Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Tugas Yang Berat

Mikho terkapar tak berdaya di lantai dalam keadaan babak belur parah. Napasnya tersengal dan sesekali ia terbatuk-batuk, lalu memuntahkan darah segar. Haikal berdiri tegak di hadapannya, memasang wajah dingin dan kejam. Tangannya memberi kode pada tiga orang algojo yang akan memukul Mikho kembali dengan sebuah balok kayu agar menghentikan aksinya. Mikho sudah terluka cukup parah. Ia tidak ingin membuat pemuda itu meregang nyawa sia-sia hari ini.

Mulya menarik kaus Mikho agar cowok itu bangkit. Namun, Mikho hanya bisa terduduk lemas dan akhirnya kembali terkulai di lantai.

"Ini peringatan untukmu jika kamu berani mengganggu putri saya lagi, saya tidak akan tinggal diam!" Haikal mengancam dengan nada lantang.

Mikho tak bisa berkata apa-apa selain terbatuk-batuk. Sejak peristiwa pelecehan yang dilakukannya semalam pada Shelyn, Haikal langsung menyuruh 3 orang algojo tadi menculiknya dengan paksa saat ia baru saja pulang dari pesta. Kemudian, ia dipukul habis-habisan sampai tidak berdaya.

Berita pelecehan itu sebenarnya sudah tercium oleh media dan ramai diberitakan di televisi juga secara online sejak semalam. Hanya saja Haikal tidak ingin mengambil resiko untuk melaporkan masalah ini ke polisi. Ia tidak ingin Shelyn jadi bulan-bulanan media. Akhirnya, Haikal terpaksa melakukan hal kejam untuk membuat Mikho merasa kapok atas kelakuannya pada anak gadisnya itu.

"Bawa dia! Jangan sampai ada media yang tahu soal ini. Alihkan berita Shelyn dengan skandal selebriti atau apa pun itu agar orang-orang tidak lagi membicarakannya." Haikal berkata pada Mulya.

"Baik, Pak! Akan segera saya laksanakan." Pria itu menggerling pada ketiga algojo tadi untuk membawa Mikho keluar dari ruangan ini.

Mikho pun diseret oleh mereka dan dibawa masuk ke dalam mobil minibus hitam. Haikal mengikuti sampai ke mobil.

"Ingat baik-baik, mulai detik ini menjauhlah dari anak saya!" perintahnya, menjambak rambut Mikho dengan kasar.

Pintu mobil tertutup, kemudian secara perlahan bergerak melaju meninggalkan pekarangan rumah kosong yang menjadi tempat eksekusi Mikho sejak malam tadi. Haikal dan Mulya memperhatikan hingga mobil tersebut menghilang di kejauhan.

"Jangan sampai Shelyn tahu soal ini," bisiknya pada sekretarisnya itu. Mulya cuma membalas dengan anggukan kepala.

Davin diam-diam menyaksikan apa yang terjadi. Ia memfoto semua gerak-gerik Haikal dan Mulya lalu mengirimnya pada atasannya. Hari ini ia libur karena Shelyn sedang bersama Bara pergi jalan-jalan.

Haikal dan Mulya berjalan menghampiri mobil sedan hitam mereka seraya memandang berkeliling.

"Bagaimana keadaan Shelyn sekarang?" tanyanya begitu duduk dalam mobil. Ada ekspresi cemas tersirat dari raut wajahnya yang nampak tua.

Semalam, Haikal benar-benar terkejut mendengar kabar bahwa putri kesayangannya mendapat pelecehan oleh Mikho. Shelyn sempat menangis dalam pelukannya karena merasa shock atas apa yang terjadi. Ia bersyukur Davin bisa menolong putrinya dengan cepat. Rasanya ingin sekali Haikal membunuh Mikho kalau tidak memikirkan apa yang nanti akan terjadi.

"Nona sedang pergi bersama Bara, Pak. Mereka sudah berjanji akan jalan-jalan bersama hari ini," jelas Mulya sambil menjalankan mobil.

Haikal merapikan dasinya yang agak longgar sedikit, kedua alisnya berkerut. "Apa bodyguard-nya ikut bersama?"

"Tidak, Pak. Nona Shelyn bilang ini permintaan Tuan Bara yang ingin berdua saja bersama Nona."

"Bedebah itu!" umpat Haikal kesal, "Suruh Davin menyusul Shelyn nanti. Saya takut terjadi apa-apa dengannya."

"Baik, Pak!" Mulya mengangguk, lalu menghubungi Davin untuk memintanya pergi menemani Shelyn.

"Bagaimana dengan penerbangan kita hari ini?" Haikal mengubah topik pembicaraan, jari-jarinya sibuk membuka berita online di ipad. Kasus Shelyn masih menjadi headline.

Mulya menutup sambungan teleponnya. "Semua sudah beres, Pak. Jam empat sore nanti kita siap berangkat ke Bali untuk menyelesaikan proyek real estate itu. Tapi, kendala masih terletak dari pihak masyarakat sipil yang menolak penggusuran, Pak."

Haikal mematikan ipad-nya sambil menghela napas. Rencananya malam ini mereka akan mengadakan rapat persetujuan proyek. Beberapa anggota dewan juga ikut berkumpul walau banyak pihak yang menentang karena akan menimbulkan masalah penolakan dari masyarakat umum yang akan tergusur. Namun, pihak pengembang dan beberapa pengusaha terkait ingin semua proses berjalan mulus tanpa kendala. Mereka bersedia memberikan fee yang sangat besar pada Haikal dan pejabat lain yang membantu proyek ini.

"Jam berapa sekarang? Bagaimana dengan ekspor senjata para mafia itu? Apa malam ini sudah bisa di ekspor? Saya harap para intel brengsek itu tidak mengacau lagi."

"Sekarang sudah jam dua siang, Pak. Masih tersisa dua jam waktu penerbangan kita. Apa bapak mau memeriksa ke sana dulu? Mereka akan mengekspor dari dermaga lain malam ini, Pak. Semuanya sudah rapi."

"Baiklah, ayo kita ke sana dulu sebelum ke bandara," kata Haikal sambil menatap arlojinya.

***

"Jadi, ke mana kita?" tanya Dara pada Davin yang sudah duduk dalam mobil di belakangnya. Ia, Dimas dan Davin sedang memata-matai Haikal sejak tadi. Rencananya mereka akan mengikuti ke mana bapak Menteri itu pergi.

Davin menatap Dara dan Dimas bergantian, mobil yang mereka naiki masih melaju mengikuti sedan hitam Haikal di depan.

"Kelihatannya gue harus kembali. Gue disuruh nemenin Shelyn hari ini," ujar Davin yang membuat Dara mendesah kecewa.

"Ya udah, serahin tugas ini sama gue dan Dara." Dimas menyetujui, sedangkan Dara cemberut disisinya.

Saat Dimas ingin menghentikan mobil menurunkan Davin di sebuah halte bus, tiba-tiba ponsel Davin bergetar. Ada panggilan masuk dari Shelyn.

"Halo, Nona!"

"Vin, sori. Gak pa-pa kan kalo kamu ke sini nanti malem aja sekalian jemput aku? Soalnya Bara minta aku untuk nemenin dia seharian ini. Nanti aku yang jelasin ke Papa kalo Bara gak akan macem-macem," kata shelyn di seberang telepon.

"Oh, baiklah. Kalau begitu jam berapa saya jemput Nona?" tanya Davin sambil melirik Dara dan Dimas yang sedang memperhatikan.

"Uhm ... jam 8 malam aja nanti kamu jemput aku di depan taman kota, ya!" jawab Shelyn, "bye, Vin!"

"Baik, Nona!" Davin mematikan ponsel. Lalu, menatap kedua temannya, "Shelyn minta nanti malem aja gue jemput dia ke sana. Jadi, gue bisa ikut kalian sekarang."

"Serius? Syukur deh kalo gitu!" seru Dara kegirangan.

"Okay, lets go!" Dimas ikut antusias, menginjak pedal gas dalam-dalam untuk mengejar mobil Haikal yang sudah melaju agak jauh di depan.

"Udah lama kita gak menjalankan tugas bertiga lagi," kata Dara semringah.

"Yah, bener." Davin menjawab, pandangannya menerawang membayangkan Shelyn dan Bara yang mungkin sedang asyik bersenang-senang. "Cewek manja itu, dia selalu aja terlibat masalah di manapun."

"Maksud lo sih Shelyn? Pasti dia tipe cewek yang merepotkan," celetuk Dara.

Davin memandangnya. "Awalnya gue pikir gitu ... tapi, sebenarnya dia cewek yang baik dan naif. Dia selalu kena masalah gara-gara sikapnya itu."

"Cieee ... kelihatannya abang Davin mulai perhatian deh sama dedek Shelyn," goda Dimas, tertawa geli.

"Lo tahu 'kan dia hampir kena pelecehan sama mantan pacarnya. Gue harap dia bisa jaga diri sekarang selama gue gak ada."

Dara menatap Davin, merasa getir. Ia bisa mendengar nada kecemasan dalam suara Davin saat berbicara tadi. Kilatan matanya yang berbinar ketika menyebut nama Shelyn. Entah itu disadari Davin atau tidak, tapi Dara bisa merasakan sepertinya Davin mulai menyukai gadis itu.

Mobil berhenti di sebuah pemukiman nelayan yang tidak terlalu ramai penduduk. Dimas, Dara dan Davin turun dari dalam dan segera menyusuri jalanan becek mengikuti Haikal dan Mulya yang sudah berjalan lebih dulu ke pinggir dermaga, menemui para mafia yang sudah bersiap-siap akan mengekspor senjata ilegal mereka malam ini.

Tiga perahu besar milik nelayan telah tersedia. Beberapa anggota mafia bertubuh kekar memasukan senjata-senjata mereka ke dalam bagan dan tong berisi ikan-ikan segar.

"Wow! Jackpot!" Dimas berseru. Mereka bertiga tak ada yang menyangka Haikal ternyata akan mengantar mereka ke tempat para mafia senjata itu. Sudah beberapa kali mereka bersama pak Mathias gagal melakukan penggrebekan.

"Jadi di sini mereka rupanya," gumam Dara, mengambil ponselnya untuk memotret Haikal dan para mafia itu.

Haikal terlihat sedang berbincang pada seorang pria berjanggut dan berkumis lebat, sepertinya ia adalah ketuanya. Davin, Dara dan Dimas cepat-cepat bersembunyi saat Haikal dan Mulya berjalan kembali menuju mobil yang terparkir tak jauh dari tempat mereka mengintai.

Mobil sedan tersebut berjalan pelan menyusuri jalanan becek itu dan menghilang di kejauhan.

Dimas, Dara dan Davin saling pandang. Mereka terus mengamati kegiatan para mafia itu sambil mengabari pada rekan-rekan lain melalui ponsel mereka untuk bersiap melakukan penggrebekan.

Terdengar suara kokangan pistol di belakang. Mereka bertiga saling lempar tatapan kaget, lalu serentak menoleh dengan hati-hati ke belakang. Tiga orang pria bersenjata tengah mengacungkan pistol ke arah mereka.

"Apa yang kalian lakukan di sini? Siapa kalian!" bentak pria yang berdiri di tengah.

"Ki ... kita cuma lewat, Om." Dimas menjawab gugup.

Ketiga pria itu mengamatinya dengan seksama. Mereka tak percaya dengan ucapan Dimas.

"Angkat tangan kalian! Dan cepat berbalik!" perintah pria yang berdiri di ujung kanan dengan garang.

Dimas, Dara dan Davin menuruti perkataan pria itu. Mereka mengangkat kedua tangan ke atas dan ragu-ragu berputar menghadap tembok.

"CEPETAN!" bentak pria yang berdiri di tengah tak sabar. Todongan pistolnya semakin maju mengarah ke kepala Davin yang kebetulan berdiri di hadapannya.

Davin melirik Dimas dan Dara bergantian, lalu berbalik memunggungi ketiga mafia itu. Ketiga pria itu mendekati mereka dan mulai meraba-raba untuk menggeledah tubuh Davin, Dimas dan juga Dara.

Dara berteriak marah saat tubuhnya hendak digeledah. Saat itulah Davin mengambil kesempatan menendang perut pria di tengah dan merebut pistol yang dipegangnya. Dimas pun melakukan hal sama dengan meninju keras wajah pria yang berdiri didekatnya, pistol yang dipegang pria itu pun jatuh ke tanah.

Davin sendiri mengambil kesempatan menembak pria yang berada di tengah, juga pria yang berdiri di dekat Dara hingga membuat kedua pria tersebut terkapar di tanah. Sementara Dimas masih bergumul bersama pria lain untuk merebut pistol yang terjatuh. Saat pria itu berhasil merebutnya, Davin langsung menembak dada pria itu dan membuatnya terkapar.

Dimas serta-merta mengambil pistol tersebut dengan napas terengah-engah. "Nice shoot, Vin!" ucapnya berterima kasih.

Davin cuma mengendikan bahu dengan gaya sok kerennya yang membuat Dara tersenyum geli. Gadis itu ikut mengambil pistol milik pria yang berada di dekatnya, lalu bersiaga.

Beberapa mafia lain sudah berhamburan mengepung mereka. Sementara yang lain, justru menjalankan perahu besar mereka untuk berlayar. Davin memperhatikan perahu-perahu yang telah berlayar tersebut, semakin jauh menuju ke tengah laut.

"BRENGSEK!" rutuknya kesal karena gagal menahan mereka.

"Vin, awas!" teriak Dara pada Davin saat dua orang pria datang menyerbu tiba-tiba.

Davin tersentak dan mengelak ketika seorang di antaranya melayangkan kepalan tinju. Tendangan balasan berhasil Davin daratkan pada kepala pria itu dengan gerakan memutar di udara. Kemudian, ia mengacungkan pistol pada pria satunya dan menembak tepat di bagian jantung pria itu.

Dimas dan Dara sendiri ikut berkelahi dengan beberapa mafia lain yang mengeroyok mereka. Dua sudah tumbang, masih tersisa empat orang lagi. Dua orang diantaranya ada yang membawa pistol dan dua lainnya senjata tajam.

"Guys, ayo cepet pergi dari sini!" teriak Davin yang kembali berhasil menumbangkan tiga mafia lain dengan beberapa pukulan dan tendangan di area vital.

Tampak segerombolan mafia lain datang dengan membawa senapan laras panjang. Sementara ketua mereka terlihat melarikan diri menaiki sebuah mobil Van bersama dua orang kaki tangannya.

Dimas dan Dara berlari cepat menuju mobil mereka yang terparkir beberapa meter jaraknya. Davin berlari menyusul sambil menembakan pistolnya ke para mafia yang mulai mendekat. Beberapa dari mereka balas menembak ke segala arah yang membuat Dimas dan Dara kalang kabut berlarian sambil sesekali balas menembak.

Davin tertinggal di belakang karena ada satu mafia yang berhasil mengejarnya. Ia dan mafia tersebut bergumul hebat. Mafia itu berbadan sangat kekar, sehingga merobohkannya tidak cukup dengan dua-tiga pukulan. Saat ia hendak menikam Davin dengan sebuah senjata tajam, Dara berhasil menembak kepala pria itu dengan tepat, sehingga pria itu langsung terkapar tak bernyawa di tanah. Davin menarik napas lega. Nyaris saja nyawanya melayang.

Dimas dan Dara sudah sampai ke mobil dan segera masuk. Beberapa peluru nyasar hampir mengenai mereka. Dimas langsung menjalankan mobil menghampiri Davin yang masih berlari kencang menghindari beberapa peluru terbang.

"Vin, ayo!" panggil Dara, menyuruhnya segera masuk.

Davin sempat menembakan pistolnya pada dua pria yang memegang senapan laras panjang sebelum masuk ke dalam mobil. Ketika ia membuka pintu untuk masuk, sebuah peluru sukses menembus perutnya.

DOOORRRR!!!

Pria yang menembak Davin tersenyum lebar menyaksikan tembakannya tepat mengenai sasaran. Davin memegang perutnya yang seketika mengeluarkan darah segar. Ia langsung masuk ke dalam mobil dan Dimas segera memutar mobil melaju dengan kecepatan penuh meninggalkan tempat itu. Suara tembakan dan hantaman peluru menderu di belakang mereka.

"Vin, lo nggak pa-pa, 'kan?" tanya Dara cemas saat melihat luka tembak di perut Davin yang mengeluarkan darah cukup banyak.

Davin menggeleng dengan wajah pucat. Ia menoleh ke belakang beberapa kali untuk melihat para mafia yang masih semangat mengejar mereka dan menembakkan pistolnya. Tangannya memegang perutnya yang tertembak. Napasnya terengah-engah. Darah terus mengucur keluar membasahi pakaiannya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel