Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

[3] Control

LELAKI itu duduk di sisi tempat tidur seraya menggenggam tongkat baseball nan kokoh di tangan, berdiri tegak seraya diputar-putar dan disaksikan oleh matanya yang tampak menerawang. Ekspresi datarnya menyimpan sirat kelam, bagai tengah mengenang sesuatu dalam diam.

Hingga akhirnya dia kembali ditarik dari lamunan berkat jeblakan pintu kamarnya, menampakkan seseorang yang sudah memasang raut tidak sukanya seraya melangkah masuk.

“Woy! Lo mau telat ke sekolah, ya?” orang itu tampak lebih tua dari si lelaki, merupakan kakak kandung sekaligus tulang punggung di rumah kecil ini.

Abhimata Janitra. Atau biasa dipanggil Bhima. Pria berusia 24 tahun itu langsung merebut tongkat baseball tersebut, menatapnya sejenak hanya untuk memberikan cebikan keras sebelum mengembalikannya ke tempat semula.

“Jangan maksa gue buat nyeret lo pagi-pagi gini cuma karena tingkah nggak jelas lo, Ndra. Cepet sarapan! Gue juga mau berangkat kerja, tau!”

Andra, lelaki itu akhirnya bangkit. Tanpa berniat menatap kakak tunggalnya menjawab malas seraya beranjak keluar kamar, “Bawel deh lo, Kak.”

“Bodo!” dengus Bhima. Begitu adiknya itu menghilang, ia kembali melirik tongkat baseball tersebut, “Kalau gue udah hilang kesabaran, gue udah bakar barang yang lo bilang berharga itu,” gerutunya sebelum menyusul keluar kamar.

****

“Selamat pagi, Andra!!”

Andra sebatas memutar bola mata. Sudah tidak terkejut lagi dengan kemunculan Adelina di hadapannya. Dari dia berbelok ke jalanan ini pun Andra sudah melihat Adel yang berdiri di depan pintu gerbang sekolah. Menunggu dirinya seperti biasa. Seperti sudah menjadi sarapan rutinnya di pagi hari. Andra memilih mengalah karena setidaknya gadis itu sudah berhenti memanggilnya dengan panggilan aneh seperti kemarin-kemarin.

“Andra udah sarapan, belum? Gue bawa bekal loh! Kalau lo belum sarapan, makan punya gue aja!”

“Gue udah sarapan dan gue nggak mau makanin bekal lo,” mana tau makanannya udah dijampe-jampein terus gue sakit perut entar, lanjut Andra di dalam hati.

“Takut gue nggak bisa makan, ya? Gue udah makan banyak di rumah jadi bisa tahan sampai jam dua belas nanti, kok!”

Adel itu memang terlalu percaya diri dengan segala pemikirannya. Padahal Andra tidak ada pikiran sampai ke sana.

“Ya udah, istirahat nanti nggak usah ke kantin. Makan punya gue aja, ya!”

Andra memilih diam. Percuma dia balas dengan sebuah penolakan. Hanya membuang stok kesabarannya di hari ini.

Justru Andra mulai dirundung tanda tanya mengenai kejadian saat itu. Andra baru menyadari bahwa gelagat Adel terlihat aneh meski sekilas tampak biasa. Adel itu memiliki kebiasaan mengenakan jaket kapan saja selama tidak ada guru yang menegur, dan gadis itu akan selalu menyembunyikan tangan-tangannya ke dalam sakunya. Pernah sekali Andra mengamati Adel yang melepas tas sekolah di dalam loker depan ruang kelas dan tampak mengaduk-aduk isinya lalu mengantungi benda yang di dapatnya ke dalam jaket.

Andra tidak mengerti mengapa Adel seperti harus mengantunginya selama sekolah berlangsung. Jika memang benda itu penting, apakah Adel memiliki sesuatu yang berhubungan dengan benda itu? Inhaler namanya, alat medis berupa obat genggam atau obat hirup. Biasa digunakan untuk orang yang menderita sesak napas atau biasa disebut dengan asma.

Melihat pribadi Adel yang tergolong hiperaktif dan cenderung serampangan, Andra tidak yakin bahwa gadis itu mengidap hal tersebut. Sulit untuk dipercaya.

...

Hentakan tiba-tiba di atas meja berhasil mengejutkan Andra. Matanya langsung berlari mendapati gadis yang baru saja berulah meletakkan kotak bekal berwarna biru lalu mendudukkan diri tepat di hadapannya tanpa merasa bersalah sama sekali.

“Bekal yang udah gue janjiin tadi pagi!” Adel tampak ceria sambil membuka kotak makanan tersebut. “Taraaaa! Nasi goreng spesial ala Adelina!”

Menu yang sangat biasa, sebenarnya. Nasi goreng yang sedikit kemerahan itu dihiasi dengan potongan-potongan sosis juga telur dadar gulung. Apalagi mendengar seruan penuh bangga milik Adel bak menunjukkan bahwa ini buatan gadis itu sendiri.

“Gue bikin pagi-pagi banget, lho! Tapi masih bisa dimakan, kok! ‘Kan tahan lama.” Adel memamerkan cengirannya seraya mengambil sendok dan garpu yang sudah tersedia di dalam. Menusuk sepotong telur dadar gulung lalu mengarahkannya pada Andra. “Coba, deh!”

Andra mendengus pelan. Gadis ini tidak ada lelahnya menarik perhatiannya. Apalagi sekarang kelas mulai bising dengan bisikan-bisikan tidak mengenakkan begitu melihat tingkahnya di depan Andra.

“Cewek aneh.”

“Ngapain sih, deketin si Culun itu mulu?”

“Nggak ada cakep-cakepnya aja dikejar-kejar begitu.”

“Seleranya rendah banget.”

“Apalagi udah ditolak berkali-kali. Nggak tau diri.”

Telinga Andra saja panas mendengar segala gunjingan yang ditujukan untuk Adel. Tapi empunya sendiri masih bisa menyematkan senyum merekah bercampur konyol yang membuat Andra semakin tidak habis pikir dengan jalan pikiran seorang Adelina. Gadis ini sudah dijauhi teman-temannya hanya karena mendekati Andra. Apa dia tidak memikirkan itu?

“Tunggu apa lagi? Ayo makan!” Adel yang merasa tidak dihiraukan, akhirnya dengan paksa menjejalkan telur dadar gulung itu ke mulut Andra. Membuat sang empu melotot sebal yang tidak digubrisnya, “Gimana? Enak, 'kan?”

Andra menarik napas dalam, mengunyah makanan di dalam mulutnya itu. Hanya sesaat karena tiba-tiba saja mulutnya berhenti bergerak.

Adel menunggu penuh antusias. Dia memang tidak begitu pandai memasak tetapi setidaknya dia sudah mengikuti resep andalan kakaknya dengan hati-hati dan sudah berlatih lebih dari satu kali sebelum ini.

“Hambar.”

Dan jawaban telak Andra seketika melenyapkan keantusiasan Adel.

“Lo maksa gue makan makanan yang nggak ada rasanya ini? Bercanda ya, lo?”

Adel menggeleng cepat. “Enggak, kok. Gue—”

“Kalau lo nggak bisa masak, nggak usah sok mau ngasih bekal lo ke gue. Atau lo emang mau ngerjain gue?” Andra mendengus sinis. “Benar juga. Gue 'kan si Culun yang bisa dikerjain sama siapa aja termasuk lo juga.”

“Gue nggak ada maksud kayak gitu...” untuk kali ini, Adel menurunkan pandangannya. Rasanya tak kuasa berlama-lama membalas iris hitam yang tengah menusuknya terang-terangan.

“Nggak usah muna jadi cewek. Gue masih sadar diri sama posisi gue, dan harusnya lo juga sadar sama kelakuan nggak jelas lo itu.” Andra bangkit dari duduk, menatap datar gadis itu sekali lagi seraya berkata, “Telur dadar aja lo nggak becus bikin. Gimana dengan nasi gorengnya? Gue bakal muntah-muntah kayaknya,” menutupnya dengan pedas sebelum melangkah keluar kelas. Meninggalkan gadis yang sudah mematung di tempat duduk di depan mejanya.

Seketika ejekan juga gunjingan menusuk telak pendengaran Adel yang mengguncang batin, memicu rasa sesak yang memilukan di dalam dada hingga menyumbat kemampuannya untuk bernapas. Diam-diam Adel menggigit bibir bawahnya dengan kuat, menahan rasa perih di matanya, mencoba menarik napas senormal mungkin.

Tangannya bergerak membereskan kotak makannya. Begitu cepat agar tangan-tangannya yang tampak gemetar tidak terlihat. Lalu menyimpannya ke dalam saku jaket, menggenggam erat benda berupa obat hirup di balik saku, sebelum akhirnya ia bangkit dari duduk lalu melangkah cepat keluar dari kelas.

Membiarkan kotak makan itu tetap di meja Abiandra.

...

Sesungguhnya Andra tidak bermaksud untuk kasar. Dia hanya ingin menghentikan perbuatan Adel yang bisa merugikan gadis itu sendiri. Andra tidak senang mendengar semua orang di sekitarnya ikut membicarakan Adel. Gadis itu tidak pantas mendapat perlakuan yang sama seperti dirinya. Andra memang tidak pernah melihat Adel bersama teman-temannya namun Adel yang terlalu gencar mendekatinya membuat teman-teman sekelas semakin membuat jarak dengan gadis itu.

Andra hanya tidak mau Adel ikut dikucilkan seperti dirinya.

Tapi, justru sekarang Andra tidak bisa tenang sebab tidak menemukan keberadaan Adel. Beberapa kali tadi dirinya melirik ke belakang, namun Andra mengaku gelisah karena tidak mendapati sosok yang biasa mengekorinya.

Andra juga hanya menemukan kotak bekal warna biru itu tergeletak rapi di atas mejanya. Tidak ada pemiliknya. Mengingatkannya akan fakta sebenarnya bahwa telur dadar gulung buatan Adelina tidaklah hambar apalagi buruk. Gadis itu sudah bisa dikatakan pandai dalam membuat bekal sederhana ini meski selera Andra adalah tidak begitu menyukai makanan asin.

Andra sudah cukup keterlaluan karena sudah merendahkan masakan ini.

Dan boleh dikatakan bahwa Andra tengah menyesal saat ini.

****

Tapi ternyata dugaan mengenai Adel yang sudah sedikit jera sangatlah salah. Andra hampir lupa akan kenyataan bahwa gadis itu memang keras kepala.

“Hari ini gue bikin pizza mie, lho! Telurnya gue banyakin sekalian dicampur sedikit tepung biar agak gede. Hehehe!” Adel dengan cengiran polosnya membuka kotak bekalnya yang sudah terlihat familiar di mata Andra. Menampakkan beberapa potongan mie berbalut telur goreng berbentuk segitiga, lalu kentang koreng menjadi teman makanan tersebut.

“Lo tuli, ya? Gue udah bilang kalau gue nggak mau makan bekal bawaan lo!”

“Kenapa? Dengan begini 'kan gue juga sekalian belajar masak,” seperti biasa Adel menjawab dengan ringan. “Lagipula lo juga bisa hemat, nggak perlu ke kantin buat beli makan!”

“Dan jadi korban uji coba nyicip masakan lo itu?” sambar Andra sinis.

“Eii! Gue begini 'kan demi jadi pacar yang baik buat lo.”

Ya ampun, kenapa gadis ini selalu mengaku dirinya sebagai pacar Andra, sih? Ada berapa banyak rasa percaya diri tinggi seorang Adelina itu?

“Gue udah bilang kalau lo bukan pacar gue. Kita nggak pernah pacaran!”

Andra buru-buru bangkit dari duduk. Ingin meninggalkan Adel di saat ia harus melihat ada seseorang datang. Masuk ke kelas ini dengan gelagat angkuhnya. Menghampirinya.

“Dari kemarin gue nyariin lo, ternyata ngumpet di kelas ya,” Dhanu berkata penuh sarkas disertai seringai merendahkan. “Oh iya, udah punya pacar sih, ya. Sekelas pula. Jadi betah romantis-romantisan di kelas,” ejeknya sambil mendudukkan diri tepat di sebelah Adel, merebut garpu dari tangan gadis itu lalu mengambil satu potong telur untuk disantapnya.

“Itu bukan buat lo! Balikin!!” tentu saja Adel melawan. Berusaha merebut garpunya dari tangan Dhanu meski terasa sulit karena lelaki itu tidak diam saja.

“Lagian nggak dimakan. Ya udah gue aja yang makan.” Dhanu beralih merangkul tubuh kecil Adel bermaksud untuk menahannya, membuat sang empu terbelalak kaget.

“Apa-apaan sih, lo?! Lepasin!!”

“Nggak seharusnya lo ngebiarin makanan kayak gini. 'Kan mubazir jadinya,” lanjutnya sok menasihati tanpa peduli rontaan Adel. Kemudian kembali menyantap telur mie tersebut seenaknya.

“Lepasin gue! Lep—Dhanu, berhenti makan itu! Itu bukan buat lo!!” Adel meronta kuat akibat dorongan rasa kesal melihat perilaku Dhanu yang hampir menghabiskan setengah dari makanan buatannya yang jelas untuk Andra.

Adel melirik lelaki yang sudah tidak bersuara sejak kedatangan Dhanu. Hanya sebuah raut datar yang terpancar di wajah Abiandra. Seolah lelaki itu memang membiarkan Dhanu melakukan semuanya.

“Wiih! Ternyata makanannya enak. Ini punya lo ‘kan, Del? Gue tebak kalau ini lo yang buat. Pinter juga, lo!” Dhanu terus mengunyah makanan Adel. “Heh Culun, parah banget lo, nggak hargain makanan seenak ini. Dari pacar, pula. Atau selera makan lo kerendahan kali, ya? Hahaha!” Dhanu tertawa sumbang.

“Lepasin dia.”

Hening segera menyelimuti mereka untuk sejenak. Adel segera menghentikan aksi merontanya dan memilih untuk menoleh pada lelaki di hadapannya. Dia berharap telinganya memang tidak salah mendengar kalau Abiandra baru saja bersuara.

“Apa? Nggak salah denger? Si Culun habis ngomong sama gue, ya?” Dhanu bersuara nyaring. Sengaja ingin menarik perhatian seisi kelas ini.

Sejak awal kelas ini sudah berubah sunyi. Segala pasang mata menghujani meja tempat ketiganya berada, menatap penuh penasaran. Tidak sedikit pula dari mereka yang terpana mendengar Andra baru berbicara bagai memerintah. Apa lelaki berkacamata itu sedang menambah daftar masalah dengan seorang Dhanu Satya?

“Lo bisa ambil makanan itu, lo makan sepuasnya sampai habis, tapi lepasin dia.” Andra berucap lagi.

“Wah, wah, wah!” Dhanu membanting garpunya, berdiri dari duduk lalu berkacak pinggang. “Gue nggak nyangka, lo berani ngomong cuma gara-gara gue megang cewek lo ini. Dikasih apa lo sama dia, hah? Telur kampungan kayak gini?”

“Jangan asal ngomong lo—” belum selesai Adel menyemburkan protes, dia sudah ditarik berdiri oleh Andra. Begitu cepatnya Andra menyeret dirinya untuk cepat-cepat pergi dari sana.

Meninggalkan Dhanu dan seluruh penghuni kelas yang tengah tercengang dengan tingkah lakunya.

“Sialan!!” Dhanu mengumpat keras seraya menendang meja di depannya. Membuat kelas semakin mencekam hingga beberapa murid memilih untuk keluar. “Jadi lo mulai berani sama gue?” desisnya penuh penekanan.

...

“Andra, bekalnya ketinggalan di meja!”

Andra tidak menggubris ocehan Adel. Lelaki itu terus membawa Adel hingga ke belakang gedung sekolah. Habis sudah tingkat kesabaran Andra. Sebagaiman dengan langkah-langkah cepatnya, emosinya mencuat saking geramnya Andra saat ini.

“Andra, bekalnya nanti dimakanin Dhanu, gimana? Itu 'kan buat—”

Andra melepas pegangannya dalam sekali hentak hingga Adel menelan kembali suaranya. Mereka sudah sampai di belakang gedung sekolah yang sangat sepi. Mata di balik kaca berbingkai itu seperti hendak menusuk mata Adel karena sudah membesarnya emosi.

Dan Adel yang terkaget-kaget merasakan nyalinya mulai menciut.

“Lo ini masih nggak ngerti juga, ya? Berapa kali lagi gue harus ngomong supaya lo benar-benar ngerti, hah?!”

Adel sedikit bergerak mundur. Mata jernihnya mulai tampak was-was melihat wajah lelaki di hadapannya mengeras, suara beratnya yang semakin meninggi kala berkata, deru napasnya bahkan memburu cepat hingga Adel tak percaya bahwa seorang Abiandra bisa terlihat menyeramkan.

“Emangnya kenapa?”

“Lo masih nanya kenapa? Lo tuh bego, ya? Nggak punya otak? Berkali-kali gue ingetin buat berhenti peduli sama gue! Lo masih nggak ngerti kalau kelakuan lo itu bisa jerumusin lo sendiri buat berhadapan sama Dhanu?! Mikir, dong!!”

“A-apa salahnya? Gue nggak peduli kalau Dhanu bakal—”

“SANGAT SALAH!!” Andra berteriak, akhirnya. Membungkam mulut Adel seketika. “Berurusan sama dia itu sama aja nganterin nyawa lo sendiri ke dia! Dan deketin gue itu sama aja kayak bunuh diri! Brengsek!!”

Adel terkesiap mendengar umpatan kasar itu keluar dari mulut Andra. Bagai tonjokan telak pada paru-parunya, memengaruhi seluruh kinerja syaraf tubuhnya hingga memicu rasa sesak yang memperparah kelangsungan bernapasnya.

Sedangkan Andra yang sudah kalap berjuang keras untuk tidak meninju apapun yang ada di sekitarnya hanya demi melampiaskan emosinya yang menggelegak. Dia sendiri tidak mengerti kenapa dia bisa lepas kontrol hanya karena melihat gadis ini hampir diapa-apakan Dhanu tadi dan justru melampiaskan kekesalannya seperti ini.

“Sialan!” Andra menyadari kesalahannya. Dia mengusap kasar wajahnya dan segera pergi dari hadapan Adel. Dia membutuhkan waktu untuk meredam tabiatnya yang tak sengaja terpancing. Berhenti di koridor sepi yang memang jarang dilewati karena mengarah pada belakang gedung sekolah tersebut. Dia nyaris membanting kacamatanya jika saja terlambat mengontrol diri.

Kenapa benteng pertahanannya bisa runtuh hanya karena seorang Adelina? Ini sungguh tidak masuk akal. Dia kini harus menyesal karena sudah berani bicara kasar di hadapan Adel. Gadis itu bahkan tidak mengekorinya lagi sekarang. Sudah dipastikan bahwa Adel terkejut bukan main di tempatnya.

Andra dengan kelabakan berlari kembali menuju belakang gedung sekolah. Dia tidak mungkin membiarkan Adel begitu saja di sana. Dia juga harus meminta maaf akan perbuatan kasarnya barusan.

Namun begitu sampai di sana, Andra harus mengurung semua niatannya dan terdiam begitu saja, melihat gadis itu sudah berjongkok dengan napas tersengal-sengal. Kedua tangannya yang tampak kecil berjuang keras membuka sesuatu. Dia langsung mengocoknya sebelum kemudian menjejalkan mulut benda itu ke dalam mulutnya, menyemprotkan isinya lalu menghirupnya dalam-dalam.

Selanjutnya, Adel jatuh terduduk bagai menyerahkan berat tubuhnya ditarik gravitasi. Mengatur napasnya yang timbul mengi dengan wajah yang tampak sudah banjir keringat.

Dan Andra tak mampu berkata-kata setelahnya.

Adelina tampak kacau hanya dalam waktu sekejap.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel