Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Skors

Terkadang kamu tidak bisa membedakan antara menikmati masa muda dan menghancurkan masa depan.

—Gavin P—

Reya terbangun ketika ponselnya terus berbunyi, namun ia enggan membuka matanya yang masih terpejam. Reya menggapai-gapai ponsel di atas nakas, kemudian mendekatkannya ke telinga.

"Halo." Suaranya terdengar serak khas bangun tidur.

"Gue tunggu di depan, sekarang." Sambungan telepon langsung terputus.

Reya perlahan membuka mata, memicingkan matanya untuk melihat layar ponselnya yang masih menyala. Reya mengerutkan keningnya ketika nama Gavin muncul di log panggilan masuk.

Gavin?

Reya terdiam, lalu melotot setelah kesadarannya pulih sepenuhnya. Reya menyibakkan selimutnya dan berlari ke balkon. Reya semakin membulatkan mata saat melihat Gavin berdiri di depan gerbang, padahal ini masih jam setengah lima pagi.

"Ngapain lo?" teriak Reya, tak peduli jika suaranya akan mengganggu tetangganya.

Gavin hanya diam, mendongakkan kepalanya untuk melihat Reya yang ada di balkon lantai satu. Reya berdecak, karena Gavin mengabaikannya dan malah sibuk memainkan ponsel.

"Dasar gak jelas!" gerutu Reya.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi, notifikasi pesan masuk. Reya segera membukanya.

Gavin ????

Gue tunggu lima menit dari sekarang kalau lo gak turun, lo tahu sendiri akibatnya.

Reya menggeram kesal, melemparkan tatapan tajam pada Gavin yang justru tengah tersenyum miring ke arahnya. Kemudian Gavin mengangkat tangannya dan menunjuk jam tangan yang ia pakai.

"Sial!" Reya segera berlari keluar kamar, ia sampai melempar ponselnya begitu saja ke kasur.

Reya terengah-engah ketika sampai di depan Gavin, ia mengatur napasnya sejenak. Lalu berkacak pinggang dengan tatapan menusuk ke Gavin yang tengah menatapnya.

"Lo gila? Ngapain suruh gue keluar pagi-pagi buta begini? Pake acara ngancem segala, gue gak takut ya sama lo. Apalagi sama bibir ...." Reya tercekat ketika Gavin tiba-tiba memajukan wajahnya di depan mukanya.

Mata Reya beradu dengan sorot mata Gavin, seketika tubuhnya bereaksi tak wajar lagi. Degup jantungnya kembali berpacu, tubuhnya menegang bahkan kakinya tak bisa digerakkan. Ditambah bibirnya yang tiba-tiba kelu.

Why? Ada apa dengan gue? Kenapa begini?

Ya Allah.

Reya tak tahan, tatapan Gavin membuatnya malu seolah ia tengah ditelanjangi. Gugup, entah kenapa Reya jadi serba salah begini. Padahal ia tak pernah begini bila berhadapan dengan cowok.

"Berisik!" Ucapan Gavin menyentak Reya yang kembali sadar sepenuhnya. Ia sendiri menarik tubuhnya ke posisi semula. "Gue mau lari pagi, berhubung gue baru di sini. Lo harus temenin gue."

What?

"Lari pagi?" beo Reya, mulutnya menganga.

Reya tak habis pikir, Gavin menyuruhnya keluar hanya untuk menemaninya lari pagi. Sementara Reya sendiri masih mengenakan piyama hello kitty, berbeda dengan Gavin yang memakai celana training selutut dan kaus pendek, ditambah earphone di lehernya.

"Gak mau!" tukas Reya, ia segera berbalik hendak masuk. Namun Gavin dengan cepat menarik lengannya hingga Reya tertarik ke belakang dan adegan klise itu terjadi lagi.

Reya benci setiap kali jatuh ke pelukan Gavin, itu membuat detak jantungnya berdetak tak normal.

"Sayangnya lo gak punya pilihan." Tanpa babibu Gavin menarik kerah piyama Reya, menyeretnya keluar gerbang.

"GAVIIINNN!!!" teriak Reya, tak peduli jika tetangganya akan bangun karena mendengar suaranya yang merdu.

Merusak dunia!

———————

Reya memberengut kesal, ia memilih duduk di ayunan ketimbang mengikuti Gavin lari pagi. Lagian Gavin aneh, minta ditemani tapi dia sendiri malah memakai earphone di telinganya dan meninggalkan Reya yang jauh tertinggal.

"Dasar cowok bunglon! Kadang manis, kadang nyebelin. Gak konsisten." Reya terus mengomel sendiri, sampai tak menyadari jika orang yang sedang ia kata-katai berada di belakangnya.

Gavin tersenyum geli, sebenarnya ia tidak suka dengan cewek tukang ngomel kaya Reya. Tapi melihat wajah Reya saat kesal dan bibirnya yang berkomat-kamit justru menyenangkan baginya, seolah itu hiburan tersendiri untuk Gavin.

Imut. Batin Gavin.

"Aaaa ... MAMAKKK ...!" teriak Reya ketika ayunannya tiba-tiba bergerak, membuatnya melambung tinggi. "Aaaaaa ...!" Reya terus berteriak seperti orang hutan.

Sedangkan Gavin tertawa terbahak-bahak, menyaksikan ayunan yang ia dorong mengayun lumayan tinggi. Wajah Reya sangat lucu, padahal Reya hampir mau menangis.

"Gavin!! Gue takut!" teriak Reya lagi, kali ini Gavin menghentikan ayunannya setelah puas membuat suara Reya jadi serak.

Reya bernapas lega, ia mengatur napasnya. Mengontrol detak jantungnya yang serasa mau copot, tenggorokannya jadi kering akibat terus berteriak. Gavin memang kurang ajar.

"Lo mau bikin gue jantungan? Hah?!" teriak Reya, menoleh ke Gavin yang duduk di ayunan sampingnya. "Kalau gue mati gimana?"

"Ya, kubur," jawab Gavin dengan entengnya.

Jelas Reya semakin kesal, matanya melotot hampir keluar. "Lo ...!"

"Thank's udah hibur gue." Gavin menoleh, menatap Reya dengan senyum di bibirnya.

Senyum yang mampu melelehkan siapa pun, tak terkecuali hati Reya yang sekeras batu kali.

Reya jadi salah tingkah, tatapan Gavin yang meneduhkan justru membuatnya tak nyaman. Reya memalingkan wajahnya ke depan, ia sebenarnya bingung. Kenapa Gavin berterimakasih padanya, padahal Reya saja tidak melakukan apa-apa.

Aneh!

"Lo diskors?" tanya Gavin, setelah keheningan yang cukup lama.

"Hm." Reya tak berniat menanggapi, malas membahas hal itu.

Menurut Reya hukumannya tidak adil, masa hanya dirinya yang diskors sementara Rika gak. Padahal kalau mulut Rika gak memicu bom di tubuhnya, emosi Reya tak akan meledak-ledak waktu itu.

"Re," panggil Gavin, suaranya terdengar rendah.

Reya tak menyahut, ia hanya menolehkan kepalanya, melihat ke Gavin yang tengah mendongakkan kepalanya. Menatap ke atas langit di mana bulan mulai menghilang digantikan matahari yang menampakkan diri dari timur.

"Kesempatan itu gak pernah datang dua kali," celetuk Gavin.

"Maksudnya?" Reya mengerutkan keningnya, tak paham dengan apa yang diucapkan Gavin.

Gavin menoleh ke Reya. "Jangan buang waktu lo buat hal-hal yang gak penting."

"Hal-hal gak penting? Maksunya?" Reya semakin bingung, ia sama sekali tidak mengerti. Reya memang lemot jika diajak bicara serius.

"Harusnya lo bersyukur masih ada orangtua, tapi lo malah kecewain mereka. Lo pasti gak sadar kalau selama ini yang lo lakuin bikin mereka sedih." Gavin memalingkan wajahnya ke depan, menatap lurus ke area taman. "Menikmati masa muda memang perlu, tapi jangan jadiin alasan untuk merusak masa depan. Kenapa lo gak coba berubah jadi lebih baik, seenggaknya buat diri lo sendiri. Syukur-syukur bisa banggain orangtua lo."

Reya terdiam, kata-kata Gavin menyentil sanubarinya. Begitu menohok dan kontras sekali dengan apa yang ia lakuin selama ini. Gavin benar, selama ini Reya selalu berdalih menikmati masa muda sampai tak sadar jika yang ia lakukan justru menjerumuskan masa depannya jadi suram.

Tawuran, berantem, bolos, nyontek, malas belajar, ngelawan sama guru dan yang lebih gila ia ikutan balap liar. Meski akhir-akhir ini Reya tak lagi ke arena karena papanya menyita mobil yang sering ia pakai untuk balapan.

Sebenarnya papa, mamanya sudah sering menasehatinya. Hanya saja Reya selalu mengacuhkannya dan bersikap masa bodoh. Toh selama ini mereka gak pernah marah, padahal kenyataannya memang Rey dan Ana tidak bisa marah sama Reya. Seperti apa pun kesalahan Reya, mereka selalu memaafkan dan memaklumi. Mungkin orangtuanya sudah lelah untuk menasehati.

Reya semakin tertunduk, merasa bersalah dan sedikit menyesal. Pasti mama dan papanya sangat kecewa, apalagi setelah dipermalukan oleh mama Rika kemarin. Seandainya Reya bisa menahan sedikit saja emosinya, mungkin ceritanya akan berbeda.

Reya juga sadar, jika selama ini ia belum pernah membuat orangtuanya bangga. Hingga akhirnya terbesit sebuah keputusan untuk berubah dalam benaknya. Tapi apa mungkin Reya bisa berubah?

"Gunain kesempatan lo sebaik-baiknya, sebelum lo menyesal kaya gue. Karena yang sudah pergi gak akan bisa kembali lagi." Ucapan Gavin menyentak Reya dari lamunannya.

Gavin beranjak berdiri, ia sudah akan melangkahkan kakinya namun panggilan Reya menginterupsinya. Membuat Gavin mengurungkan niatnya dan menoleh ke Reya.

"Bantu gue buat berubah," ucap Reya, keduanya saling bertatapan. "Jadi tuas pengendali buat gue, arahin gue ke jalan yang benar agar gue gak tersesat lagi."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel