Bab 5. Pertikaian Ayah Dan Anak
Ravindra menyipit, terlihat dari caranya menatap bahwa kali ini ia tidak memercayai Elang dengan mudah.
"Hanya karena tidak bisa hidup tanpa gelar Narendra, kamu kembali dan mengacau di sini?" evaluasi Ravindra, menunggu detail yang lebih serius dari putranya.
Elang tidak bisa memberi balasan lain selain mengangguk. "Aku harus kembali, Pa. Tebakanmu mengenaiku tidak pernah salah. Siapa yang lebih memahamiku selain dirimu?"
"Atau jangan-jangan, Anda juga sempat berpikir aku bisa hidup seorang diri untuk waktu yang lama?"
Ravindra berdecak, memalingkan wajah.
Jelas saja tidak, itu adalah jawaban final.
Pria di hadapan Ravindra mengangguk, tersenyum picik. Merasa Ravindra masuk ke dalam perangkapnya.
"Bertahun-tahun hidup dibawah namamu membuatku tidak bisa melakukan apa-apa ketika kehilangan gelar itu," lanjut Elang, berbual.
"Aku tidak mau merelakan kesempatan bisa menjadi tuan muda Narendra, disaat orang-orang berlomba untuk mendapatkan posisi ini."
Sesuatu yang dirinya yakini adalah apa yang ingin Ravindra dengar, ia berikan sebagai hadiah darinya karena tlah kembali ke rumah ini.
"Masa bodo dengan tuan muda," lanjut Elang, berbisik, lagi dan lagi hanya di dalam hati. "Aku akan mendapatkan ijinmu bisa masuk ke sini dan mencari apa yang aku mau, Ravindra."
Saat ini pasti Ravindra sedang bersukacita dan membanggakan dirinya sendiri, membuat Elang tidak berdaya tanpanya, menganggap itu adalah pencapaian.
Elang tidak lebih seorang anak yang harus terus mengingat bahwa pengaruhnya terhadap semua hal terlalu kuat untuk dibantah.
Ravindra membenci jika Elang melakukan pemberontakan.
"Keputusan yang bagus."
"Narendra adalah identitasmu. Kau pikir, hidup di luar itu semudah yang kau bayangkan?"
"Setelah kemewahan yang seseorang terima, mereka akan sulit beradaptasi dengan hidup yang serba kurang. Saya menunggumu sadar."
Apa yang Elang tebak benar, Ravindra pasti berkata begini kepadanya. Tidak lebih dan tidak kurang, satu siasat mengenai target dengan sangat mulus.
Karena merasa dirinya berhasil membuat Ravindra tidak banyak menuntut penjelasan darinya, Elang hendak pergi. Tetap di sana membuatnya gerah.
Ia menyelesaikan peperangan dengan mudah, kali ini.
"Karena sudah sangat paham jenis kemenangan apa yang Papa inginkan, aku bisa membebaskan diri dengan memberikannya secara sukarela," kata Elang dalam hati.
Elang tidak akan merendahkan diri dan menjilat ludahnya sendiri dengan kembali bila tidak punya tujuan besar.
Hanya saja, ia tidak bisa mengungkapkannya sekarang.
"Jadi, aku diterima kembali di keluarga kita, 'kan, Pa?" tanyanya, memastikan sebelum pergi.
Ravindra tak bergeming, ia menatap lurus dan dingin pada Elang.
Tatapan itu, selama hampir dua puluh tahun tidak pernah berubah. Elang selalu bergetar takut, bukannya merasakan kasih sayang, ia terus merasa terancam.
"Ada hal lain yang ingin Papa bahas, denganku?"
"Lalu bagaimana dengan gadis itu?"
Yang ingin dibahas masih belum selesai, Elang memancing untuk bicara, dan Ravindra melakukannya.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, secara gamblang menyinggung hal besar yang selalu mengundang perdebatan.
"Gadis yang kau nikahi secara diam-diam tanpa restu dari saya," imbuh Ravindra, rahangnya mengeras. "Tidak mungkin kau melupakannya."
Salah satu cikal bakal pemberontakan Elang ialah dengan meninggalkan keluarga besar karena ingin memperjuangkan cintanya.
Inilah awal mula semuanya terjadi.
"Kau pernah menjadi putra yang begitu penurut. Tidak ada satupun yang saya katakan berani kau bantah, Elang," seloroh Ravindra.
"Kemudian gadis itu datang. Kau pergi, bahkan tanpa mengatakan apapun pada saya."
"Benar juga," Elang memberi sanggahan dengan bergumam setuju. "Kenapa aku bisa sampai melakukannya?"
"Dimana dia?"
Elang menghela napas panjang, itu terlihat topik yang ia hindari.
"Kenapa tiba-tiba membahasnya, Pa? Papa tidak pernah tertarik dengan kehidupan pribadiku."
Ini bukan waktu yang tepat.
Untuk melangsungkan rencana yang Elang miliki, membongkar sesuatu yang membuatnya hampir gila setelah tahu, ia butuh batu loncatan besar.
Paling tidak, memegang bukti kuat agar Ravindra tidak sampai bisa menghindar.
Dosa besar apa yang telah menghancurkan hidupnya hanya karena tidak berkenan memberitahu kenangan masa lalu yang pria itu punya.
"Aku membuangnya."
"ELANG!" teriak Ravindra, memberi gertakan keras. "Jaga bicaramu!"
Untuk ukuran seorang lelaki dari keluarga terhormat, bagaimana Elang bisa terlihat bajingan sekali?
Dari mana putranya itu belajar dan mendapatkan sifat kasar sekali seperti ini?
Ravindra melihat dengan jelas Elang tertawa, begitu lepas. Tidak ada yang lucu, tidak tepat kondisi setegang itu sosok tersebut justru berbahagia.
"Apa aku salah? Papa yang bertanya, lalu ketika aku memberi jawahan, papa membentakku?"
Elang membenarkan penampilannya, mengusap wajah. Ia sudah tidak mabuk lagi, tetapi mendadak pusing sekali.
Hari ini dirinya memang tidak beruntung. Bertemu dengan Ravindra adalah suatu kesialan yang selalu ingin ia hindari.
Ditariknya lagi ucapan bahwa ia tlah menang, Ravindra sungguh menyulitkannya. Urusan ini tidak akan kelar dengan mudah, mulai dari sekarang.
"Saya tanya sekali lagi, kenapa kau datang ke sini seorang diri? Dimana istrimu, dimana gadis itu?"
Istri.
Ravindra sungguh membuat Elang jengah.
Kenapa Citra mendadak diakui? Apa pria itu sedang mengejeknya?
Menantu yang tidak diterima di keluarga itu, tiba-tiba dipedulikan layaknya orang penting. Ini konyol.
"Apa perkataanku sangat sulit untuk dimengerti?" Pria itu melangkah maju, mendekat pada Ravindra. "Kubilang aku membuangnya. Seperti yang kalian inginkan."
Bug!
Refleks, tanpa mampu ditahan, Ravindra meninju sudut wajah Elang. Sosok tampan itu kini terluka, darah segar mengalir dari bibirnya.
"Si-siapa yang menyuruhmu untuk membuangnya?!" bentak Ravindra.
Tidak ada jawaban.
"Saya tidak peduli padanya, atau apapun yang kalian putuskan. Tapi bagaimana kau bisa —"
Ravindra tak sanggup menyelesaikan kalimatnya, darahnya naik hingga kepala.
"Bagaimana kamu bisa berada di hadapan saya setelah melakukan hal memalukan seperti ini?!" teriak Ravindra, ini adalah kalimat terpanjang yang ia katakan.
"Persetan dengannya, Pa!" suara Elang meninggi, kedua tangannya membuat kepalan. "Mari hentikan saja." Suara itu kembali normal padahal sebelumnya begitu meledak-ledak.
"Kau tahu bencana apa yang akan terjadi jika hal ini sampai tercium orang lain?!" Ravindra menarik kerah baju putranya.
Pernyataan yang ia jeda kembali dilanjutkan dengan amarah. "Kalian bahkan tidak mendukung pernikahan kami dan menganggap hal ini sebagai aib keluarga, lalu untuk apa bertanya?"
"Tindakan memalukan atau tindakan yang kalian inginkan? Jangan jadi manipulatif, Pa! Katakan saja, kerja bagus karena tlah membuang gadis itu."
Plak!
Satu tamparan lagi.
"Ah, sialan!" umpat Elang, nyeri di kepalanya semakin hebat.
"Jika memang peduli padanya, bukankah seharusnya kalian melakukan hal tersebut sejak awal?" Pria yang sudah babak belur itu meludah, darah segar menodai lantai pualam.
Berkat Ravindra, Elang tidak akan bisa melupakan kejadian hari ini.
Sambutan spesial yang diberikan oleh orang tuanya, masalah apa yang melilit dirinya, konflik batin karena merindukan Citra istrinya, semuanya.
"Semuanya sudah berakhir, sudah selesai."
"Dan penyebab hal ini bisa sampai terjadi itu Anda, Pa." Elang memelototi Ravindra, menunjuk pria itu dengan sorot matanya. "Akan aku buktikan bahwa Papa adalah alasan terbesar dari hancurnya kehidupanku."
Bencana ini, tidak lain adalah karena Presdir Narendra itu.
Papa kandung Elang, Ravindra Malik Narendra.
