Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Berdandan Cantik

Berdandan Cantik

Kai duduk di sebuah bangku  pinggir danau usai menemui pengacara Kakeknya pagi tadi. Matanya yang masih membengkak terus saja mengeluarkan cairan bening dari sana. Kai merasakan kepedihan yang luar biasa saat Kakeknya pergi, apalagi dengan keputusan ini. Kai harus terima. Kai harus percaya pada kakeknya. Tidak mungkin Kakek akan menjerumuskannya pada sebuah masalah. Ini keinginan Kakek yang terakhir, ia harus membalas Budi dan jasa Kakek yang telah mencintainya dan mengasuhnya sejak kecil.

"Kakek... kalau Kai nggak kuat buat jalani hidup gimana? Kai capek.."

Kai menundukan kepalanya. Rasanya sangat berat. Semunya lengkap, beban, penderitaan, rasa sakit dan kecewa bercampur menjadi satu.

Ber-iringan dengan itu. Ponsel di saku celananya bergetar membuatnya segera mengangkat telfon.

"Kai.."

"Ada apa, pak?"

"Saya akan atur jadwal kamu ketemu sama keluarganya pak Reno. Dan untuk kepindahan Sekolah kamu.."

"Apa? Pindah sekolah? Kenapa harus pindah?"

"Kai. Kamu harus satu sekolah dengan Aska, calon suami kamu.."

"Tapi, buat apa repot-repot pak? Saya bisa tetep Sekolah di Sekolahan saya yang lama."

"Nggak bisa, Kai. Oh ya, malam ini juga kamu ketemu keluarga Pak Reno.."

"Hah? Kenapa secepet itu, Pak?"

"Baru saja Pak Reno membalas pesan saya. Dia ada waktu malam ini untuk bertemu kamu."

"Tapi, saya belom siap pak. Saya.. saya belom siap menikah. Saya masih kelas dua belas SMA.."

"Kai, Lebih cepat lebih baik. Kamu, harus menikah sebelum ujian tengah semester dua.."

"Tapi..Pak.."

"Udah dulu ya, Kai. Saya masih ada kerjaan. Kamu nanti akan di jemput orang saya untuk siap- siap ke salon dan Butik.."

"Hah.. i..iya.."

Saat sambungan telepon telah di matikan oleh pengacara Kakek. Kai kembali menghela napas panjangnya. Bagaimana mungkin? Ini semua seperti mimpi di siang bolong yang tak berujung.

"Terus gimana nanti wajah suami Kai? Kalau ganteng ya syukur. Tapi, kalau Kai dapetnya jelek gimana? Ya kalaupun jelek tapi anak orang kaya kan harusnnya nggak papa. Eh nggak. Uang bisa di cari keturunan tidak bisa di ganti. Ah nggak tau ah...malah mikir apa aku ini,"

Lima belas menit berlalu saat seorang pria menjemput Kai untuk mengantar gadis itu membeli pakaian dan pergi ke salon.

"Haruskan seribet ini?" tanya Kai pada dirinya sendiri saat kakinya berdiri di depan Butik besar.

"Butik mahal. Kenapa bapak ini bawa aku ke sini? Mau bayar pakai apa aku? Ah lebih baik aku balik ke mobil.."

Kai kembali berjalan ke arah parkiran mobil merah yang tadi ia tumpangi. Gadis itu kembali menemui Bapak bapak berbaju hitam suruhan pengacara Kakeknya itu.

"Pak," panggil Kai.

"Iya, kenapa kok balik lagi?"

"Butiknya mahal. Balik aja yuk, kita beli di pasar.." jawab Kai seadanya.

"Tapi, Pak Rahmat menyuruh saya mengantar anda kesini. Di butik ini,"

Kai menggaruk kepalanya sendiri. Melihat gedung mewah di hadapannya membuatnya harus menelan ludah susah payah.

"Tapi, saya nggak berani masuk, Pak. Saya nggak punya uang buat beli gaun di sini.."

"Soal itu sudah di atur bapak. Mbak pilih aja bajunya, nanti Pak Rahmat yang bayar, sebut saja nama mbak.."

"Yaah? Masa sih, pak? Satu baju di sini harganya setara dengan satu motor baru lho, pak. Saya kan bener-bener nggak punya uang.."

Kai tetap berkeras hati pada pendapatnya sendiri.

"Kata bos, anda tinggal mencoba baju yang anda suka."

Kai menghela napas panjangnya. Kemudian melihat pria di hadapannya itu sambil meneliti penampilannya dari atas ke bawah.

"Atau perlu saya antar?" Tawar pria itu lagi.

"Nggak usah, saya masuk sendiri aja.." jawab Kai kemudian segera berlalu dari sana.

Setelah masuk ke dalam Kai mulai melihat keindahan sebenarnya dari gaun-gaun yang tertata rapih di sana. Benar benar indah, dan sesuai dengan harganya.

"Bisa saya bantu, Kak?" tanya pegawai itu dengan ramah.

"Saya mau cari Gaun untuk makan malam keluarga," jawab Kai tanpa mengalihkan fokusnya dari gaun gaun di hadapannya.

"Bisa ikut saya.. mau cari gaun warna apa, dengan model seperti apa?"

Kai mulai berjalan mengikuti kariawan itu untuk pergi ke lantai atas gedung ini.

"Saya pengen warna Natural, mbak. Terus nggak terlalu mencolok, sederhana aja tapi juga modern. Terus ada bagian lengannya.."

Kariawan itu pun menganggukan kepalanya sambil mencari keberadaan letak gaun yang di inginkan Kai.

"Mungkin Kakak suka dengan ini?" kata Kariawan itu sambil menujukan gaun sesuai kriteria Kai.

"Nah, ini bagus mbak.."

Kai mengambil alih gaun itu dari tangan pegawai toko. Kemudian melihat secaa detail gaun yang sekarang ia pegang.

"Sepuluh  juta? Untuk satu gaun?" tanya Kai kaget setelah melihat berapa bandrolan harga untuk satu gaun ini.

Kariawan itupun menganggukan kepalanya.

"Gila sih, bisa buat makan satu tahun.." gumam Kai pada dirinya sendiri.

"Gimana? Cocok atau mau cari yang lain?"

"Emmm saya ambil yang ini aja, mbak."

"Mau ukuran apa?"

"Ukuran Ls.."

Kai kembali menyerahkan gaun itu ke pada Pegawainya. Kemudian bergumam dalam hati yang mulai berdebar. Bagaimana mungkin dia seberani itu masuk ke dalam Butik dengan badrolan harga yang luar biasa.

"Aku sama sekali nggak bawa uang sepeserpun. Trus nanti ngomongnya gimana ya?"

"Atas nama siapa?"

"Kaira,"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel