Pawang
Salah itu wajar, kamu hanya perlu mengakui dan minta maaf. Belajar dari kesalahan, berusaha untuk tidak mengulanginya kembali.
-Gavin-
Reya mengurung diri di kamar, ia duduk bersandar di atas ranjang, memeluk kakinya dan meletakkan dagu di atas lutut. Sejak tadi Reya hanya diam, memandangi boneka kelinci di tangannya.
Ucapan Gavin di rooftop terus terngiang di telinganya, berputar-putar memenuhi isi kepalanya, seperti kaset rusak.
"Salah itu wajar, lo cukup ngaku, minta maaf terus belajar buat gak ngulangin lagi."
Mungkin dari kesekian juta umat manusia, hanya Gavin yang mengatakan jika salah itu wajar. Kata Gavin kesalahan itu sebuah proses pembelajaran diri untuk suatu perubahan yang lebih baik. Reya mendecih, mendengus geli mengingat kata-kata bijak yang keluar dari mulut Gavin.
Tapi bagi semua orang, apa yang Reya lakukan bukanlah sebuah kewajaran. Mereka mengkategorikan tindakan Reya itu bentuk kurang ajar, kurang didikan, kenakalan remaja. Bahkan Reya sering dicap sampah sekolah. Minim prestasi, biang onar dan hanya membuat malu sekolahan.
"Apa gue salah?" gumamnya, memainkan boneka kelinci pemberian Gavin.
Jelas salah!
Jawaban dalam dirinya, Reya menyadari kalau tindakannya salah. Tapi bukankah tidak akan ada asap jika tidak ada api? Seandainya Rika tidak mengatai mamanya yang tidak-tidak, Reya juga tidak akan bertindak sejauh itu. Padahal Reya sedang tidak ingin mencari masalah pagi tadi, tapi Rika justru memercikkan api di atas tubuhnya yang berlumuran bensin. Alhasil, emosinya meledak-ledak tak terkendali.
Suara dering ponsel mengalihkan perhatiannya, Reya melirik ke ponsel yang ada di sampingnya. Layarnya terus berkedip, menampilkan nama Ichi. Sejak tadi teman-temannya silih berganti menghubungi Reya, tapi tak ada satu pun yang Reya angkat. Ia juga bolos, beruntung Gavin mau mengantarkannya pulang. Meski pada akhirnya cowok itu balik lagi ke sekolah dan tinggal dirinya sendiri di rumah.
Reya menghela napas lelah, ponselnya kembali redup tapi tak berselang lama menyala lagi, kali ini nama Mail yang muncul di layar. Mereka pasti sangat mengkhawatirkannya, tapi Reya sedang tidak ingin diganggu. Reya mengambil ponselnya dan mematikannya.
Reya menatap kembali boneka kelinci di tangannya. "Mulai sekarang lo temen gue, lo yang akan dengerin setiap keluh kesah gue, lo juga yang akan jadi tuas pengendali saat gue emosi, jadi lo harus tangguh karena gue akan meremas-remas lo kaya gini." Reya meremas bonekanya, memperagakan seperti ucapannya barusan. Reya tertawa, entah apa yang lucu, ia sedikit lebih baik setelah melampiaskan semuanya pada boneka kelinci.
"Lo harus punya nama, gue kasih nama siapa ya?" Reya tampak berpikir sejenak, hingga sebuah nama melintas di pikirannya. "Ah, gimana kalau Ecan. Eaaa cantik." Reya tersenyum lebar. "Mulai sekarang nama lo Ecan, oke."
Suara ketukan di pintu kamar mengalihkan perhatian Reya, namun ia hanya melihat sekilas ke arah pintu lalu kembali mengacuhkannya. Terdengar suara Ana memanggil, tapi Reya sama sekali tidak menyahut.
"Reya, buka pintunya sayang. Makan dulu yuk, kamu dari siang belum makan." Bersamaan dengan suara Ana, perut Reya berbunyi.
Reya meringis, memegangi perutnya. Ia berusaha menahannya, Reya harus kuat. Sehari gak makan, gak bakal bikin ia mati. Reya memilih tidur, menggelung dirinya di bawah selimut.
—————
Ana melihat jam dinding, sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan Reya masih belum mau keluar dari kamarnya. Ana sudah bolak-balik ke kamarnya, tapi tak membuahkan hasil. Sejak pulang dari sekolah Reya mengunci diri di dalam kamar. Ana tahu Reya pasti kecewa dengan tindakannya dan Rey yang seolah tak mau mendengarkannya.
Kebenarannya sudah terbongkar, beruntung kepala sekolah tidak gegabah mengambil tindakan. Dia sudah mencari tahu dulu, sehingga saat proses mediasi kepala sekolah bisa menunjukkan video amatir yang direkam oleh salah satu siswa.
Ana cukup prihatin, ia juga sedih. Bagaimana bisa, anak umur enam belas tahun tapi mulutnya sudah setajam belati. Ana tidak bisa sepenuhnya menyalahkan tindakan Reya, jika dirinya berada di posisi Reya, Ana yakin ia akan melakukan hal yang sama. Meski itu semua salah.
"Belum mau keluar juga?"
Suara Rey menyadarkan Ana dari lamunannya, ia mengangkat wajah melihat ke arah Rey yang baru saja duduk di dekatnya. Ana menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
Terdengar helaan napas berat Rey, ia merasa bersalah dan juga menyesal sudah membentak Reya tadi. Rey terlalu kalud, ia tak bisa berpikir jernih saat itu. Rey hanya ingin menyelamatkan Reya agar proses mediasi berjalan lancar, tapi ia lupa melindungi perasaan Reya yang rapuh.
"Maaf," lirih Rey. "Harusnya tadi aku gak gegabah bentak Reya."
"Minta maaf sama Reya, bukan sama aku," balas Ana, ia beranjak berdiri lalu pergi ke kamarnya. Sama halnya dengan Reya, Ana juga kecewa sama sikap Rey tadi.
"Ana, mau ke mana?" panggil Rey, tapi Ana mengabaikannya. "Kita makan ...." Rey pun beranjak berdiri, ia menyusul Ana.
Mereka tidak sadar jika sedari tadi ada Gavin di meja makan, ia melihat semuanya. Gavin menatap hampa meja makan, padahal baru kemarin ia merasakan kembali kehangatan tapi sekarang lagi-lagi ia sendirian.
————
Reya berguling ke sana-sini, perutnya terasa sakit, perih melilit. Ia sangat lapar, tapi Reya kan lagi marah. Reya memaksakan matanya terpejam, lebih baik ia tidur lagi. Baru saja memejamkan mata, suara gubrak seperti sesuatu yang terjatuh membuat Reya seketika membuka mata.
Reya bangun dan melihat ke arah balkon. Ia bergidik, memeluk bantal. Reya masih trauma dengan kejadian kemarin, ia takut jika voldemort datang lagi. Sekelebatan bayangan membuat Reya panik, ia membungkam mulutnya agar tidak berteriak.
Astaga, voldemort!
Bagaimana ini? Reya bingung, ia tidak tahu mantra-mantra sihir, bagaimana ia akan melawan voldemort? Yang Reya tahu hanya ajian jaran goyang, yang sering dinyanyikan mba-mba kantin. Iya, itu emang bukan mantra, tapi lirik lagu koplo.
Suara gedoran di pintu kaca membuat Reya terkesiap, ia menyembunyikan diri di dalam selimut. Reya merapalkan segala macam doa, dari doa makan sampai doa tidur. Tapi suara gedoran malah semakin kencang.
"Voldemortnya ngamuk, pasti kepanasan," cicit Reya.
"Reya."
Reya membuka selimutnya, ketika mendengar suara yang sangat familiar. Suara yang akhir-akhir ini sering ia dengar. Suara itu kembali terdengar memanggilnya.
"Reya, buka." Berbarengan dengan suara ketukan pintu penghubung balkon.
Reya menoleh, ia melihat bayangan seseorang berdiri di depan pintu tapi bayangan itu berbeda dari yang kemarin.
"Reya, buka. Ini gue, Gavin."
Gavin!
Reya langsung turun dari kasur, berlari ke pintu dan membukanya. Alangkah terkejutnya Reya mendapati Gavin berdiri di depan pintu, menatapnya dengan datar.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Reya.
Gavin tak menjawab, ia hanya menunjukkan paper bag di tangannya.
"Gue gak laper," tukas Reya, ia sudah akan berbalik tapi Gavin menarik pergelangan tangannya. "Aaa!" pekik Reya, ia melotot karena nyaris menabrak dada Gavin. Tapi posisi sedekat ini justru membuat jantung Reya berdetak tak karuan, Lama-lama ia bisa kena penyakit jantung kalau seperti ini terus. "Lo ...!" Reya terkesiap saat Gavin menariknya keluar ke balkon.
"Duduk, temenin gue makan. Gue gak suka makan sendiri," ucap Gavin, melepaskan pegangannya lalu duduk.
"Gue bilang gue gak laper," kata Reya, meski ia menurut duduk di bawah.
"Lo masih inget kan ancaman gue terakhir kali waktu lo nolak buat makan." Gavin menatap Reya, tatapannya seolah mengancam Reya.
Reya bergidik, ia jelas masih ingat. Reya bahkan tak bisa melupakannya, membuat ia frustasi setiap mengingatnya. Reya menghela napas, ia terpaksa menuruti perintah Gavin. Dalam hati Reya menyumpah serapah Gavin, mengutuknya dengan segala macam kutukan. Contohnya dikutuk jadi kodok, tapi sayangnya Gavin terlalu tampan untuk jadi kodok.
"Makan," suruh Gavin.
Reya mendengus, kali ini ia tidak menolak. Perutnya sudah meronta-ronta minta asupan, cacing-cacing di perutnya sudah demo anarkis sejak tadi. Reya makan dalam diam, begitu pun Gavin. Hanya ada suara dentingan sendok.
"Kenyang?" tanya Gavin setelah keduanya selesai makan.
Reya mengangguk, ie mengusap perutnya.
"Kalau laper makan, gak usah ditahan-tahan."
Reya mendengus, ia mengabaikan Gavin. Hening, keduanya saling diam dengan pikirannya sendiri. Hingga suara Gavin memecahkan keheningan.
"Bau dah," celetuk Gavin. "Lo nyium bau-bau gak enak gitu gak si?" Reya menoleh, menggelengkan kepalanya.
"Bau apaan? Gak bau kok," jawab Reya.
Gavin mengendus-endus, lalu mendekat ke Reya. Ia berhenti tepat di depan wajah Reya.
"Why?" Reya melotot, ia tampak gugup. Lagi-lagi jantungnya berdetak tak karuan, seperti bom yang sebentar lagi akan meledak. Tatapan mata Gavin membuatnya salah tingkah. "Why? Why, why, why?" Reya gelagapan karena Gavin semakin mendekat, memangkas jarak yang semakin tipis.
Astaga! Demi dewa dewi di laut bikini buthom. Gavin kesurupan apaan si? Kenapa aneh gini? Batin Reya menjerit-jerit karena tak tahan lagi, ia memejamkan mata.
Reya pikir Gavin akan menciumnya, tapi tak terjadi apa pun. Akhrinya Reya membuka kembali matanya, Reya tertegun karena Gavin masih ada di depannya seperti tadi. Cowok itu mendengus geli, menahan tawa sebelum menghancurkan harga diri Reya.
"Lo belum mandi ya? Pantes bau asem," ucap Gavin.
What?
Mata Reya berkedut, emosinya seketika mencuat ke ubun-ubun. "GAVIN NGESELINN!!!"
Reya melotot karena Gavin langsung kabur, dia turun menggunakan tangga. Dan kalian mau tahu apa yang cowok itu lakukan selanjutnya, dia menjulurkan lidahnya sengaja mengejek Reya.
"Yaaaa!! Gaviiiin!!!" teriak Reya. Malam itu suara Reya terdengar begitu lantang.
Tanpa mereka sadari ada Ana dan Rey yang mendengar percakapan mereka, karena sejak tadi keduanya berada di balkon tepat di atas kamar Reya.
"Aku bilang juga apa, Gavin tuh bisa diandelin buat jadi pawangnya Reya," ucap Rey, mengusap bahu Ana yang sejak tadi tampak gusar memikirkan Reya.
Ana mengangguk, tersenyum tipis. "Aku harap Gavin juga bisa merubah Reya."
"Pasti," sahut Rey. "Masuk yuk, nanti kamu sakit." Rey merengkuh bahu Ana, membawanya masuk ke dalam.
