Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB : 4

"Bapak ngapain, sih, hobby banget, ya, nabrak saya?" Kesal Kim mengomeli seseorang yang menabraknya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Alvin.

Kim tak habis pikir, baru dua hari mengenal sosok Alvin yang berprofesi sebagai gurunya, dan hampir menjadi tunangannya, tapi,

sudah menabraknya sebanyak tiga kali. Apa ini yang dinamakan, tabrakan cinta. Tentunya ,tidak.

"Sekali lagi kamu panggil saya dengan panggilan, Bapak, saya bakal nikahin kamu sekarang juga. Nggak ada acara tunangan-tunangan," ancam alvin dengan kesal.

"Benarkah? Memangnya Bapak berani?'' tanya Kim mengetes ancaman Alvin barusan.

Tanpa komando dan aba-aba, Alvin langsung saja menarik tangan Kim dengan paksa untuk mengikutinya.

"Eh, ini mau ngapain, sih, Bapak narik-narik saya," ujar Kim yang bingung karna di tarik paksa oleh Alvin dan entah mau di bawa kemana.

Ternyata Alvin membawanya menuju meja, dimana kedua orang tua mereka berkumpul.

"Ada apa, Nak?'' tanya Mila yang bingung melihat putranya datang sambil menggeret Kim.

"Ma, Pa, Om, dan Tante. Nggak akan ada acara tunangan," ujar Alvin masih sambil menggenggam tangan kanan Kim.

Mendengar pernyataan Alvin barusan, seolah-olah terpampang tanda tanya yang besar di atas kepala mereka masing-masing. Tapi tidak dengan Kim, ia malah senang sekali saat Alvin mengatakan itu.

"Hwahhhh," girang Kim.

"Maksud kamu apa bicara seperti itu?" tanya Doni, papanya Alvin dengan sedikit emosi.

"Kita langsung nikah, sekarang!" seru Alvin singkat, tapi mampu membuat semuanya kaget bahagia. Tentu tidak dengan, Kim, yang kagetnya bukan main.

Tadinya ia sudah bernapas lega saat Alvin mengatakan nggak ada acara tunangan-tunangan. Tapi sekarang, ia ingin sekali menangis sejadi-jadinya.

"Astaga, ya ampun, omaigat," gerutunya sambil menepuk jidat. "Buat tunangan hari ini aja aku udah mikirinnya semalam suntuk, dan nggak bisa tidur, apalagi buat nikah dadakan. Aku nggak bisa!"

Kim tak terima dengan keputusan yang dibuat Alvin secara tiba-tiba begini.

"Bukankah kamu yang mencoba mengetes ucapanku," balas Alvin.

"Iya, tapi aku becanda doang," ujar Kim takut.

"Maaf, aku bukan tipe orang yang suka becanda."

"Oke, keputusan sudah di ambil. Intinya adalah--kalian nikah, sekarang."

Mendengar ucapan papanya, Kim merasa kepalanya seolah di pukul pake palu yang super besar, trus di lempar ke kutub utara yang dinginnya bukan main. Rasanya ia ingin pingsan saat itu juga, tapi kok nggak pingsan-pingsan.

"Yee!!!" teriak para mama yang merasa menang tanpa berperang.

"Tamat sudah riwayatmu, Kim. Kamu terjebak dengan ucapanmu sendiri," gumam Kim yang masih bisa di dengar oleh Alvin, tapi hanya ia respon dengan sedikit senyuman. Senyuman?

Akhirnya dengan sangat sangat terpaksa, Kim pun menikah dadakan dengan Alvin. Tanpa adanya persiapan fisik dan mental, lahir maupun batin. Ia saja masih merasa kalau ini hanyalah mimpi belaka, tapi tak bisa bangun. Apa ia harus menemui ketua KPAI untuk mengadu? Tapi, ia tak ingin orang tuanya bermasalah dengan hukum .

Saat ini, pasrah adalah cara terbaik yang mesti ia pilih.

S

K

I

P

Semua acara sudah selesai di laksanakan. Acara apa? Sudahlah, jangan ditanya lagi. Apalagi kalau bukan pernikahannya dengan Alvin.

Percaya nggak percaya, Alvin yang notabennya adalah gurunya, sekarang statusnya juga bertambah menjadi suaminya, yang sah secara hukum maupun agama.

Dia yang tadi pagi masih berstatus ABG, sekarang dalam waktu beberapa jam saja sudah berubah status menjadi seorang istri. Yap, sulit di percaya. Tapi, inilah kenyataannya.

Satu lagi, kalau sudah mendengar kata suami, hal yang dipikirkan Kim adalah kewajiban seorang istri. Jujur saja, itu menurutnya sangat menakutkan.

"Bapak, eh maksudnya Kakak mau ngapain?" tanya Kim heran karna Alvin yang terus mengikutinya hingga ke kamar.

"Tidur."

"Di sini?"

"Nggak lupa, kan, kalau aku ini suamimu?" tanya Alvin langsung saja menyelonong masuk kamar, tanpa menunggu jawaban dari Kim.

"Aku nggak lupa, tapi kita nggak perlu tidur sekamar juga," protes Kim tak terima.

"Bukannya suami istri seharusnya memang begitu?''

"Tapi aku nggak mau!" tolak Kim tak setuju. "Gimana kalau ntar, Bap ... eh, maksudnya Kakak ngapa-ngapain aku, gawat, kan."

Maaf saja, bukannya mau mikir gimana-gimana. Soalnya otaknya sudah mencar kemana-mana. Tidur sekamar sama cowok, meskipun statusnya sudah suami istri. Tapi menurut Kim, tetap saja itu nggak banget.

"Ngapa-ngapain kamu, maksudnya?'' tanya Alvin seakan-akan tau apa maksud dari perkataan Kim.

"Ya ... itu,'' jawab Kim gugup.

"Itu?" Alvin menunggu penjelasan Kim

"Aah, sudahlah." Pasrah Kim.

"Pokoknya nanti Kakak tidur di sofa, aku nggak mau tau," ujar Kim menuju ke kamar mandi sambil ngomel-ngomel.

"Dasar ABG," gumam Alvin.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Kim yang awalnya tidur dengan nyenyak, sekarang matanya malah tak bisa tidur gara-gara pandangannya terus tertuju pada Alvin. Ia terus memperhatikan Alvin yang bergerak miring ke kiri dan ke kanan, mencari posisi tidur yang nyaman.

'Oh, Ayolah, Kim, tidur saja dan jangan hiraukan dia," batin Kim.

Hingga sepuluh menit kemudian...

"Euuhh, bikin gue nggak bisa tidur," gerutunya bangun, dan mendekat ke arah Alvin yang berada di sofa.

"Kak Alvin, bangun," ujarnya mencoba membangunkan Alvin dengan ragu-ragu.

'Duh, gantengnya. Justin bibir mah lewat,' batin Kim.

"Kamu bilang apa barusan?" Alvin tiba-tiba langsung bangun.

"Apa? Aku cuman bilang cepetan bangun. Apalagi? Ya nggak ada lagi," elak Kim.

"Setelah itu?"

"Nggak ada lagi. Sana pindah ke tempat tidur," pinta Kim.

"Apa?" Bukannya Alvin tak mendengar, tapi ia sedikit tak percaya dengan apa yang di katakan Kim.

"Budek, ya? Tidurnya ke tempat tidur. Tapi awas, jangan macem-macam!" Ingatkan Kim.

Alvin pun menuju ke tempat tidur dan langsung tidur pulas. Meskipun perkataan, jangan macam-macam yang di ucapkan Kim barusan, sangat lucu.

Jam 05:30 Kim terbangun dari tidurnya. Ia mengarahkan pandangan ke seluruh penjuru kamar, mencari keberadaan Alvin, suaminya.

'Hah, mungkin tu orang udah bangun,' pikirnya.

Kim beranjak dari tempat tidur, dan berjalan gontai menuju ke kamar mandi. Tapi, disaat pintu terbuka, di saat itulah ia kaget dengan kedua bola matanya langsung membulat.

"Aaaakk!!!" teriaknya histeris, dan segera menutup mata dengan kedua telapak tangannya.

"Ya ampun, ni anak," dumel Alvin yang tengah berdiri di hadapan Kim, hanya menggunakan handuk.

Jangan berpikir kalau ia melihat Alvin dalam keadaan tanpa pakaian alias telanjang. Melihat Alvin dalam keadaan hanya menggunakan handuk begini saja, sudah membuat otaknya konslet. Apalagi kalau telanjang, mungkin ia akan langsung pingsan.

"Apa kamu pingin semua orang mikirnya kita lagi ngapa-ngapain, gitu? Suaramu sangat memekakkan telinga," ujar Alvin sambil berpangku tangan di hadapan Kim.

"Abisnya, salah Bapak, sih. Ngapain juga nongol-nongol cuman pake handuk doang," terang Kim sambil masih menutup kedua matanya.

"Kalau kamu masih panggil saya Bapak, saya cium kamu, Kim!" ancam Alvin mendekati Kim.

"Eh. Maaf, Kak," ujar Kim langsung ngacir ke dalam kamar mandi, dan segera menutup pintu. Bisa-bisa kalau ia terus berada di hadapan Alvin, sebuah ciuman mungkin saja ia terima. Tentunya ia tak akan rela kalau sampai itu terjadi.

Setelah selesai mengenakan seragam Sekolah, begitupun dengan Alvin yang juga sudah rapi dengan stelan kantornya, mereka berdua langsung turun dan menuju meja makan. Di sana sudah ada kedua orang tua, Kim, yang sekarang juga berstatus sebagai mertua Alvin.

"Pagi, Ma, Pa," sapa Kim heboh. Begitupun dengan Alvin yang ikut menyapa dengan sikap dinginnya.

"Pagi juga."

"Jangan teriak-teriak begitu, Kim," omel mama.

"Orang aku cuman ngucapin selamat pagi, masa di bilang teriak-teriak," bantah Kim sambil mengoleskan selai pada rotinya.

"Jangan ngebantah omongan orang tua," tambah Alvin ikut melerai.

"Ih, Bap ..."

"Ingat ancaman yang aku katakan tadi, kamu mau aku ngelakuinnya di sini?'' tanya Alvin masih dengan ekspresi dinginnya.

"Maaf," lirih Kim.

Yakali Alvin benar-benar melakukan ancamannya tadi.

William, dan Jessica malah tertawa melihat nyali putri mereka yang tiba-tiba saja jadi ciut, kalau sudah berurusan dengan Alvin.

"Siapin sarapan buat suami kamu," suruh Jessica pada putrinya.

"Loh, kok, aku?" tanya Kim sambil menunjuk ke arah dirinya.

"Nyiapin sarapan buat suami, kan tugas istri. Masa iya bibik yang nyiapin. Istrinya Alvin kan kamu," terang Papa.

"Iya, iya," gerutu Kim sembari menyiapkan piring beserta roti dan selainya untuk Alvin.

"Selai rasa apa?'' tanya Kim dengan tampang jutek.

"Mentega saja, aku nggak suka selai," jawab Alvin.

Kim menatap ke arah Alvin seolah bertanya. Kenapa nggak suka?

"Aku nggak suka makanan manis,'' jelasnya.

"Tak perlu di jelaskan, aku juga nggak nanya," balas Kim kecut.

"Yakin, barusan nggak nanya?" tanya Alvin balik.

Terlihat sekali kalau Kim, bingung. Bagaimana bisa Alvin tau kalau barusan ia bertanya. Tapi, kan cuman bertanya dalam hati doang. Aneh, itulah anggapan Kim terhadap Alvin.

"Papa berangkat duluan, ya, ada meeting pagi ini," ujar William pamit, yang di angguki oleh Alvin dan Kim yang masih sarapan. Sedangkan Jessica, juga mengekor, mengantar suaminya menuju mobil.

Pada saat mereka berdua masih sibuk menikmati sarapan, tiba-tiba ponsel Kim berdering.

"Jeje," gumam Kim saat melihat nama Kejelasannya yang tertera di layar ponsel.

"Apa, Je,'' tanya Kim masih sambil melahap rotinya.

"Lo masih di rumah?"

"Masih, ini lagi sarapan," jawab Kim.

"Kita hari ini ada ulangan sama Pak Alvin, lo semalam belajar, nggak?"

"Hah, serius! Gue lupa,'' ujar Kim sambil mengarahkan pandangannya pada Alvin yang berada di sebelahnya.

"Astogehhh! Mampuslah kita. Udah, cepetan datang ke sekolah."

"Mm, bye," balas Kim memutus sambungan telepon dengan Jeje.

Kim langsung memasang wajah seriusnya.

"Kak, hari ini ada ulangan?'' tanya Kim pada Alvin.

"Ada."

"Seriusan?" tanya Kim tak percaya.

"Iya."

"Bisa, nggak, ulangannya ditunda dulu kek buat lusa. Aku mau jawab apa ntar. Ya, Kak? Pliss!" Mohon Kim dengan tampang memelas.

"Itu salah kamu."

"Aduh, beneran, deh, Kak, tunda dulu ya?"

"Makanya, sebelum tidur itu belajar dulu. Meskipun nanti ada ulangan dadakan-pun, kamu bisa ngatasinnya,'' jelas Alvin.

Ceramah Alvin itu membuat Kim agak jengkel. Apa ia lupa kalau ini di rumah, bukan di Sekolah. Kenapa malah mengomelinya layaknya Guru pada muridnya.

"Soalnya semalam capek banget," ujar Kim memberikan alasan. "Jadi, gimana?"

Semoga saja Alvin mau mengerti. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi dengan nilainya nanti.

"Hanya untuk kali ini," jawab Alvin sambil masih sibuk dengan ponsel di tangannya.

"Wihh, makasih, Kak," teriak Kim riang, dan langsung menghambur ke pelukan Alvin. Jelas, sikapnya itu sukses membuat Alvin diam mematung.

"Ehem," deheman Jessica tiba-tiba membuat Alvin maupun Kim kaget, dan jadi salah tingkah.

"Maaf," ujar Kim yang di balas anggukan dari Alvin.

"Kamu berangkat bareng Alvin, kan?'' tanya Jessica mencairkan suasana yang agak canggung antara Kim dan Alvin.

"Nggak," jawab Kim.

"Kan, masih satu tujuan, Kim."

''Aduh, Mama, masa iya aku berangkat bareng Kak Alvin. Bisa di gantung di tiang bendera akunya ntar," jelas Kim.

Yakali berangkat bareng sama Alvin. Ia bisa mampus dihakimi penghuni satu Sekolah.

Kok, Kim berangkat bareng Mr.Killer? Kok bisa, ya?

Mencurigakan!

Dan banyak pertanyaan lainnya yang akan bermunculan.

"Kamu mah berlebihan," balas mamanya yang beranggapan kalau pemikiran Kim terlalu berlebihan.

"Bentar, Kim. Mama mau nitip baju buat tante Ranti. Kamu kan lewat depan rumah beliau,'' ujar mamanya sambil berlalu menuju kamar.

"Ini, kamu pegang," ujar Alvin sambil menyodorkan dua lembar kredit card pada Kim.

"Eh, nggak usah, Kak, aku masih punya, kok," tolak Kim.

"Dengerin aku. Mulai saat ini semua kebutuhan kamu adalah tanggung jawab aku. Jadi, tolong kamu pegang ini," jelas Alvin menyerahkan kredit card ke tangan Kim.

Akhirnya Kim menerimanya juga, meskipun ia juga bingung mau di gunakan buat apa.

"Ini, Sayang," ujar Jessica sambil menyerahkan sebuah paperbag berwarna coklat pada Kim.

"Oke. Kalau gitu aku brangkat Sekolah dulu, Ma,'' pamit Kim sambil mencium punggung tangan mamanya, dan hendak berlalu pergi.

"Loh, sama Alvin kok nggak salim?" tanya mamanya.

"Hah?''

"Ayo, gimana, sih, kamu."

Atas perintah mamanya, iapun akhirnya salim pada Alvin. Meskipun ia masih merasa agak sedikit aneh dan canggung. Tapi kalau itu tak ia lakukan, bisa-bisa mamanya akan mulai mengomel lagi. Ia tak ingin harinya diawali dengan sebuah omelan.

"Aku berangkat duluan, Kak," pamit Kim pada Alvin.

"Hati-hati," pesan Alvin tanpa melihat ke arah Kim.

"Iya."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel