," sapa Desi masuk ke dalam kamar Adel. Adel yang saat itu sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya menghentikan gerakannya dan menoleh ke arah Desi yang berjalan ke arahnya.
"Kenapa Des?" tanya Adel.
"Tadi kemana? Kak Bara mencari Kakak lho," seru Desi.
"Tadi Kakak ada keperluan," jawab Adel.
"Oh iya tadi aku di traktir makan lho sama kak Bara," seru Desi yang duduk di sisi ranjang yang berada tak jauh dari posisi Adel duduk di kursi meja belajarnya.
"Oh ya?"
"Heem, tadi kan ada kumpulan senat dulu. Terus Raka juga udah pulang duluan, jadi aku pulang bareng kak Bara. Kebetulan kami lewat kedai ramen, jadi makan ramen dulu. Itu di bungkusin buat Kakak. Kata kak Bara, kakak suka yang rasa seafood," celoteh Desi.
Adel tersenyum, dan kecurigaannya selama ini sedikit berkurang. Kenyataannya hubungan Bara dan Desi tidak seserius itu. Mereka dekat karena Desi adik sepupu Adel.
"Mau di makan sekarang? Biar aku panaskan," ucap Desi.
"Tidak perlu, Kakak belum lapar. Simpan saja dulu," seru Adel yang di angguki Desi.
"Ya sudah, kalau gitu aku tidur duluan yah," ucap Desi yang di angguki Adel.
Desi pun beranjak dari duduknya dan berlalu pergi meninggalkan kamar Adelia.
"Ah syukurlah ternyata kecurigaanku ini hanya ketakutan belakang. Ternyata Bara masih memikirkanku," gumam Adel.
***
