Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4. Keributan Di Kediaman Narendra

Rumah mewah kediaman Narendra itu terasa lebih gelap dari biasa.

Siapa saja yang tidak terbiasa dengan keheningan dan suasana kelam itu pasti tidak akan mampu berlama-lama tinggal di sana.

"Kenapa kau bawakan aku minuman pahit seperti ini, hah?!" teriak Elang, membanting gelas yang ia pegang. "Jawab!"

"Kau berusaha mencari masalah denganku, ya? Aku minta kalian bawakan Taquella tapi yang datang malah Wine murahan?!"

"Brengsek! Enyah kalian semua!"

"Aargh!"

Beberapa pelayan yang berbaris menerima pelampiasan amarah tuan muda itu hanya bisa terdiam.

Padahal, sejatinya rasa alkohol memanglah demikian. Untuk beberapa kondisi, pahit yang teramat sangat akan dirasakan oleh mereka bila gagal menikmatinya dengan benar.

"Ka-kami bawakan sesuai yang Anda mau, tuan muda Elang. Anda meminta Wine merk, sebab itu, pelayan membawakannya." Ketua pelayan mengonfirmasi.

Wanita berseragam itu ini menjelaskan bahwa ini bukanlah kesalahan dari anak buahnya.

"Kau mencoba untuk membantahku?"

"Ma-maaf, Tuan. Bukan itu yang —"

"Sial," umpat Elang, kasar sekali. "Kalian masih berpikir bahwa saat ini aku sedang mabuk, jadi berusaha mencari pembelaan. Ya, 'kan?!"

Suara pecahan kaca dari botol minuman mahal yang hanya bisa didapat dalam jumlah terbatas terdengar bersahutan.

Siapa lagi yang bisa bertindak sewenang-wenang bila bukan tuan muda, Elang Putra Narendra.

Sejujurnya, putra Presdir itu bukankah apa orang yang biasa bertindak kasar seperti ini. Dia adalah sosok yang hangat, yang memberi sensasi lain bagi kediaman Narendra.

Tetapi setelah hari itu terjadi, bencana besar dimana ia harus memutuskan hubungan dengan sang istri, Elang mulai terbiasa melampiaskan sesuatu tidak pada tempatnya.

Mereka yang tidak tahu apa-apa ikut menjadi korban.

Usai puas, pewaris tunggal dari Ravindra itu baru sadar bahwa tindakannya sangat salah.

"Gawat, Mbok."

Seseorang datang mendekat, berbisik pada ketua pelayan yang sedang dimarahi Elang, "Presdir datang," lanjutnya, dengan wajah jatuh.

Semua orang yang mendengar itu meski berbisik, bisa ditangkap jelas berita apa yang dibawa jelas aja ikutan panik.

Jangan tanya alasannya, karena hubungan antara kedua ayah dan anak itu tidak baik. Elang sejak awal tidak pernah dekat dengan Ravindra, apalagi menganggap pria itu sebagai Papanya karena beberapa alasan.

Presdir Ketua Narendra Group, Ravindra Malik Narendra juga bukan tipikal seorang yang selaras dengan Elang.

Pokoknya, tidak ada kecocokannya satu sama lain, untuk kedua orang tersebut.

"Hei!" pekiknya, pada pelayan yang semula berbisik memberitahu ketua pelayan. "Kemari!"

"Kau tidak dengar aku sedang menghukum orang-orang ini? Kenapa kau datang dan berbicara sendiri, kau tidak lihat aku di sini?!" gertak pria tampan itu.

Siapa peduli sikapnya kasar, penampilannya begitu berbeda.

Hampir seluruh ketampanan dan kesempurnaan milik Ravindra turun padanya.

"Maaf, Tuan muda. Aku diberitahu untuk mengabari tuan mengenai kedatangan Presdir. Karena itu —"

"Papa?" cicit Elang, memotong tak peduli. "Kenapa dia tiba-tiba singgah di rumah ini?" Pria yang merasa kepalanya ditimpa beban berat itu berusaha bangkit, duduk.

"Bukankah seharusnya saya yang bertanya kenapa kau mengacau di kediaman saya?" Suara dari arah pintu membuat perhatian semua orang teralihkan.

Ravindra, dengan beberapa orang yang ikut menyusul kedatangannya, melirik ke arah Elang dengan tatapan penuh amarah.

Elang berhasil berdiri, walau sempoyongan dan hampir terjungkal berulang kali. Efek dari minuman itu memang sangat kuat, apalagi jumlah yang ia habiskan cukup untuk membuat orang pingsan.

"Pa, Anda di sini?" sapa Raya, terdengar seperti bergumam tak jelas.

Bukannya menjawab pertanyaan yang dilontarkan putranya, pria yang disapa Elang itu hanya menatap dingin.

Ravindra memberi kode menggunakan tangannya, meminta semua orang yang berada di ruangan itu untuk pergi meninggalkan mereka.

Hanya satu kali Ravindra menjentikkan jemarinya, semua menurut patuh.

Elang yang melihat betapa berpengaruhnya Pimpinan di rumah itu hanya melampirkan senyum penuh arti. Kuasa Ravindra memang luar biasa.

"Butuh berapa lama aku bisa melakukan hal semacam itu? Apa yang perlu aku korbankan agar orang-orang mematuhiku?" seloroh Elang, cekikikan mengejek dirinya sendiri.

Ravindra berjalan mendekatinya.

Plak!

Sebuah tamparan mulus mengenai wajah tampan itu.

"Sial," geram Elang, tak mampu berteriak. "Kenapa Anda tiba-tiba menampar? Aku bahkan tidak mengatakan apapun yang menyinggung."

"Hanya dengan itu kamu bisa sadar dari pengaruh alkohol," balas Rvindra, sekenanya.

Cara Ravindra dalam memberi pelajaran terhadap Elang memang luar biasa.

Elang kembali tertawa, renyah. "Ini sungguh tidak masuk akal. Tapi terima kasih, anda membuatku berhasil sadar sepenuhnya."

Putra Ravindra itu sengaja menunduk, memberi hormat seperti para pelayan lain. Hal semacam ini memang biasa diperlihatkan kepada Pimpinan.

"Apa yang membawamu pulang ke rumah ini?" tanya Ravindra, penasaran. "Bukankah kabur dengan gadis itu adalah pilihanmu? Mengapa berani kembali lagi setelah membuat kekacauan?"

Emosi Ravindra sedang tidak bagus, Elang menyadari itu.

Tetapi ia tidak bisa bersembunyi, bila sudah separah ini. Kamu tidak mau ia harus menjawab segala pertanyaan dan memberikan penjelasan sedetail mungkin kepada Ravindra jika ingin selamat.

"Eyang menyuruhku pulang, karena itu aku di sini." Elang mengungkapkan alasannya. "Jika Anda tidak nyaman, aku bisa pergi."

"Ibu memintamu pulang?" Ravindra memastikan sekali lagi. "Lalu kenapa kamu menurutinya?"

"Jika perkataan saya saja kamu bantah, apa yang membuatmu patuh kali ini?"

Raut wajah Elang berubah. Yang semula hanya menanggapi santai, mencoba tetap tenang, kini air mukanya sedingin es.

Sorot matanya menatap tajam Ravindra yang berdiri tepat di hadapannya.

"Heum, tidak ada alasan!" Elang mengangkat bahunya. "Aku hanya rindu rumah, ya, kurang lebih seperti itu."

Hubungan yang tidak akur itu dijelaskan dalam definisi sederhana, di mana mereka saling tidak ingin terlibat satu sama lain.

Baik Ravindra, maupun putranya Elang, bila ada kesempatan mereka akan memilih untuk berjalan masing-masing.

Pria dengan tangan di belakang, aura bijaksananya luar biasa, membalas tegas. "Katakan alasan yang benar. Saya sedang tidak ingin mendengar lelucon darimu, Elang."

"Tampaknya, ada banyak hal yang ingin anda bahas denganku, Pa." Elang mencurigai sesuatu.

Rasa penasaran Ravindra yang terlihat berbeda hari ini, lebih agresif.

Karena sudah dapat peringatan pertama, pria itu harus memilah bagaimana ia dapat bertindak. Sedikit saja salah, Ravindra tidak akan melepaskannya.

Beginilah hidupnya.

Tinggal di keluarga nomor satu deretan orang terhormat yang memiliki gelar penting tidak membuatnya bisa merasakan kebebasan.

Orang-orang di masa lalu pernah bercerita padanya bahwa dulu sekali ia adalah anak yang sangat bahagia.

Hidup dengan Ravindra dan Ibunya yang telah tiada sebagai keluarga paling harmonis, Elang kecil mendapatkan surga. Bukan hanya punya segalanya, tetapi cinta asih dari orang-orang tersayang juga ia dapatkan.

Namun, semua itu tidak abadi.

Lihat bagaimana ia berakhir menjadi seperti ini.

"Baiklah, akan aku katakan sesuai keinginanmu." Elang melanjutkan. "Hidup tanpa nama belakang Narendra rupanya sulit."

"Jadi, aku memutuskan untuk mengakhiri segalanya. Segala pemberontakan yang aku lakukan dan memutuskan kembali pulang."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel