Bab 10
Raka memperhatikan Adel yang berjalan dengan tatapan kosong menyusuri lorong rumah sakit. Ia bahkan melupakan keberadaan Raka di dekatnya. Setelah keluar dari ruangan Dokter tadi dan mendengar fakta yang sangat mengejutkan, Adel tidak membuka suara sama sekali. Raka pun tidak berani membuka suara, karena ia pun sama syock nya mendengar kabar itu.
Adel berjalan terus menyusuri trotoar saat sudah keluar area rumah sakit dan Raka dengan setia mengikutinya.
Cukup jauh mereka berjalan hingga tubuh Adel merosot dengan berpegangan pada pagar besi salah satu rumah.
"Del!" Raka ikut duduk rengkuh di hadapan Adel dengan tatapan terluka dan iba.
"Kenapa Ka," gumam Adel tak kuasa lagi menahan tangisannya hingga air mata yang sejak tadi ia tahan, akhirnya luruh membasahi pipinya.
"Lu harus kuat, gue ada di sini buat lu. Lu gak sendirian Del, kita akan sama-sama hadapi semua ini. Gue yakin lu akan sembuh," ucap Raka memegang tangan Adel memberinya kekuatan.
"Gue takut..." isaknya.
Raka membantu Adel berdiri dan memapahnya, ia membawa Adel masuk ke salah satu taman yang ada di dekat sana. Raka mendudukkan Adel di salah satu kursi taman dan ia ikut duduk di sampingnya.
"Gue ada di sini buat lu, lu gak perlu takut." Raka menarik kepala Adel untuk bersandar di bahunya.
"Gue akan selalu bersama lu," ucap Raka dengan penuh keyakinan. Walau di dalam hatinya ia pun merasa sangat ketakutan, ia takut kehilangan sahabat tersayangnya. Ia rela kehilangan seribu Desi dalam hidupnya, tetapi ia tidak akan pernah rela dan akan sangat hancur kalau sampai kehilangan seorang Adelia.
"Lu akan sembuh, Del. Gue akan selalu bersama lu," bisik Raka.
Adel hanya mampu menangis tersedu-sedu di dada bidang Raka yang kini memeluknya.
Setelah sedikit tenang, Adel mengangkat kepalanya hingga tatapan mereka beradu.
"Berjanjilah padaku, Raka. Papa... jangan sampai Papa mengetahui semua ini," isak Adel.
Raka hanya menatap mata merah dan sembab itu tanpa membuka suara. "gue tidak mau Papa khawatir dan akan sangat sedih mengetahui penyakit gue ini. Penyakit yang juga merenggut Mama dari hidup kami, hikz..."
Raka hanya menganggukkan kepalanya dan kembali memeluk Adel yang menangis tersedu-sedu. Jelas sekali ketakutan dan kehancuran dari mata Adelia.
Raka memohon kepada Tuhan, biarlah dirinya yang sakit dan menanggung ujian itu. Ia tidak sanggup melihat Adel menangis dan hancur.
***
Seharian itu Adel menghindari sahabatnya dan juga Bara. Ia seakan ingin menyendiri dan menenangkan hatinya. Saat ini Adel tengah duduk di perpustakaan, ia membaca salah satu buku mengenai kedokteran dan beberapa buku tentang penyakit kanker. Ia ingin mengetahui seberapa ganasnya kanker yang tumbuh di dalam tubuhnya dan seberapa lama ia akan bertahan hidup menahan rasa sakit ini.
"Serius sekali."
Seruan itu membuat Adel menoleh dan terlihat seorang pria tinggi dengan wajah tampan dan kulit sawo matang. Pria berkacamata minus itu tampak memakai kemeja putih bergaris dengan bagian tangannya yang di lipat hingga siku.
"Ah kamu pasti bertanya-tanya siapa saya, bukan?" serunya membuat Adel semakin mengernyit bingung.
"Perkenalkan namaku Damar, aku dosen baru di sini," serunya membuat Adel tersenyum kecil.
"Saya Adelia, Pak."
"Kamu asyik sendiri di sini, sejak tadi saya perhatikan kamu nampaknya begitu serius dan sangat antusias dengan apa yang sedang kamu baca," serunya kemudian matanya beralih ke sampul buku yang di pegang Adel.
"Kamu mahasiswi kedokteran?" tanyanya.
"Bukan Pak, saya mahasiswi hukum," jawab Adel.
"Seorang mahasiswi hukum tertarik dengan buku mengenai penyakit kanker. Menarik," serunya.
"Saya hanya ingin menambah wawasan saja," dusta Adel.
Tak lama terdengar suara dering handphone Adel da nama Raka muncul di layar iphone nya.
"Ya kenapa?" tanya Adel mengangkat telpon.
"...."
"Gue ke kelas sekarang," jawab Adel kemudian memutuskan sambungan telpon.
Adel beranjak dari duduknya dan membereskan buku buku yang sudah ia baca. "Senang bisa berkenalan dengan Bapak, kalau begitu saya permisi dulu Pak." Adel berlalu pergi meninggalkan Damar.
Damar terus memperhatikan Adel yang berjalan menjauh darinya.
"Dia mirip sekali dengannya," gumam Damar tersenyum simpul.
---
Adel baru saja masuk ke dalam kelasnya dan Raka langsung menghampirinya dengan penuh rasa khawatir.
"Lu darimana saja sih?" tanya Raka.
"Gue dari perpustakaan," jawab Adel.
"Lain kali kasih tau gue kalau mau kemana-mana, biar gue temenin," seru Raka.
"Gue bukan anak kecil yang harus selalu di kawal," jawab Adel terlihat tidak suka.
Adel beranjak meninggalkan Raka yang hanya terdiam dan duduk di bangkunya menyapa singkat sahabatnya yang lain dengan senyuman singkat membuat teman-temannya sedikit kebingungan. Adel tidak biasanya seperti ini.
Belum sempat mereka bertanya, seorang pria tinggi masuk yang mereka ketahui sebagai Dosen. Para mahasiswa pun mengambil duduk di bangku masing-masing dan mulai hening.
"Selamat siang semuanya," ucap pria itu membuat suasana kelas kembali ribut karena pria yang berdiri di depan mereka tampak asing bagi mereka semua.
Adel mengernyit menatap pria itu, dia adalah pria yang beberapa menit lalu menyapanya di perpustakaan kampus.
"Perkenalkan saya Damar Putra Hutomo, Dosen mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia. Pengganti Mrs. Sahila."
"Ganteng banget ih."
"Masih muda."
"Hot Dosen."
Terdengar kasak kusuk di antara para mahasiswa, membuat Damar menahan senyumannya. Ia sudah terbiasa mendapatkan pujian seperti itu, hingga tatapan Damar terarah pada Adel yang hanya terdiam sendiri dan fokus dengan catatan di depannya. Ia seakan tidak memperdulikan apapun yang ada di sekitarnya.
"Baiklah, apa ada yang perlu di tanyakan?" tanya Damar mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Tatapan Damar pada Adel tadi tertangkap oleh Raka. Raka kini melihat ke arah Adel yang terlihat acuh dan fokus dengan pulpen dan catatan di depannya.
"Mr. Damar usianya berapa tahun?"
"Mr. Apa sudah menikah?"
"Boleh minta no whattsapp nya, atau instagramnya, atau twiternya, boleh juga akun media sosial lainnya."
Pertanyaan itu satu per satu terlontar jelas dari bibir para mahasiswi membuat Damar tersenyum.
"Usia saya 30tahun dan saya belum menikah. Saya memiliki akun instagram, kalian bisa ikuti," serunya dan dengan santai menuliskan akun instagramnya di papan tulis.
Pandangan Damar sesekali tertuju pada Adel yang terlihat acuh saja dan tidak perduli dengan keramaian sekitarnya. Entah kenapa Damar merasa begitu penasaran dengan sosok Adel itu.
'Mereka berdua sangat mirip,' batin Damar.
***
"Del, lu kenapa sih?" tanya Rinrin dan Milla yang berjalan menyamai langkah Adel.
"Gue gak apa-apa, gue baik-baik saja," seru Adel.
"Lu berubah sih menurut gue, hari ini lu kelihatan murung," seru Milla.
"Gue sungguh baik-baik saja," ucap Adel.
"Udah kali jangan pada kepo, mungkin Adel mood nya lagi jelek," seru Raka menghentikan pertanyaan dan kecurigaan dari sahabatnya.
"Kalau gitu kita jalan ke mall yuk, siapa tau mood lu kembali baik," seru Rinrin.
"Yah, gue gak bisa," seru Milla.
"Kenapa?" tanya Rinrin.
"Gue di jemput someone," kekeh Milla.
"Cieee pacar baru lu itu yah," seru Rinrin yang di angguki Milla.
"Lu udah punya pacar?" tanya Dendi dengan nada sedikit meninggi.
"Iya dong, emangnya lu yang betah ngejomblo," kekeh Milla dengan wajah polosnya tanpa menyadari perubahan raut wajah Dendi.
"Dasar gak peka," gerutu Rinrin pelan seraya menepuk jidatnya sendiri.
"Kita aja, gimana Del?" tanya Rinrin.
"Gue lagi gak mood kemana-mana, Rin. Gue pengen istirahat saja," seru Adel.
"Yah..."
"Lu ke mall sama gue aja, yuk?" ajak Jeta.
"Kagak ah, lu mah pelit. Jarang jajanin gue kalau jalan-jalan," seru Rinrin.
"Fitnah lu, fitnah lebih nyesek dari pada di selingkuhin," seru Jeta dengan nada gemulai membuat yang lain terkekeh mendengarnya.
"Yang ada juga lu yang suka selingkuh, dasar kadal," seru Rinrin.
"Yah cicak teriak kadal," ucap Jeta tak mau kalah.
"Sesama kadal jangan saling baku hantam," seru Milla dengan kekehannya.
"Adel."
Panggilan itu membuat mereka menghentikan candaan mereka dan menoleh ke sumber suara. Tak jauh dari mereka, Bara tampak berjalan menghampiri mereka semua.
"Kamu kemana saja sih, seharian ini aku cari kamu gak ada terus. Kamu seperti sedang menghindariku," seru Bara yang kini sudah berada di antara mereka dan berdiri berhadapan dengan Adel.
Tatapan Raka jelas sekali menyiratkan kebencian pada Bara dan rasanya ia ingin sekali ia meninju wajahnya itu. Raka bersumpah, satu tetes saja air mata jatuh dari pelupuk mata Adel karena pria di depannya itu, maka Raka tak akan menahan dirinya lagi untuk meninju wajahnya yang sangat menyebalkan.
"Aku sibuk, dan ada beberapa tugas yang perlu di kerjakan di perpustakaan," dusta Adel.
Para sahabatnya saling beradu pandang, mereka tau kalau Adel tengah berbohong. Dan tidak biasanya Adel berbohong, bahkan Adel termasuk paling sering berkata jujur di antara yang lain. Tetapi kali ini dia berbohong dan sahabatnya yakin kalau terjadi sesuatu di antara Adel dan Bara.
"Begitu yah, kamu mau pulang? Ayo aku antar," ucap Bara.
"Emm itu..." Adel menatap ke arah Raka yang jelas sekali ketidaksetujuan di matanya. Tetapi Adel sedang tidak ingin bertengkar dan berdebat baik dengan Bara maupun dengan Raka. "Baiklah."
Jawaban Adel jelas sekali membuat Raka kecewa, tetapi Raka tidak bisa berbuat apapun. Itu adalah pilihan dan hak Adel untuk tetap bersama Bara.
Tak lama terlihat sebuah mobil berhenti di dekat mereka semua dan seorang pria menuruni mobil itu.
"Milla," panggil pria itu membuat Milla tersenyum merekah dan merasa begitu senang.
"Guys kenalin ini Andrew, dia pacar gue," seru Mila tersenyum merona.
Andrew berkenalan dengan semuanya kemudian berpamitan pada semuanya dan pergi bersama Milla.
"Astaga apa itu berarti cuma gue yang jomblo di sini?" ucap Rinrin setelah kebergian Milla dan Andrew.
"Makanya terima ajakan gue buat jadi pacar ketiga gue," seru Jeta.
"Dih ogah," seru Rinrin.
"Oke guys, gue juga balik duluan yah," seru Adel. "Ayo Bar."
Bara dan Adel pun berpamitan dan berlalu pergi meninggalkan mereka semua.
"Ka, lu gak bareng si Desi?" tanya Dendi.
"Males!" Raka kemudian berlalu pergi begitu saja membuat Rinrin, Jeta dan Dendi saling pandang.
***
