Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

11. Pengorbanan

"Jadi bagaimana? Apa sudah berhasil?" Haikal berbicara di telepon, terdengar jawaban memuaskan dari lawan bicaranya bahwa senjata-senjata ilegal itu sudah sampai ke tengah laut menuju perairan China Selatan untuk dibawa lagi ke negara-negara konflik yang telah siap membeli senjata-senjata rakitan tersebut.

"Bagaimana dengan ketiga orang yang memata-matai kalian? Apa mereka berhasil kalian tangkap?"

"Maaf, Pak. Mereka berhasil lolos. Namun, salah satu dari mereka ada yang tertembak ...."

"Bodoh!" maki Haikal jengkel. "Seharusnya kalian tangkap tiga orang itu. Kenapa kalian biarkan lolos? Saya tidak mau terjadi apa-apa jika mereka melaporkan pada pihak berwajib. Ingat baik-baik untuk menutup mulut kalian rapat-rapat tentang saya!"

"Tenang, Pak Haikal. Kami akan menjaga nama bapak tetap bersih."

Mulya datang menghampiri Haikal, mengatakan bahwa sudah saatnya naik ke pesawat. Haikal mengangguk.

"Baiklah, saya harus pergi sekarang. Jika ada kabar lagi segera kabari saya," katanya, menutup sambungan telepon. Ia bangkit berdiri bersama Mulya menuju ke pesawat.

Seseorang pemuda yang duduk menyandar di salah satu kursi di dekatnya menurunkan koran sambil melirik Haikal dan Mulya yang sedang menyusuri lorong. Pemuda itu berpakaian hitam dengan celana jeans, topi serta kacamata hitam. Dimatikan recorder kecil yang dipasangnya sejak tadi untuk merekam percakapan Haikal.

Dengan senyuman tipis, ia bangkit berdiri, lantas berjalan menyusul Haikal dan Mulya dengan santai. Saat kedua orang itu lengah, ia berpura-pura menyenggol Haikal sambil menempelkan sebuah alat penyadap kecil pada tas kerja yang dibawanya. Lalu, meminta maaf dengan ramah dan berjalan ke arah berlawanan. Pemuda itu sebenarnya adalah Rian yang bertugas mengikuti Haikal dan memata-matai pergerakannya.

Rian tersenyum kecil, tangannya sibuk mengetik pesan di ponselnya, memberi kabar bahwa ia sudah melakukan sesuai rencana.

***

Dara duduk tegak di pinggir ranjang sembari memandang Davin yang tertidur lelap setelah terkena tembakan. Davin mengeluarkan cukup banyak darah. Untungnya peluru tersebut tak mengenai lambungnya.

Setelah melakukan operasi kecil untuk mengeluarkan peluru, Davin masih belum siuman. Dara dengan setia menunggu di sisinya sejak tadi. Ia merasa sangat khawatir. Takut Davin kenapa-napa. Cowok yang telah diam-diam mencuri hati Dara sejak mereka bekerja sama sebagai tim tiga tahun lalu. Dara menyukai Davin bukan karena ketampanannya, tetapi karena kepribadian Davin yang sopan pada wanita dan sangat gentle.

Dara ingat waktu ia tengah menjalani misi dengan menyamar jadi gadis karaoke di sebuah club. Ada tiga orang pria tua yang mem-booking-nya. Saat berada di dalam, Dara dipaksa untuk melayani nafsu bejat pria-pria itu. Davin tiba-tiba marah melihat kejadian itu. Kebetulan ia juga sedang menyamar menjadi waiter yang mengantarkan minuman kepada mereka.

Akhirnya, Davin sukses menghajar ketiga pria yang sebenarnya target mereka tersebut. Karena kejadian itu, Davin dimarahi oleh atasan mereka, tapi cowok itu tetap pada pendiriannya bahwa ia tidak suka dengan cara seperti ini. Ia tidak suka Dara direndahkan pria-pria hidung belang itu. Mereka pun mengubah strategi dan untungnya misi mereka berhasil.

"Serius amat liat Davin sampe nggak berkedip gitu," tegur Dimas membuyarkan lamunan Dara.

Dara menoleh, lantas berdehem beberapa kali. Pipinya merona. "Jangan berisik coba. Nanti Davin bangun.”

Dimas duduk di sebuah kursi kosong di sebelah Dara sambil menghela napas. "Istirahat gih. Dari tadi lo di sini mulu, nanti lo sakit. Misi kita belum selesai.”

"Nggak, gue mau di sini aja." Dara menggeleng.

Bola mata Davin tiba-tiba bergerak sedikit. Dara dan Dimas langsung mencondongkan tubuh menatap rekan mereka tersebut.

"Vin ...." Dara memanggil lirih.

Davin mengerjapkan mata karena merasa silau terhadap lampu ruangan yang sinarnya memantul tepat di atas retinanya. Ia mengangkat tubuh pelan-pelan. Kedua temannya membantunya menyandar ke sisi brankar.

"Gimana perasaan lo?" tanya Dimas.

Davin mengecap-ngecap mulutnya yang terasa kering. "Jam berapa sekarang?" Ia balik bertanya dengan suara parau. Wajahnya masih seputih kertas.

"Jam sembilan malem," jawab Dimas sambil mengangkat alis. "Kenapa lo nanyain jam?"

Davin tersentak dan langsung bangkit berdiri. Luka diperutnya seketika berdenyut hebat. Tangannya serta merta menekan perutnya. Sambil mengernyit menahan sakit, ia melangkah pelan dengan terhuyung-huyung. Davin ingat bahwa harus menjemput Shelyn pukul delapan dan sekarang ia sudah terlambat satu jam.

"Mau ke mana lo?" tanya Dimas keheranan.

"Mau jemput Shelyn. Gue janji jam delapan jemput dia ...."

"Lo gila! Lo lagi terluka, Vin. Pikirin kesehatan lo!" Dara dengan gusar menahannya.

Davin menarik napas dengan tersengal. Sakit diperutnya makin terasa menyengat. "Tapi, gue gak mau dia menunggu. Udah tugas gue untuk jemput dia."

"Vin! Jangan begini. Lihat luka lo berdarah lagi!" Dara menaikan suaranya, frustasi menatap Davin yang bersikeras pergi. Ia berpaling menatap Dimas yang diam saja, melongo.

Davin melirik luka diperutnya yang memang mengeluarkan sedikit darah. Ia menggigit bibir, melangkah pelan menuju pintu, tak mengubris ucapan Dara.

"Vin!" panggil Dara, berusaha menarik tangannya. Namun, Dimas cepat-cepat menghentikannya. Dara menatap Dimas kesal. Cowok itu cuma menggelengkan kepala.

Davin berpapasan dengan Pak Mathias diambang pintu. Ia membungkukkan kepalanya sedikit dan berjalan pergi tanpa berkata apa-apa.

Pak Mathias menatap Davin sambil geleng-geleng kepala. Padahal baru saja ia ingin mengecek keadaan Davin di sini.

"VIN!!" teriak Dara sekali lagi dengan sejuta kecewa menatap kepergian Davin. Demi Shelyn, pemuda itu sampai tidak memikirkan sakitnya. Dara menunduk sedih. Dimas yang tahu perasaannya langsung menepuk-nepuk bahunya mencoba menenangkan gadis itu.

Davin berjalan sekuat tenaga menuju pintu luar gedung. Dimas memanggilnya dan melempar sebuah kunci mobil padanya. Davin mengucapkan terima kasih seraya menangkap kunci tersebut.

Ia masuk ke dalam sebuah mobil Hatchback putih milik Dimas dan langsung melesat pergi. Rasa sakit yang menderanya tak ia hiraukan. Ia hanya memikirkan untuk cepat sampai menjemput Shelyn di tempat yang mereka janjikan.

***

Shelyn celingak-celinguk menatap sekeliling sambil menyedot es Thai Tea yang dibelinya tadi. Matanya terus-terusan menatap benda mungil yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah pukul setengah sepuluh malam, Davin belum juga terlihat menjemputnya.

Ponselnya tiba-tiba bergetar, Shelyn buru-buru mengecek dan rupanya pesan masuk dari Bara.

Bara

Shel, kamu udah sampe rumah?

Shelyn mendesah kecewa. Ia sengaja menyuruh Bara pulang duluan karena memilih Davin yang menjemputnya. Sementara di tempatnya berdiri, cowok-cowok yang berlalu lalang menatapnya ingin tahu, kenapa ada seorang gadis cantik duduk sendirian di tempat seperti ini?

Shelyn mengacuhkan mereka walau sebenarnya merasa ngeri dan takut. Kejadian Mikho semalam masih terbayang di otaknya. Malam ini ia sengaja mengenakan long dress bukan mini dress karena ingat ucapan Davin untuk berpakaian sopan ke mana-mana. Ia berharap Davin cepat datang dan tidak mengingkari janjinya. Entah kenapa ada firasat tidak enak yang dirasakannya pada cowok itu malam ini.

Ponsel Shelyn bergetar lagi, ternyata Davin yang meneleponnya. Gadis itu pun merasa lega.

"Halo, Vin? Kamu di mana? Aku udah nunggu kamu dari tadi."

"Maaf, Nona saya baru sampai. Nona di mana?" jawab Davin, suaranya terengah-engah.

Shelyn bangkit dari tempat duduknya dan menatap ke sekeliling, "Aku masih di taman kota, Vin. Aku pake long dress putih garis-garis di dekat orang jualan Thai tea.”

Davin mengedarkan pandangan ke sekeliling, kemudian merasa lega melihat Shelyn sedang berdiri celingukan di dekat stand penjual es yang berjarak beberapa meter dari tempatnya berdiri. Cowok itu dengan cepat menghampirinya.

"Nona ...," panggil Davin ketika ia sampai.

Shelyn menoleh dan tersenyum lebar melihat Davin sudah berada dihadapannya. "Kamu ke mana aja? Aku udah nunggu satu jam lebih di sini."

"Maaf, Nona ... tadi saya ada urusan. Apa nona di sini sendirian?" tanya Davin cemas.

Shelyn mengangguk manja dan tersenyum kecil. "Tenang aja. Di sini rame, jadi nggak bakal ada yang jailin aku."

"Tapi tetap saja berbahaya, Nona. Kenapa Bara membiarkan Nona nunggu sendirian di sini?"

"Aku yang suruh dia pulang. Aku nggak tahu kamu bakal telat." Shelyn mengamit lengan Davin. Namun, baru tersadar kalau wajah Davin terlihat sangat pucat. Apalagi cowok itu sering mengernyit seperti menahan sakit.

"Vin, kamu pucet banget. Kamu sakit?"

Davin menggeleng sambil menahan napas. Rasa panas dan nyeri di perutnya terasa semakin hebat. Ia bisa merasakan ada cairan hangat yang mengaliri kulit perutnya. Sepertinya darahnya keluar lagi.

"Ayo ... kita pulang, Nona."

Mereka berdua berjalan pelan menyusuri taman menuju mobil. Shelyn mengamati Davin yang parasnya sudah semakin tak berwarna.

"Vin ....”

Davin menghentikan langkahnya dan tiba-tiba jatuh terduduk di tanah. Shelyn tercekat melihat darah mengalir dari balik pakaian yang dikenakan pemuda itu.

"Vin, kamu berdarah!" pekik Shelyn, sambil merangkul bahu Davin yang kini terkulai lemas agar tak ambruk. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh Davin.

"Vin? Vin?”

Shelyn menepuk pipi Davin dengan cemas. Lalu, memandang berkeliling mencari pertolongan pada orang-orang. Davin tak sadarkan diri.

"Tolong! Tolong!"

Semua orang yang mendengar teriakan Shelyn berkerumun menghampiri gadis itu dengan kaget.

"Ada apa, Nona?"

"Apa yang terjadi?"

"Panggil ambulans!"

"Kenapa kok dia pingsan?"

"Itu darah ...."

Suara-suara lirih dan jeritan kaget terdengar. Shelyn tak menghiraukan mereka. Jantungnya berdegup kencang.

"Vin! Vin ... tolong bangun!" Shelyn merangkul tubuh dingin Davin sambil menangis ketakutan.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel