Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6. Cincin Misterius

"Kapan kita akan pergi, Bu?" Citra bertanya tak sabaran, ia telah siap sedari tadi.

Bagai sedang melangsungkan fashion show, gadis itu berputar. Menggunakan kaos lusuh dengan rambut dikelabang, topi caping dan sepatu boots, penampilannya begitu berbeda.

Sementara Dewi yang juga memegang jenis topi yang sama, topi caping yang dipakai oleh para petani ketika sedang bekerja di sawah terjatuh dari tangannya saking kagetnya.

"Aku juga sudah menyiapkan beberapa bekal yang bisa kita makan di ladang," tambah Citra, bersamangat. "Kusiapkan pagi-pagi sekali."

Citra menunjukkan pada sang Ibu bawaannya yang cukup banyak.

Mulai dari alat membersihkan kebun, makanan dan minuman, semuanya dimasukkan ke dalam tas yang terbuat dari ayaman bambu.

Dewi memalingkan wajahnya, meraih kembali barang yang harus ia bawa dan melenggang pergi begitu saja.

"Sudahlah. Kamu tidak perlu ikut." Pesannya, singkat. "Di sini saja, kenapa nekat sekali mau pergi ke sana?"

"Lho, kenapa?" Citra terkejut dengan jawaban yang ia dengar, buru-buru menyusul langkah Dewi. "Tunggu, Bu! Minimal katakan dulu alasannya."

"Ke-kenapa tiba-tiba Ibu melarangku untuk pergi ke ladang bersama kalian?" lanjut gadis itu, suaranya mulai serak karena frustasi.

Tidakkah Dewi melihat persiapan apa yang sudah ia kerjakan sejak tadi?

Semua ini membutuhkan usaha yang keras, tapi dengan mudahnya wanita itu berkata untuk tidak perlu repot-repot pergi?

Apalagi, bila dipikir-pikir, tiga lebih baik daripada dua. Pekerjaan akan jauh cepat selesainya bila Citra datang membantu.

"Tidak ada alasan apapun, kamu di rumah saja. Biar Ibu dan Ayahmu yang melakukan pekerjaan semacam ini." Dewi kekeuh tak ingin dibantah.

Citra mencegat lengan Dewi agar tidak menjauh darinya. "Pe-pekerjaan semacam ini? Apa yang Ibu maksud?"

Mengulum bibir bawahnya, ia merasa tenggorokannya kering sekali. "Apa aku tidak boleh pergi ke ladang karena menurut ibu kalau aku tidak pantas bertani?"

"Ya, benar!" gertak Dewi, kesal.

Wanita yang wajahnya mirip dengan Citra itu maju, "Kenapa kamu bersikeras sekali melakukan apa yang sudah dilarang? Ibu bilang tidak perlu, Citra."

Bagaimana orang tua bisa sanggup melihat anak mereka yang begitu dibanggakan berakhir mengerjakan pekerjaan di kebun penuh dengan hal-hal yang menguras tenaga, memikirkannya saja enggan.

"Aku tidak pernah malu Bu!" seloroh gadis itu, cepat.

Sukses menghentikan langkah Dewi.

"Aku tidak pernah sekali pun malu dengan pekerjaan yang kalian lakukan!" terangnya. "Dengan ini aku bisa tumbuh baik sekali, menjadi gadis yang sehat dan cantik. Lalu kenapa Ibu yang malah mempermasalahkannya?"

Dewi tidak menjawab.

Sakti yang mendengar keributan itu datang, menengahi. "Jika Citra mau ikut, biarkan saja, Bu. Benar katanya, kita bisa jauh lebih mudah bila melakukan tugas bersama-sama."

"Tetap saja, Yah." Wanita yang menatap dingin pada putrinya itu tidak luluh meski suaranya kalah. "Keputusanku tidak berubah."

"Kamu harusnya bersyukur Citra tidak seperti anak-anak yang lain, yang enggan mengakui pekerja orang tua mereka, bukan malah memarahinya." Sakti menegur sikap sang istri dengan berbisik.

"Aku tidak akan mengijinkan Citra mengikuti kita."

Kesimpulan telah ditarik.

Perkataan Dewi membuat Citra sedih.

"Aku tidak menyangka Ibu akan berkata seperti ini —"

"Jika tidak suka ibu mendebatmu, maka kerjakan apa yang ibu katakan. Berhenti membantah dan tinggal saja di rumah!"

Tidak ada lagi perselisihan yang berlangsung karena Dewi segera pergi dari sana, sama sekali enggan memberi kesempatan Citra bicara.

Sakti hanya meminta putrinya untuk bersabar, tidak berpikir macam-macam dan salah paham dengan apa yang dikatakan oleh sang Ibu.

Dewi bertindak sangat aneh, hari ini.

Ia memperkarakan hal kecil, dan tanpa ragu menyakiti hati putrinya. Pasti ada yang salah.

Dengan hati-hati, Sakti yang menyusul langkah Dewi bertanya selembut mungkin. "Ada apa dengan sikapmu ini, Bu?"

"Kamu bisa bicara baik-baik pada Citra, mengapa kamu membentaknya? Dia pasti akan sangat sedih," sambung pria itu, khawatir.

Ini bahkan belum sebulan semenjak kembalinya Citra, tapi perdebatan dan pertengkaran diantara mereka berdua sudah terjadi beberapa kali.

"Bukankah kamu yang paling bahagia dia pulang?" ungkit Sakti, ia bahkan tidak akan lupa Dewi sampai menangis sebab terharu.

"Kamu, benar." Dewi sepakat, namun melontarkan bantahan kembali. "Aku bahagia dia pulang. Tapi mendadak ada yang aku curigai karena sikapnya berbeda. Apa aku harus punya alasan lain?"

Dewi tidak mengerti harus berapa kali menjelaskan hal ini pada Sakti, sampai suaminya itu bisa mengerti.

"Aku harus tahu alasannya pulang, Mas." Dewi berujar serak. "Pertanyaan ini tidak akan pernah dapat jawabannya bila Citra hanya memendamnya sendiri."

"Apa ini masih soal kemarin?" ucapan Sakti malah terdengar menyudutkan Dewi.

"Apa maksudmu dengan berkata begitu, Mas?" Dewi mengerutkan keningnya, mengamati Sakti dengan seksama. "Bukankah sebagai Ibunya, aku sudah seharusnya bertindak demikian?"

"Tetap saja, kekhawatiranmu mulai berlebihan. Mari kita anggap tidak ada apapun yang terjadi pada Citra, heum?" Sakti merayu, ia mulai lelah dengan persoalan ini.

Helaan napas panjang terdengar dari wanita itu, "Aku juga maunya begitu, aku berharap bisa mengabaikannya saja. Tapi sayangnya, tidak bisa."

"Kenapa tidak bisa?"

"Aku menemukan sebuah benda, Mas." Dewi berujar sedetik berikutnya. "Yang memperkuat kecurigaanku padanya."

"Aku menemukan cincin yang sangat mahal, di meja riasnya, tergeletak begitu saja. Menurutmu, dari mana cincin itu berasal?" tanya Dewi, menunggu suaminya menanggapi kejanggalam tersebut.

Sakti memutar bola matanya, "Dia membelinya."

Setelah mengucapkan jawaban singkat nan padat itu, Sakti meraih pergelangan tangan sang istri dan mengusapnya pelan, menenangkan.

"Kita tidak bisa mencurigainya hanya karena satu cincin yang bisa saja ia dapat dari uang gajinya, Bu. Itu terlalu ceroboh dan terburu-buru," tukas pria yang menatap teduh.

"Tidak." Firasat Dewi tidak demikian. "Baiklah, kita bisa menganggap dia yang membelinya. Lalu kenapa disimpan? Untuk apa membeli sesuatu bila pada akhirnya tidak digunakan?"

Sakti mengusap wajahnya, frustasi.

Ia tidak tahu bahwa Dewi memiliki sikap yang overprotektif seperti ini. Sebab selama mereka menikah, sudah hampir puluhan tahun, wanita itu tidak pernah terlihat gelisah.

"Aku yakin ada kebenaran lain yang tersimpan di balik benda itu. Kita bisa tahu apa yang terjadi, Mas. Bersabarlah sedikit," tutur Dewi.

"Tentang apa saja yang Citra alami selama bekerja, mengapa ia berhenti padahal sebelumnya bilang akan terus tinggal di sana, membawa kita ke tempatnya."

Meski ada kemungkinan muncul kebenaran yang tidak mereka inginkan sampai terjadi karena sudah berkaitan dengan cincin mencurigakan seperti itu Dewi tetap ingin mencari tahu.

Sakti berkata dingin. "Ada beberapa hal yang tidak baik dilanjutkan, Dewi. Karena akhirnya akan menyedihkan, setelah tahu."

"Aku ingin kamu berhenti mencurigai putrimu sendiri. Jika ada yang terjadi padanya, biarkan dia yang mengatakan langsung kepada kita."

Tegas sosok yang memiliki peranan seorang ayah tersebut, memberi larangan serius.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel