Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8. Sebuah Permintaan Sederhana

Ravindra tidak menyadari bahwa kepalan itu membuat telapak tangannya sampai terluka, mengalir darah segar dari jejak kukunya.

Salah seorang ajudan yang mengiringi langkahnya juga tidak berani untuk menyampaikan hal tersebut, hanya menatap penuh khawatir.

"Kabarkan kedatangan saya." Pesan singkat itu terlontar dari bibir Ravindra, meluncur mulus bersamaan langkah tegap pria itu.

Ajudan yang tadi mengangguk, menekan tombol kecil di telinganya. "Kabarkan kedatangan Presdir ke Nyonya Besar."

Istana yang Narendra miliki terlihat tidak kalah besar dengan kediaman Ravindra, rumah utama keluarga Narendra.

Di sana, peraturan jauh lebih ketat.

Semua yang ingin bertemu dengan tuan rumah harus memiliki janji temu, terlebih dulu. Jangan tanya mengapa Ravindra bisa masuk tanpa hambatan, dialah pewaris tunggal dari semua yang dimiliki Narendra.

"Tidak Mama sangka kamu akan datang kemari, Ravi. Bagaimana kabarmu?"

Ravindra memberi kode agar orang-orang yang berada di sekitar mereka untuk pergi, memberi privasi antara dirinya dan sang Ibu.

"Sehat, Ma."

"Kamu tidak bertanya bagaimana kabar Mamamu ini?"

Mata Ravindra yang semula menatap lantai pualam di hadapannya kini beralih balas memandang Ambar. "Saya yakin semua orang menjaga Mama dengan baik, di sini."

"Terlebih lagi, jika ada masalah, mereka akan langsung mengabari saya. Bisa dibilang, sayalah orang pertama yang akan tahu hal tersebut."

Ambar tertawa, puas terhadap jawaban putranya.

"Lihat betapa cerdasnya putraku tumbuh," bangga wanita itu, lebih mendekat pada Ravindra.

Dan dengan jarak sedekat itu, Ambar baru menyadari sesuatu.

"Ravindra! Apa yang terjadi?" Ambar berteriak panik, meraih tangan putranya itu dan memeriksa bagian yang terluka dengan hati-hati.

Ravindra menepis kepedulian sang Ibu, memilih mengabaikan rasa sakit yang diterima karena luka tersebut.

Ada luka yang jauh lebih besar.

Dari sudut matanya, tidakkah Ambar menyadari hal itu?

Suasana yang semula tentang dan baik-baik saja berubah dengan sangat cepat. Beberapa orang yang berada di luar, ikut mendengar hal tersebut, mencoba untuk menerobos masuk.

Sebelum peringatan dari Ravindra membuat keributan itu berhenti.

"Lupakan saja, ini bukan apa-apa."

"Diamlah!"

Karena Ambar yang bersikeras, Ravindra hanya menurut kala Ibunya mengambil kotak obat dan mulai merawat lukanya.

Dengan telaten, Ambar membalut luka itu, memberikan perawatan dengan lembut.

"Hal yang kamu anggap kecil seperti ini, jika diabaikan akan jadi sesuatu yang membuatmu kesulitan," terang Ambar, kekeuh tak terima bantahan.

Sosok di hadapan wanita itu, Ravindra, melampirkan senyum khasnya. "Benar juga. Ini yang selalu Mama tekankan di keluarga kita."

Ambar menghentikan gerakan tangannya, melamun sejenak.

"Bagaimana saya bisa melupakan hal besar seperti ini?" lanjut Ravindra, seperti ada niatan lain dengan mengatakan hal itu pada Ambar, Ibunya.

"Apa yang kamu bicarakan —"

"Jangan mengabaikan ancaman kecil di dalam hidup, karena bisa saja berakhir buruk," ulang Ravindra, memotong perkataan Ambar.

"Itu sebabnya Mama selalu membuang, bahkan menghancurkan hal-hal yang dianggap kecil sekalipun, karena berpikir itu adalah ancaman."

Ambar adalah wanita yang takut pada jenis ancaman apapun. Ia berpikir segalanya ingin menghancurkan keluarga terhormat yang ia jaga.

Menjadi menantu Narendra membuatnya terlampau waspada, hingga akhirnya bersikap sewenang-wenang.

"Mama dibuat sibuk pada apa yang bahkan Mama ketahui tidak mampu melawan sama sekali."

"Ravindra!"

Keturunan Narendra, Ravindra Malik, tidak bisa menjelaskan seberapa jauh Ibunya ini telah ikut campur dalam segala sesuatu yang berurusan dan berhubungan dengannya.

Hanya karena tidak menyukai hal-hal kecil yang mengganggu, Ambar bahkan bisa menghilangkan seseorang untuk selamanya.

Tidak gentar dengan sindiran yang ingin Ravindra berikan padanya, Ambar membalas tenang. Nyonya besar Narendra itu bahkan tersenyum tipis, "Tidak masalah. Jika kamu lupa, Mama akan ingatkan."

"Jika tidak ingat sekali, Mama akan membuatmu ingat seribu kali. Akan terus seperti itu, sampai Mama tiada!" ujar Ambar, lebih terkesan seperti sedang mengancam.

Itu adalah alarm pertama yang ia bunyikan untuk putranya.

Prinsip yang Ambar pegang teguh tidak akan mampu digantikan. Bahkan Narendra saja tidak bisa melawan bila sudah bertentangan dengan apa yang ia yakini.

Raut di wajah Ravindra berubah, ekspresinya mengendur. Karena tidak bisa membantah atau memberi sanggahan, sosok itu hanya diam mengeraskan rahangnya.

"Jangan menatap Mama penuh kebencian seperti itu, Ravi." Ambar memperingati. "Itu membuat Mama kembali kembali mengingat pemberontakanmu dua puluh tahun yang lalu."

"Mama benci ditatapmu begitu, hentikan!"

Ambar merapihkan kembali kotak obat, menyimpannya di dalam almari. Ia melangkah mendekat kaca jendela besar di sudut kamarnya.

"Mama tidak menyesalinya." Wanita itu mengucapkan kalimat secara acak. "Meski keadaan berubah sekali pun, Mama tetap akan memilih hal yang sama untukmu!"

Muak, Ravindra memalingkan wajahnya. Menelan savila, membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

"Karena apa yang selama ini Mama lakukan dan berikan untukmu adalah yang terbaik."

Ambar memang menjalani tugasnya sebagai dengan luar biasa, Ravindra mengakuinya.

Bahkan tidak hanya itu, ia melakukan peranan lain, Nyonya besar Narendra, dengan begitu sempurna. Sampai tiada satupun yang tidak bisa berhenti kagum padanya.

Pada tindakan yang ia ambil, pada keputusan yang dirinya tetapkan.

"Karena itu Mama mencoba mengulangi keputusan Mama pada Elang?"

Ravindra yang menahan diri untuk tidak menyinggung hal tersebut tetiba-tiba terbawa emosi.

Ambar mengerutkan keningnya. Ia masih tidak bisa menebak pada topik yang mana Ravindra kini tengah membawanya berdiskusi.

"Elang?"

"Kenapa Mama mengusik hidupnya?" Tidak hanya satu, Ravindra melontarkan banyak pertanyaan bertubi-tubi pada sang Ibu. "Apa saya saja masih tidak cukup, Ma?"

"Kamu menemui Mama untuk membicarakan hal ini?"

Ravindra diam.

"Dengar, Ravindra. Mama sama sekali tidak mengerti apa yang kamu katakan." Ambar menolak melanjutkan. "Jadi jangan bicara seolah menyudutkan atau mengada-ada seperti itu!"

Ravindra yang keras kepala mendapatkan cikal bakal sikap yang demikian tidak lain dari Ambar.

Lihat sebarapa tegasnya wanita itu tak mau mengakui apa yang telah dirinya perbuat.

"Padahal saya ingin mendengar Mama berterus terang," gumam pria itu, sedih.

Memang benar, Ravindra akui malaikat yang berjasa dalam hidupnya ini menjadi alasannya bisa ada di dunia tidak punya kekurangan apapun.

Semua orang sangat menghargai gelarnya sebagai pondasi keluarga besar Narendra, Ambar tangguh dan mengurus segalanya dengan sempurna.

Tetapi berbeda kala jadi Ibu, sampai saat ini Ambar masih belum memiliki karakter penuh kasih yang Ravindra inginkan.

"Jangan tarik Elang pada persoalan cerita lama, Ma."

Adalah untaian kalimat bernada sedih yang dilontarkan oleh Ravindra. Euforia di dalam sana berubah menghangat selaras dengan sorotan mata penuh kasih dari pria itu.

Suaranya memelan, semakin lirih, "Biarkan dia melakukan apa yang ia inginkan, dan memilih apa yang membuatnya bahagia di dalam hidup."

"Ini adalah keinginan kecil dari seorang ayah untuk kebaikan putranya."

"Tolong, lakukan satu hal ini saja. Maka saya berjanji, saya tidak akan meminta hal yang lain."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel