Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3. Memulai Hidup Baru

Setelah berbincang dan tahu alasan kedatangan Citra, putri tunggal mereka yang sebelumnya memutuskan untuk merantau ke Kota, Sakti akhirnya melepas kecurigaan tak berdasar yang ia miliki.

"Beristirahatlah jika lelah. Kita akan pikirkan rencana apa ke depannya selama kamu di sini," kata Sakti lembut. "Kamu baru pulang, pasti letih setelah perjalanan panjang."

Di satu sisi, berbeda dengan Dewi.

Entah mengapa, semakin mendengar Citra mengutarakan niatnya tinggal bersama mereka, justru balik dirinya yang mencurigai si putri.

"Ada apa, Bu?"

"Mengapa menatapku seperti itu?" bisik Citra, mengalungkan tangannya ke Dewi. "Apa ada yang salah? Ibu tidak bahagia melihatku pulang?"

Wanita berwajah teduh itu menggeleng, mengusap penuh kasih putrinya. "Apa yang kamu katakan?"

Meskipun nyatanya ia tidak bisa menepis fakta tengah menangkap sesuatu yang terasa janggal dari kalimat Citra, menjaga perasaan anaknya adalah yang terpenting.

"Mengapa Ibu tidak bahagia melihatmu pulang? Ibu sangat merindukanmu. Melegakan rasanya bisa berkumpul kembali."

***

Saat makan malam berlangsung, banyak yang keluarga kecil itu bahas.

Citra berencana mengambil alih perkebunan yang dimiliki keluarganya, dan mengembangkan bisnis baru dengan modal uang yang ia miliki.

Sakti juga ikut memberi beberapa saran. Mau bagaimana pun, dunia tetap harus berlanjut tidak peduli di mana Citra memutuskan untuk mencari nafkah.

Baik di Kota, maupun di Desa, cara bertahan hidup tetaplah sama. Menghasilkan uang.

"Karena aku ingin tinggal selamanya bersama kalian, heum, aku berharap bisnis yang kita rancang bisa bertahan hingga waktu yang lama, Yah, Bu."

Ini yang kedua kalinya.

Dewi menangkap Citra mengatakan hal yang serupa.

Gadis itu menggunakan kata kerja 'selamanya' pada kalimat yang ia lontarkan, seolah berusaha menekankan hal tersebut. Aneh.

Untuk ukuran seseorang yang telah menyimpulkan pilihannya, itu lebih terdengar seperti sedang memantapkan hati.

Kalimat yang digunakan itu jelas salah.

Dewi semakin takut alasan pulangnya Citra karena ada sesuatu, bukan kembali karena ingin, tetapi seperti tidak punya pilihan lain.

"Kenapa sejak tadi diam saja, Bu?" Sakti menegur Dewi, melamun di meja makan adalah hal yang dilarang. "Apa yang sedang dipikirkan?"

"Tidak ada, Yah. Ibu juga sedang menyimak apa yang kalian berdua bahas."

Sakti mengangguk paham, "Setidaknya, beri saran untuk usaha putrimu."

"Benar, Bu," timpal Citra, menekuk wajahnya. "Aku akan memulai semuanya dari awal. Harusnya Ibu mengatakan sesuatu, memberiku semangat atau semacamnya."

Putrinya yang masih seringkali bermanja padahal tlah dewasa itu membuat Dewi seringkali was-was.

Mereka melanjutkan acara makan bersama dalam hening.

Helaan napas Dewi membuat momen itu terasa berbeda. Tidak lama, Dewi akhirnya mengutarakan apa yang membebani pikirannya.

"Kamu yakin mau tinggal di sini, Nak?"

Sakti dan Citra langsung saling tatap.

"Apa tidak boleh, Bu?"

"Apa maksudmu tidak boleh?" Sakti menanggapi lebih dulu. "Ini rumahmu, jelas saja boleh. Kamu tidak perlu bertanya apakah kami keberatan atau tidak."

Dewi yang terdiam karena tidak dapat mengatakan kecurigannya hanya mengangguk setuju.

"Ibu bertanya karena terakhir kali kamu mengatakan sangat suka bekerja di Kota. Itu sebabnya —"

"Suka bukan berarti aku harus tinggal selamanya di sana, Bu," ucap Citra, memotong cepat. "Aku tetap harus pulang."

Itu benar, hanya saja, Dewi tidak tahu semangat Citra akan memudar secepat ini. Hal yang sebelumnya begitu putrinya syukuri, mendadak berubah dengan cepat.

Apa sesuatu terjadi pada Citra selama bekerja?

Sungguh, memikirkannya membuat dada Dewi merasa sesak.

"Terlebih lagi, memikirkan kondisi kalian di sini, tanpa siapapun yang menjaga dan merawat masa-masa tua ibu dan ayah. Lebih baik bagiku untuk tidak egois dan pergi jauh, 'kan?"

Sakti satu suara terhadap penuturan putrinya. "Ibumu sangat khawatir selama kamu tinggal di Kota, terus sakit-sakitan memikirkanmu."

"Keputusan yang tepat kamu pulang."

Secara tidak langsung, Sakti memperingati Dewi untuk tidak membahas hal yang sama berulang kali.

Ibunda Citra itu hanya bisa menunduk, menyimpan kembali kecemasannya. Berdoa jikalau memang benar tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

***

Pria yang masih terlihat tampan diusianya yang tidak lagi muda itu meraih pergelangan tangan istrinya, memberi usapan lembut.

"Sudah lama tidak bicara berdua, di bawah langit malam seperti ini."

"Enggak enak kalau Citra lihat, Mas."

Saat Dewi hendak melepaskan genggaman itu, takut bila Citra mengejek kemesraan yang terjalin diantara keduanya, Sakti malah semakin erat menggenggam jemari-jemari mungil itu.

"Lho, memang kenapa, ada yang salah dengan ini? Bukankah hal yang wajar kalau semakin menua semakin romantis, Bu." Sakti tidak setuju dengan Dewi yang tidak pernah berubah, selalu malu-malu.

Wajah istrinya itu tersipu, memerah. "Kamu memang enggak pernah berubah, Mas. Dulu dan sekarang, tetap sama."

"Tetap mencintaimu," goda suami Dewi itu, tersenyum sampai matanya menyipit.

Spontan Dewi menepuk dada bidang Sakti, "Mas, hentikan!"

Melihat wanita yang ia cintai itu tertawa membuat Sakti melanjutkan apa yang sebenarnya sejak tadi ingin ia katakan.

"Aku melihatmu, saat makan tadi. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu mengenai pulangnya Citra?"

Selama hampir dua puluh tahun tinggal bersama dengan pria itu, Dewi sudah berbagi banyak hal.

Meski awal kedekatan yang terjalin diantara keduanya tidak pernah direncanakan ada cerita panjang di balik itu Sakti sama sekali tak pernah gagal menjadi suami yang baik, untuknya.

"Aku hanya sedikit khawatir." Dewi yang selalu terbuka, untuk hal ini ia juga menceritakan kegelisahan hatinya.

Pernyataannya sempat terjeda, "Aku memang senang dia kembali, Mas, tapi tidak menyangka dia akan mengakhiri kariernya dan tinggal dengan kita seperti ini."

Sulit menjawab perkataan Dewi yang terdengar masuk akal. Sakti hanya diam.

"Kita sama-sama tahu, Mas. Betapa senangnya ia diterima bekerja," ungkit Dewi, karena bukan hanya dirinya, Sakti juga tahu benar akan hal itu.

"Benar, ini memang terdengar aneh. Kamu mencurigai ada yang dia tutupi dari kita?" tanya Sakti.

Sesuai dugaan, Dewi tidak merubah keyakinannya. "Aku takut ada yang sengaja disembunyikan dari kita karena tidak ingin kita khawatir."

"Bayangkan jika kita begitupun memimpikan sesuatu, lalu mendadak menyerah untuk itu, hal besar pasti terjadi, 'kan?"

Tidak ada yang mampu menjawab pertanyaan tersebut kecuali Citra sendiri. Hanya dia yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, menimpanya di Kota tempatnya bekerja.

Dewi semakin tak tenang, ia mengusap dadanya yang berdebar kencang.

"Aku harus apa, Mas? Aku sangat takut putriku terlibat dalam masalah yang serius."

Memikirkannya saja membuat wanita itu gelisah tanpa henti, bagaimana bila memang benar terjadi?

Sakti tersenyum, menampilkan wajah damainya.

Jika saat ini ia ikutan panik, memenuhi pikiran dengan hal-hal yang sama negatifnya dengan Dewi, keadaan akan jauh lebih kacau.

"Kenapa berpikir begitu? Mari kita percayakan hal ini pada putri kita. Itu terdengar jauh lebih baik."

Keduanya tidak tahu bahwa sejak tadi Citra berdiri tak jauh dari mereka, mendengarkan. Tatapan gadis yang dunianya hancur itu kosong, tanpa ekspresi.

"Bagaimana aku bisa memberitahu kalian, Yah, Bu?" cicit Citra, "Aku bahkan tidak tahu kapan mimpi buruk ini dimulai."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel