[2] Aggressive
“SELAMAT pagi, Abian!!”
Lelaki itu menghentikan langkahnya kala dihadang oleh seorang gadis yang baru saja menyapanya. Mata beriris kecoklatan itu menatap polos disertai senyum cerah yang mengembang di bibir kecilnya.
Sudah dua hari Adelina membuntuti Andra. Tepat sejak pengakuan terlampau berani di belakang gedung sekolah kala itu, Adel sudah seperti anak ayam yang terus mengekori induknya. Mengikuti Andra ke mana saja. Sampai-sampai penghuni sekolah ini tahu serta menertawakannya.
Seorang siswa culun ternyata memiliki penggemar fanatik. Adelina adalah penggemar fanatik Abiandra.
Bagaimana Andra tidak risih dengan berita itu? Bukannya membanggakan, Andra justru merasa dihina.
“Bahkan orang jelek kayak lo bisa punya fans, ya? Kayaknya gue punya saingan, nih!”
Belum lagi kelakuan Dhanu yang tidak ada habisnya selalu ikut campur dengan urusan hidup Andra. Si penguasa itu justru semakin habis-habisan menghinanya.
“Jangan kepedean deh, lo! Orang culun kayak lo punya fans macam Adel, nggak ada yang bisa dibanggain!” Dhanu pernah berkata demikian sambil menoyor kasar kepala Andra.
Justru Adelina seperti peneror berikutnya setelah Dhanu Satya bagi Andra!
“Abian, semalem tidur nyenyak, ya? Udah sarapan? Oh iya, hari ini kita ada ulangan Geografi, lho! Bian udah belajar, belum? Kita belajar bareng, yuk!”
Andra berusaha untuk tidak menghiraukan segala kicauan di belakangnya. Membiarkan gadis itu menjadi ekornya karena dia sendiri merasa percuma untuk mengusirnya. Meski sebenarnya dia terganggu dengan panggilan buatan Adelina.
Abian, lah. Bian, lah. Padahal selama ini hanya keluarganya yang memanggilnya seperti itu. Juga, nama itu mengingatkan Andra akan seseorang yang sudah berhasil dilupakannya selama ini.
“Abian!”
Andra mulai kehilangan stok kesabaran. Langsung saja ia berbalik, mendelik pada Adel yang dengan lincahnya mengekori. Bukannya takut, gadis itu justru melebarkan cengirannya.
“Berhenti manggil gue kayak gitu!”
“Kayak gitu gimana?” Adel memiringkan kepala, berpikir sejenak sebelum kembali tersenyum, “Aah, Bian? Hihi! Itu 'kan bagus. Daripada manggil Abiandra 'kan kepanjangan. Andra, udah pasaran. Jadi, Abian lebih bagus, sekalian buat panggilan sayang!”
Panggilan sayang, dia bilang?!
“Geli gue dengernya. Jadi berhenti manggil gue begitu!” tandas Andra pedas.
“Padahal gue nggak gelitikin lo, masa geli, sih?” tapi tidak disangka Adel membalas masih dengan cengiran polosnya.
Andra tidak habis pikir. Cewek ini, nggak punya urat malu, ya?
“Oh ya! Gue baru inget! Kita belum tukeran nomor HP, lho! Mana HP lo?”
“Lo pikir gue bakalan kasih?!” Andra melotot sekali lagi sebelum berbalik. Berniat melanjutkan lengkah tertundanya.
Tapi Adel dengan gesit menghadangnya. Dan kejadian tak terduga harus dialaminya.
Adel tanpa permisi meraba-raba tubuhnya, memeriksa tiap kantung seragam yang melekat di tubuhnya yang ... astaga! Apa gadis ini tidak tahu apa yang sudah diperbuatnya?!
“APAAN SIH, LO?!” Andra lepas kendali. Berteriak begitu saja berkat reaksi jantungnya bagai meloncat keras di dalam rongga dadanya.
“Mana HP lo? Lo punya LINE, 'kan? Atau WA juga nggak apa-apa. Kita bisa chat-an nanti.”
“Lo kok maksa banget, sih?!” Andra hampir berteriak lagi jika dia masih lupa di mana dirinya berdiri saat ini. Adelina benar-benar memancing emosinya hingga fokusnya hilang. Bagaimana bisa dengan tatapan innocent-nya itu, Adel berhasil membuat Andra bergemuruh seperti ini?
Mereka bahkan sudah menjadi tontonan para murid yang berlalu-lalang di sekitarnya!
“Ayo kita tukeran!”
Andra mendesah kasar. “Emang lo siapa? Seenaknya minta nomor HP gue, hah?!” dengan segera dia meninggalkan gadis itu.
Batinnya terasa panas karena mendengar bisik-bisik para murid yang sudah dipastikan melihat kejadian tadi. Segala ejekan meremehkan terlontar dari tiap mulut ditujukan padanya. Dia masih sadar sepenuhnya bahwa dia siswa yang dikucilkan di sini. Kejadian seperti tadi sudah pasti dijadikan bahan ejekan bukan bahan pengaguman.
“Gue 'kan pacar lo!!”
Andra menghentikan langkah lagi. Kini tubuhnya terperanjat mencerna betul empat kata yang berhasil mengundang keriuhan di sekitarnya.
Sejak kapan Adelina Agatha menjadi pacarnya?!
“Nggak salah denger? Tuh cewek pacarnya si Culun?”
“Gila! Kesambet apaan tuh cewek?”
“Buta, ya? Mau-maunya aja jadi pacar anak culun!”
“Seleranya, duh! Nggak banget!”
Namun gunjingan itu bagai angin lalu untuk Adel. Gadis itu penuh percaya diri kembali berdiri di hadapan Andra, menatap lelaki yang sudah mematung dengan wajah berbinar seraya menengadahkan tangan, menebar senyum lebar yang percayalah terlihat menyebalkan di mata Andra.
“Jadi, mana HP lo?”
Ya Tuhan, tolong tabahkan Abiandra!
****
Sejak kejadian bertukar ponsel secara paksa itu, Adel benar-benar bertingkah seperti penggemar sejati Andra. Mengusik kehidupan tenangnya dengan pesan-pesan yang selalu masuk ke dalam ponselnya.
[Selamat pagi, Abian! Nanti kita ketemu di depan sekolah, ya!]
Itu dikirim ketika Andra hendak berangkat ke sekolah. Lihat bagaimana seorang Adelina menyisipkan emoticon senyum antusias yang menggelikan itu.
[Hati-hati di jalan! Kabarin Adel kalo udah sampe rumah, oke?]
Itu dikirim ketika Andra sudah keluar dari sekolah. Sejenak Andra berdecih sinis. Memangnya dia sudi melakukannya?
[Jangan lupa makan malem ya, Bian~]
[Tidur yg nyenyak yaa. Sampe ketemu besok, Abian~ g'nite]
[Adel udh ga sabar pengen ketemu Bian lagi deh]
Dan masih banyak lagi pesan-pesan menggelikan yang membuat Andra mendengus jerah. Cara bicara gadis itu seolah dibuat manis. Justru terlihat menggelikan bagi Andra.
Berhari-hari Andra tidak pernah luput dari pesan-pesan rutin itu. Berhari-hari pula dia terus dibuntuti Adel di sekolah. Hingga Dhanu dan antek-anteknya itu semakin gencar mengejeknya. Adel justru tampak tidak terpengaruh. Malahan Adel bertindak melawan.
Pernah sekali Adel menghampiri Dhanu setelah lelaki itu menghina Andra juga dirinya. Di depan mereka, Adel berkacak pinggang serta menyuguhkan pelototan tajam yang sesungguhnya tidak terlihat menyeramkan sama sekali.
“Kalian begini pasti sirik karena nggak punya fans, 'kan? Kalian pikir anak-anak di sekolah ini ngagumin berandal tengik kayak kalian? Ngaca, dong! Kalian tuh udah kayak alien nggak tau tempat, seenaknya berkuasa, alias nggak tau diri! Menyedihkan!”
“Apa lo bilang?!”
Memancing emosi Dhanu. Dia langsung menghadiri gadis yang nampak tak gentar itu dengan kilat tak terima.
“Bocah tengik nggak tau diri!!” Adel justru makin menjadi. Dia memang sengaja ingin membuat seorang Dhanu Satya tersinggung.
Tapi sebelum Dhanu melancarkan aksi pembalasan, Adel sudah keburu ditarik menjauh dari sana. Abiandra lah pelakunya. Melihat tubuh Adel yang bisa saja ditiban telak oleh tubuh besar Dhanu, sudah berhasil menggerakkannya untuk segera menyelamatkan Adel. Karena jika hal itu sampai terjadi, dia akan menjadi target utama yang disalahkan sebab gadis ini berani bertindak untuk membelanya.
“Bian, lepasin! Gue tuh belum selesai berurusan sama si bocah tengik itu! Enak aja dia ngehina lo terus-terusan! Dia tuh harus dikasih pelajaran sesekali!”
Andra menghempaskan tangan Adel begitu sampai di belakang gedung sekolah. Dengan tatapan tajam bercampur tak suka di balik kacamata tebalnya, ia mencoba menggertak.
“Terus untungnya di lo apa? Lo pikir gue bakal senang? Bakal berterima kasih sama lo? Lo tuh cuma buang-buang tenaga karena gue nggak butuh pembelaan lo itu!”
“Butuh nggak butuh, gue tetap berhak buat melakukannya karena gue 'kan pacar lo.”
“Sejak kapan lo jadi pacar gue?!”
“Seminggu yang lalu.”
Andra harus menguras kesabaran untuk yang kesekian kali berkat tingkah semena-mena Adel saat ini.
“Gue nggak pernah nerima lo buat jadi pacar gue dan nggak mau pacaran sama lo! Jadi berhenti ngerecokin urusan apalagi hidup gue! Ngerti, lo?!”
“Tapi gue 'kan peduli sama lo!”
“Dan gue nggak peduli sama lo!” Andra mengusap wajahnya kasar, membuang tatapannya ke arah lain. “Bahkan diri gue sendiri...”
Adel mengerjap dua kali, memiringkan kepala, “Lo bilang apa?”
“Menjauh dari gue!” menatap tajam Adel sekali lagi, barulah Andra melangkah pergi. Meninggalkan Adel yang sudah mencebik lucu.
“Dikira gue mau?” gerutunya seraya mengulum senyum. Kemudian ia ikut membuka langkah.
Menjadi ekor Andra yang lebih panjang lagi.
****
Adelina memang gadis keras kepala. Berapa kalipun Andra menyuruhnya untuk menjauh, Adel teguh dengan pendiriannya. Dia tetap mendekat dengan senyum innocent-nya yang menyebalkan bagi Andra.
Andra sendiri mulai jerah dengan tingkah gadis itu. Terhitung sudah dua minggu dirinya merasa dihantui penggemar yang lebih mirip penguntit karena Adel tak pernah gentar merecokinya.
Sungguh tidak dimengerti oleh Andra, kenapa gadis itu menjadi agresif mengejarnya? Andra sendiri sampai tidak memiliki ide akan sisi mana dari dirinya yang berhasil menarik perhatian seorang Adelina sampai gadis itu rela bertingkah sejauh ini.
Abiandra bukanlah lelaki keren. Tidak sangar seperti Dhanu Satya. Dia adalah siswa terasingkan karena dikenal sebagai Si Culun. Lalu di mana titik menariknya? Hanya Adel satu-satunya perempuan yang menganggap dirinya tampan bahkan langsung mengajaknya berpacaran.
Sepertinya otak Adel memang sudah bergeser jauh.
Sampai sekarang pun Andra masih merasakan kehadiran gadis itu di belakangnya. Di sekolah pun Adel suka mengirim pesan chat padanya. Contohnya saja saat berada di kantin kala waktu istirahat berlangsung seperti ini.
[Makan yg banyak ya. Jangan sampe sakit! Ntar Adel sedih :(]
Andra hampir tertawa membaca isi pesan itu. Apalagi kala matanya beredar dan menangkap basah Adel yang tengah menatapnya dari meja di belakangnya, lalu gadis itu segera menunduk berpura-pura menikmati santapannya. Membuat Andra mendengus geli sebelum kembali menyeruput minumannya.
“Lucu banget.”
Hah? Lucu?
Andra langsung tersedak menyadari ucapan aneh yang baru saja keluar dari mulutnya. Dia barusan mengatakan bahwa gadis itu sangat lucu, yang benar saja?
Kayaknya otak gue lagi keseleo hari ini! Andra menggerutu di dalam hati. Heran pada dirinya sendiri.
Adel melihat lelaki itu duduk gusar di tempatnya. Ingin rasanya Adel menghampiri Andra dan menemani lelaki yang selalu duduk menyendiri di tempat seperti ini. Adel selalu mengawasi sekitaran di mana banyak murid-murid bagai menjauhi Abiandra bahkan ada yang melirik sinis lelaki itu. Hingga gelagat mencurigakan yang hendak menjahili Andra.
Seperti sekarang ini. Adel melihat Dhanu mengamati dari jauh, menitah salah satu anak buahnya untuk memberikan beberapa butir telur yang seketika memancing firasat buruk di benak Adel.
Dia segera bangkit dari duduk, berlari tepat kala Dhanu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Adel langsung menarik Andra kuat-kuat hingga keduanya tersungkur tepat kala butir-butir telur itu terlempar menghantam kursi yang sempat diduduki Andra dan pecah di sana.
Kegaduhan langsung menyergap menjadi atensi banyak penghuni kantin. Andra yang sempat merintih kesakitan kini terkejut melihat Adelina ikut terduduk dalam kondisi sama. Sebelah tangannya sudah mengusap belakang kepala menandakan Adel terbentur kaki meja.
“Elo...”
“Aduh, sakit...”
Andra melihat Adel mulai terisak pelan. Bibir kecilnya terlipat ke dalam juga sudut mata mulai mengeluarkan air. Gadis itu serius merasa kesakitan saat ini.
“Wah, gue terharu,” Dhanu datang mendekat, memasang raut simpati dibuat-buat diiringi senyum mengejek. “Lo beruntung banget ya, punya pahlawan manis kayak Adelina. Dia bahkan rela sakit cuma buat lo, si Culun yang lemah,” ejeknya disambut tawa meremehkan oleh teman-temannya juga beberapa penghuni kantin. Barulah mereka pergi.
Tidak mau ambil pusing, Andra kembali beralih pada gadis yang masih terisak pelan, menghela napas cepat. “Lo tuh bego, ya? Ngapain sih lo lakuin ini?”
Adel yang ingin menangis seketika mengerucutkan bibir. “Lo nggak lihat gimana Dhanu ngelemparin telur ke lo. Kalau lo sampai kena 'kan gawat. Gue nggak mungkin diem aja,” jawabnya jujur.
“Udah berkali-kali gue bilangin, jangan peduliin gue! Gue udah biasa ngadepin ini jadi nggak seharusnya lo bertindak sampai nyakitin diri sendiri kayak gini!”
Adel menunduk sedih. “Tapi gue nggak mau lihat orang yang gue suka dikerjain terus-terusan sama Dhanu...”
Adelina mulai lagi bicara terlampau jujur. Andra seperti merasakan ada yang menghantam sisi dalam benaknya hingga diam-diam dirinya mengepalkan tangan demi menahan suatu dorongan yang ingin sekali memegang kepala gadis itu, memeriksa kondisinya yang sungguh tidak Andra mengerti, mengapa dia harus merasakan hal ini.
“Gue mau lihat lo baik-baik aja,” Adel bicara lagi, memberanikan diri untuk menatap lelaki itu. “Abian nggak apa-apa, 'kan?”
Kenapa cewek ini justru khawatirkan gue ketimbang dirinya sendiri?
“Abian?” Adel memanggil, melihat lelaki itu tampak melamun dengan pandangan tertuju padanya. Adel sampai melambaikan tangan di depan wajahnya. “A-Andra, lo nggak apa-apa, 'kan? Atau ada yang sakit? Tadi gue narik lo kekencengan, ya?”
“Gue nggak apa-apa.”
Adel tertegun. Abiandra baru saja meresponnya. Nada lelaki itu terdengar melunak yang membuat hati Adel membuncah begitu saja.
“Kayaknya gue emang harus manggil lo Andra supaya mau bales omongan gue, ya. Hehehe!”
Melihat bagaimana wajah Adel berubah sumringah membuat Andra berdeham salah tingkah sekaligus memalingkan wajah. Dia sendiri tidak mengerti kenapa menjadi luluh seperti ini. Mana mungkin hanya karena mendengar pengakuan Adelina.
Fokus Andra teralihkan kala menangkap ada yang tergeletak tak jauh dari posisinya. Mata di balik bingkai tebalnya menyipit hanya agar memastikan bahwa tebakannya tidaklah salah. Dia hampir mengambilnya kala Adel tiba-tiba bergerak lebih dulu, meraup benda tersebut kemudian mengantunginya ke dalam saku jaket yang dikenakannya.
“Duh kok bisa jatuh, sih?” ini hanya gerutuan pelan Adel, namun Andra masih bisa mendengar sayup-sayup.
“Itu apa?”
Adel agak berjengit sebelum menoleh cepat. Memamerkan cengiran tanggung seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Bukan apa-apa, kok!”
Andra tidaklah bodoh untuk menebak benda apa itu. Orang awam seperti dirinya masih bisa mengenal namanya. Apalagi melihat sinar gugup di mata Adel berhasil membuat Andra menaruh curiga.
Kenapa Adelina memilikinya?
