Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9. Diam Atau Bernasib Sama

Tidak pernah Ravindra terlihat setulus itu, sampai berputus asa meminta sesuatu pada Ambar yang menatapnya tak percaya.

Bayangkan, seorang Ravindra Malik Narendra.

Sosok yang dikenal tak pernah mengendur atau luluh pada hal apapun.

Siapa yang akan menyangka dapat bersikap seperti ini hanya demi putranya?

Ia bahkan menggunakan kata 'tolong' padahal tidak pernah melontarkan hal semacam itu kepada siapapun.

"Elang kembali ke rumah," Ravindra bercerita, hampir puluhan tahun tidak bertindak ramah, banyak bicara, persis saat ini.

"Tapi saya tidak tahu harus bersyukur atau malah membenci kepulangannya." imbuhnya, tercekat.

Ambar berbalik, yang semula enggan memerhatikan dan menyimak apa yang putranya sampaikan, wanita itu mulai penasaran.

Mengapa Ravindra berkata ia tidak menyukai pulangnya putra yang kini jadi satu-satunya keluarga di rumah itu?

"Mama tau kenapa?"

"Karena bukan mengoreksi apa yang salah, dia berubah menjadi monster yang mengerikan," lanjut pria itu, serak. "Saya tidak sanggup mengatakan apa yang dia lakukan."

Mata Ravindra gemetar, berkaca-kaca. Lamunan panjang itu tidak bisa ditebak untuk kisah yang mana. Tetapi yang jelas, Ravindra melihat Elang menjelma menjadi dirinya di masa lalu.

Yang dengan teganya memberi luka hati tersadis pada sosok pasangan yang ia cintai. Yang merubah perasaan kasih menjadi dendam tak termaafkan.

"Saya tidak bisa membayangkan Elang hidup seperti saya, Ma," tekan Ravindra dalam kalimatnya, berusaha menegaskan hal tersebut.

"Aku tahu apa yang terbaik untuk putramu." Ambar yang sejak tadi diam akhirnya angkat suara, terdengar tak mau mengalah.

"Hentikan, tolong!" sekarang suara itu meninggi dengan nada getar yang luar biasa pilu. "Saya yang akan urus putra saya sendiri, jadi Mama bisa berhenti di sini."

"Mama tidak perlu —"

"Jika membiarkan kalian memutuskan apa yang baik dan benar, keluarga ini akan kacau, Rav!" Belum Ravindra selesai bicara, Ambar menyanggahnya, memberi protes.

Hal ini jelas membuat Ravindra kecewa, teringat luka lama yang telah bertahun-tahun ia kubur dalam memori buruk masa lalu.

Elang adalah dirinya, pada versi tidak berdaya karena keinginan orang tua.

Putranya tertusuk pedang untuk alasan yang sama, lagi dan lagi dilakukan oleh orang yang sama.

Mamanya.

"Jadi Mama tidak mau menyerah?"

Wanita itu perlahan menampilkan senyumnya. "Sudah Mama bilang, kalian tidak punya hak untuk memutuskan apa yang kalian sukai dan tidak."

"Melainkan harus menetapkan pilihan pada yang ditakdirkan baik untuk keluarga ini! Yang pantas, ingat itu!" lanjutnya.

Sementara lawan bicara Nyonya besar ini tak berkutik, tidak ada komentar apapun dari Ravindra.

Ambar maju, berbisik kembali tepat di sebelah sang putra. "Jangan coba-coba berpikir merusak kembali keluarga besar kita dengan membawa sembarang orang, Ravindra."

"Atau nanti, mereka juga akan berakhir sama. Seperti Dewi."

Ravindra mengepalkan tangan yang padahal sesaat yang lalu baru dibalut karena terluka. Kala nama itu disebut, dunianya serasa runtuh seketika.

Begitu teganya Ambar membuat bekas tusukan yang diberikan padanya puluh tahun lalu kembali terbuka.

"Jangan bawa nama itu lagi, Ma," kelakarnya, dengan menggertakkan rahang emosi. "Kita sudah sama-sama sepakat untuk tidak pernah menyinggung tentangnya lagi di rumah ini."

"Kalau begitu jangan buat Mama sampai mengungkitnya Ravindra," kata Ambar, santai. "Kamu melakukannya lebih dulu, membuat nama itu kembali disebut!"

Terlihat Ambar menyukai momen putranya tidak berdaya seperti ini, "Mama akan singkirkan segala kerikil kecil yang menyulitkan jalan kalian."

"Baik kamu ataupun Elang, akan terus berada di bawah pengawasan Mama."

Ambar sungguh menakutkan.

Wanita itu mematenkan apa yang bukan barang keturunannya sendiri menjadi apa yang bisa diatur dan dikendalikan olehnya.

"Menerima takdir kalian dengan hati yang lapang jauh lebih baik daripada terus mempertanyakan apa yang Mama lakukan, Ravi."

"Kamu pasti tidak mau sampai ada yang bernasib sama seperti mereka berdua. Tahu apa yang bisa Mama lakukan jika sudah bertindak, 'kan, Rav?"

***

Citra teringat sesuatu.

Harusnya ia tidak menghabiskan hari-hari dengan santai meskipun tidak diijinkan bekerja.

Waktu begitu berharga, dan keberadaannya di tempat ini bukan hanya untuk memulai kehidupan baru tetapi untuk memecahkan teka-teki yang mengikatnya.

"Bagaimana aku bisa melupakan hal ini?" umpatnya, kesal.

"Aku harus mencari kebenaran dibalik semua hal yang menimpaku. Aku tidak akan tinggal diam dan membiarkan Mas Elang yang mengambil alih segala keputusan."

Gadis itu bergegas masuk ke rumah, mengendap-endap karena kali ini ia memiliki satu misi.

Apa yang ia lakukan tidak boleh sampai dicurigai oleh orang lain, apalagi kedua orang tuanya sendiri.

Sebelum ia memegang bukti yang sangat kuat untuk membuat orang-orang yang bersalah dalam hal ini bungkam, Citra tidak akan mengambil tindakan dengan gegabah.

"Kalian tidak boleh mempertahankan pernikahan ini karena kalian berdua sedarah! Satu Ibu!"

Citra terhuyung, jatuh. Mendadak kepalanya terasa berat saat satu cuplikan mimpi buruk teriakan Ambar, nenek Elang hari itu terlintas di pikirannya.

"Aargg, Ya Tuhan." Gadis itu meringis sakit, "A-aku tidak boleh menyerah!"

Karena terlalu stress, seseorang bisa terjebak pada momen dimana mereka tidak mampu mengendalikan rasa sakit yang datang tiba-tiba.

Tekanan demi tekanan itu menumpuk, membuat syaraf tegang dan menghantarkan nyeri pada pusat otak.

Gejala ini akan terus berlanjut bila Citra tidak bisa mengontrol diri, bertindak berlebih, atau terus memaksakan kehendaknya.

"Jika Ibu memang punya anak lain selain diriku, pasti ada sesuatu yang bisa memberiku petunjuk, 'kan?"

"Tapi bagaimana caranya aku bisa menemukan petunjuk itu? Aku tidak bisa bertanya secara langsung dan tidak tahu harus memulai ini darimana."

Di kamar Dewi, tidak ada barang yang menurut Citra mencurigakan. Terpajang foto pernikahan juga foto keluarga mereka dengan bingkai sederhana.

Pergi ke almari, melihat berkas-berkas penting yang mungkin bisa mengarahkannya kepada hal yang ia cari, Citra lagi dan lagi gagal.

Tidak ada apapun.

"Dimana Ibu menyimpan semua barang masa lalunya?"

"Kenapa tidak tersisa satupun yang bisa aku temukan di sini? Paling tidak, foto saja. Dimana foto kecilku?"

Masa kanak-kanak adalah satu-satunya yang bisa membuat Citra memecahkan teka-teki ini. Bila benar ia memiliki seorang saudara kandung, parahnya lagi orang itu adalah Elang, Dewi pasti memberitahunya.

Selama tinggal dengan orang tuanya, Citra tidak pernah mendengar atau tanpa sengaja mendapati keduanya berbicara tentang anggota keluarga yang lain.

Maka dari itu mengapa ia menganggap bahwa kalimat Ambar adalah omong kosong yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya.

"Jika ini hanyalah rekayasa, lalu kenapa mas Elang tega sekali sampai melakukan hal ini kepadaku?"

"Bagaimana mereka tega membuangku dari kehidupan mereka dengan cara yang seperti ini?"

Gadis itu frustasi, ia ambruk sebab kehilangan pegangan untuk tetap tegar berdiri.

Nyatanya tidak ada yang bisa ia percayai di dalam kehidupan ini.

Orang yang mengaku cinta padanya saja bertindak demikian, harus pada siapa Citra menggantungkan segala hal mulai dari sekarang?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel