Bab 7. Sudah Ada Pemiliknya
Citra duduk di batu dekat pantai, mengamati ombak yang menyapu bersih hamparan pasir putih di hadapannya.
Desa ini memang seperti surga. Tidak hanya cocok menjadi tempat berkebun, sebagian masyarakat juga bisa menggantungkan hidup dari perairannya.
"Jika aku dilarang berkebun dan membantu mereka di ladang, lalu apa yang harus aku kerjakan?" Citra bersuara seorang diri, mengoceh asal.
"Apa aku menangkap ikan di laut saja, ya?"
Gadis itu menjadi begitu sedih. Ia berpikir keputusan yang tepat untuk kembali tinggal dengan kedua orang tuanya setelah insiden itu terjadi, tetapi rupanya hidup lagi dan lagi memberinya kejutan tidak terduga.
Siapa yang akan menyangka bahwa pulangnya ia ke kampung halaman justru mendapatkan penolakan seperti ini.
"Aku masih tidak mengerti kenapa ibu sangat membenci kenyataan aku kembali pulang ke desa ini," ucap Citra, berat hati.
Ia membenturkan kakinya ke pasir, tingkahnya menggemaskan meski sedang kesal.
Masih belum berhenti meluapkan kekesalannya, gadis itu terus mengocah. "Apa salahku, heum? Lagipula, tidak semua pekerjaan di desa itu buruk dan yang di kota itu baik."
"Itu benar."
"Astaga!" Citra hampir terjungkal ke belakang saking kagetnya. "Ya Tuhan!"
Seseorang memberinya jawaban, padahal sejak tadi hanya ada dirinya sendirian di sana.
Jiwa Citra terasa seperti meninggalkan tubuhnya, ia bahkan sampai sesak sebab begitu terkejut. "Se-sejak kapan kamu di sana?"
Seorang pria dengan kaos putih, luaran kemeja abu-abu, mendekat. "Baru saja. Maaf membuatmu kaget, Cit."
Citra masih memegang dimana tempat jantungnya berada. "Seharusnya memberitahuku jika Mas juga ada di sini. Aku merasa seperti melihat hantu!"
"Enggak ada hantu yang wajahnya setampan aku di sini, tahu?" Bintang mengedipkan matanya, percaya diri.
Lelucon tersebut tidak terlalu ditanggapi oleh gadis itu, ia hanya melongo menatap datar.
"Gak lucu, ya?"
Niat Bintang untuk pamer terhenti karena reaksi Citra biasa saja. "A–ah, harusnya aku tidak melantur seperti itu. Aku pasti terdengar konyol."
Rani menggeleng cepat, "Enggak, kok, enggak sama sekali. Aku senang mendengarnya. Aku merasa terhibur dengan candaan dari Mas."
Beberapa saat, Bintang hanya mampu terpaku mendengar pujian itu. Tidak percaya sekaligus mencoba memastikan bahwa itu nyata.
"Sudah lama sekali," celetuk Bintang, setelah hening menyelimuti keduanya. "Melihatmu di sini seperti mimpi."
Kalimat yang menggantung itu kembali ia lanjutkan saat Citra menatapnya. "Aku pikir, aku tidak bisa melihatmu lagi setelah hari itu."
"Aku menyesal karena belum sempat mengucapkan kalimat perpisahan, Cit," tambahnya, ada nada penyesalan yang terdengar begitu kentara di sana. "Syukurlah, kamu kembali, kita masih bisa bertemu lagi."
Selama Citra memutuskan untuk pulang, baru kali ini dia mendengar ada seseorang yang bersyukur tentang keberadaannya.
Bahkan orang tuanya sendiri tidak suka kedatangannya, dan meminta Citra jujur tanpa tahu ada luka yang sedang berusaha gadis itu pendam.
"Te-tentu saja aku akan kembali. Kedua orang tuaku tinggal di sini, terlebih lagi ini adalah tempat kelahiranku." Citra membalas canggung.
Bintang.
Bila Citra perkenalkan sedikit tentang pria itu.
Sosok yang kehadirannya seringkali tidak dianggap oleh Citra karena kewaspadaan gadis itu terhadap apa yang mungkin dimiliki Bintang padanya.
Citra tahu, selama ini, Bintang menyukainya. Dia hanya tidak punya momen yang tepat untuk mengatakan isi hati dan jujur, terbuka terhadap perasannya.
Dan itulah yang membuat Citra menghindar.
"Aku sempat khawatir dan takut karena kemarin kamu terlihat tidak ingin bertemu denganku," kata Bintang. "Apa aku berbuat kesalahan? Kenapa Citra pergi begitu saja? Kurang lebih itu yang kupikirkan."
"Itu karena aku terburu-buru." Citra menjelaskan, suaranya memelan. "Maaf, Aku sama sekali tidak bermaksud untuk mengabaikanmu seperti itu."
Bintang menggeleng cepat, "Jangan minta maaf, Cit. Aku baik-baik aja."
Satu yang menjadi ciri khas dan kebiasaan dari pria itu adalah memanggil Citra dengan nama buatannya sendiri.
Cit.
Katanya terdengar manis.
"Omong-omong, apa yang sedang kamu lakukan duduk sendirian di sini?" tanya Bintang, penasaran.
Pria tampan tidak terlihat seperti sosok yang tumbuh besar di desa karena wajahnya yang lumayan menempati bagian kosong di sebelah Citra dengan nyaman.
Mereka mulai mengobrol.
Citra terjebak dan tidak mungkin buru-buru pergi dari sana bila tidak mau sampai menyakiti hati Bintang untuk kedua kalinya.
"Tidak ada, aku tidak melakukan apapun," jawab Citra, singkat dan padat. "Hanya melihat betapa cantiknya tempat ini. Tidak pernah berubah."
Memandangi sesuatu yang bentuknya tetap terus sama membuat gadis itu mulai membenci keadaannya.
"Tidak seperti manusia," cicitnya pelan. Melanjutkan tanpa berharap ada yang mendengar bagian itu.
Sayangnya, Bintang menangkap euforia kesedihan itu dengan cepat. Ini karena mereka sudah mengenal untuk waktu yang cukup lama.
Citra adalah teman kecilnya dan adik kelasnya di sekolah yang sama dengannya yang memiliki tempat spesial di hati Bintang. Bagi pria yang mengistimewakan seseorang, tidak ada yang paling penting lebih dari kebahagiaan orang tersebut.
"Jika, heum, aku tidak bilang harus ada hal yang buruk." Tetiba-tiba saja Bintang berujar dengan gugup. "Intinya apapun itu yang ingin kamu ceritakan, kamu bisa berbagi hal tersebut padaku."
Mata Citra berkaca-kaca. Dipandang penuh prihatin seperti itu membuatnya tidak bisa berkutik, kelemahan terbesarnya.
"Meskipun mungkin aku tidak selalu punya solusi untuk masalah yang sedang kamu hadapi, setidaknya beban itu bisa tersalurkan."
Bintang menekankan pada gadis itu bahwa dua lebih baik daripada satu, seperti yang seringkali Citra utarakan pada semua orang, begitu perhatian.
Melewati ujian dan kejutan takdir berdua akan terasa lebih ringan daripada seorang diri. Tidak perlu jadi yang paling penting, yang bisa mendengarkan dan tetap tinggal di sisi kita apapun kondisinya saja sudah lebih dari cukup.
Pikiran Citra masih terlalu kacau, ia menolak itu agar tidak membebani atau menarik orang lain pada permasalahannya.
"Sudah kubilang aku baik-baik saja."
"Begitukah?" Bintang tersenyum, menampilkan lesung pipit di wajahnya. "Itu juga baik. Aku lega bila memang seperti itu."
Pria itu teringat akan sesuatu, mengeluarkan apa yang ia bawa di kantongnya. "Melihatmu kembali membuatku tiba-tiba ingin memberimu sesuatu."
"Heum?" Citra terkejut, ia segera menolak apa yang mau Bintang berikan padanya. "Eh, ini sama sekali enggak perlu."
Sebuah gelang yang sangat indah, dibungkus kotak kayu berukuran mungil yang kata pria itu dibuat langsung olehnya sungguh pemberian yang luar biasa.
"Pa-padahal aku tidak minta hadiah apapun."
"Aku yang ingin memberikannya padamu, Cit. Diambil, ya. Sudah dari lama ini kusimpan untukmu."
Saat itu, kebimbangan membuat Citra gelisah. Ia sama sekali tidak mau terkesan merepotkan Bintang, tetapi menolak hadiah itu hanya akan membuat temannya ini bersedih.
Ketika menjulurkan tangan untuk menerima pemberian itu, Bintang menawarkan diri untuk memakaikan gelang langsung ke tangan Citra.
"Boleh aku yang pakaikan?"
Permintaan sederhana itu jelas tidak sebanding dengan usaha dan kerja keras yang Bintang lakukan, Citra menyetujuinya.
Dan pada waktu yang bersamaan, Bintang menyadari sesuatu. Bahwa tempat yang ingin ia isi dengan keberadaannya, rupanya telah mendapatkan pemilik lebih dulu.
Sebuah cincin melingkar di jemari Citra.
Jantung Bintang berdebar kencang, "Cincinnya indah sekali," katanya, kecewa.
