Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Penyelamat

Penyesalan selalu datang terlambat.

Mungkin bagi sebagian orang tindakan Gavin itu bodoh, ia nekad keluar saat jam pelajaran tengah berlangsung. Bukan hanya itu saja, Gavin juga mengelabui satpam sehingga dirinya bisa mengendarai mobilnya keluar dari area sekolahan. Mungkin besok Gavin akan dipanggil ke ruang BK akibat hal ini.

Sepanjang perjalanan, Gavin terus menghubungi Reya berkali-kali tapi tak ada satu pun panggilannya yang diangkat. Semuanya berakhir dengan suara operator yang semakin membuat Gavin dongkol.

Perasaannya berkecamuk, takut, khawatir, cemas dan jengkel bercampur jadi satu. Teriakan Reya di telepon terus terngiang dalam pikirannya, berputar-putar seperti kaset rusak.

Gavin mengendarai mobilnya menuju Lenteng Agung, sesuai dengan GPS yang terlacak dari perangkat milik Reya.

"Reya, angkat!" Gavin menggeram kesal, mencengkram stir mobil sambil terus fokus ke jalanan. "Arrrghhh!!!" Gavin mengacak-ngacak rambutnya, frustasi. Lagi-lagi operator yang menjawab.

Gavin tak putus asa, ia masih menghubungi nomor Reya. Hingga akhirnya ia sampai di depan pasar. Gavin tidak mungkin memaksakan mobilnya masuk, ia kemudian memarkirkannya di depan minimarket.

Gavin menelusuri jalannan pasar yang kumuh, becek dan berbau. Ia tak habis pikir jika Reya akan pergi sejauh ini. Bukankah ada om Reno yang menjaganya? Firasatnya jadi tidak enak, Gavin mempercepat langkahnya hingga ia sampai di gang sempit.

Tanpa ragu Gavin terus berjalanan, sedikit lagi ia sampai di titik GPS. Tapi Gavin tidak menemukan Reya, hanya ada smartwatch-nya yang tergeletak di jalan.

"Sial!" umpat Gavin, mengacak-ngacak rambutnya frustasi.

Pantas saja Reya tak mengangkat teleponnya, ia menjatuhkan smartwatch-nya. Gavin mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu, ia buta arah tak tahu lagi ke mana harus mencari Reya.

Haruskah Gavin telepon om Rey?

Gak!

Gavin gak perlu membuat om Rey kepikiran, lebih baik ia mencarinya sampai ketemu. Gavin kembali berjalan lurus mengikuti jalanan yang begitu sepi. Rumah-rumah yang dilewatinya tampak tak berpenghuni, hingga fokus Gavin tertuju pada rumah kosong yang ada di ujung gang.

Mungkinkah Reya di sana?

Pertanyaan itu melintas dalam pikirannya, tapi Gavin ragu. Masa iya Reya ada di rumah kosong seperti itu, untuk apa?

Tak ingin mati penasaran, Gavin memutuskan untuk mengeceknya. Langkahnya pelan, tampak ragu saat menginjakkan kaki di lantai yang penuh dengan dedaunan dan potongan kayu lapuk.

"Reya," panggil Gavin. "Reya, lo di dalam?" Tak ada suara, hening. Hanya ada suara jangkrik dan cicitan tikus berkeliaran.

Gavin berdecak, merasa bodoh telah mengikuti insting-nya masuk ke rumah kosong. Mana mungkin Reya ada di dalam, cewek tengil itu gak akan sudi menginjakkan kakinya di tempat kotor begini. Gavin berbalik, ia sudah melangkah keluar. Namun suara dari dalam menginterupsi, menghentikan langkahnya yang sudah diambang pintu.

Terdengar seperti sesuatu yang jatuh, tiba-tiba saja ketakutan menyusup ke dada Gavin. Matanya bergerak liar, mengawasi sekitar. Berjaga-jaga seandainya ada seseorang. Suara itu kembali terdengar semakin lantang dan bergema di dalam ruangan.

"Siapa itu?" teriak Gavin.

Gavin merasa jika ada seseorang di dalam. Sayup-sayup terdengar suara rintihan, meski ragu Gavin melangkahkan kakinya masuk ke rumah itu lagi. Ia menuju sumber suara, mata Gavin melebar saat melihat seseorang tergeletak di lantai, dalam keadaan diikat ke kursi dan mulut dilakban.

"Reya." Gavin langsung menghampiri Reya.

Reya terus bergerak, meminta tolong untuk dilepaskan. Mulutnya seakan berkata tapi tak ada suara yang keluar karena dilakban. Beruntung Gavin cekatan, ia membuka lakban dan semua tali yang mengikat tangan dan kaki Reya.

Reya megap-megap ketika lakban di mulutny terbuka, ia bernapas lega. Mengatur napasnya yang memburu, hampir saja Reya mati kelelahan karena terus berteriak.

"Lo kok baru dateng si? Lo gak tahu kalau gue udah ketakutan dari tadi? Mana ada tikus terus berkeliaran di kaki gue? Kalau misal gue mati di sini gimana ...?" Reya mencecar Gavin dengan omelannya.

Gavin mendengus, mengabaikan ocehan Reya yang mengalahkan mulut bu Tejo. "Ayo." Gavin yang sudah beranjak berdiri mengulurkan tangannya untuk membantu Reya bangun.

Reya mendongak, menatap Gavin dengan bibir manyunnya.

"Buruan," tukas Gavin, gemas karena Reya masih duduk di lantai tanpa ada pergerakan untuk bangun. "Lama lo, gue tinggal———"

"Gendong," kata Reya, menyela ucapan Gavin.

"Hah?" Gavin melebarkan matanya. "Gendong?" Reya mengangguk.

"Kaki gue kekilir lagi, berdarah juga." Reya menunjuk darah yang sudah mengering di bagian lututnya.

Sabar, sabar, sabar!

Gavin menghela napas panjang, lalu berjongkok di depan Reya. "Naik."

Reya tersenyum kecil, ia naik ke punggung Gavin. Mengalungkan tangannya ke leher cowok itu. Dalam hati Reya terus mengucap syukur karena Tuhan telah mengabulkan do'anya, mengirim Gavin sebagai penyelamatnya. Andai Gavin tidak datang, entah akan seperti apa jadinya Reya, terkurung sendirian di dalam rumah kosong.

"Makasih," ucap Reya saat keduanya keluar dari rumah kosong.

"Hm." Gavin hanya bergumam.

"Kok lo tahu gue ada di sini?" tanya Reya. Ia tadi sudah pesimis jika tak akan ada orang yang menemukan dirinya di sana, mengingat pemukiman ini jarang ditempati. Terlihat dari beberapa rumah yang dibiarkan kosong dan jalanan yang begitu sepi.

"Insting," jawab Gavin singkat.

"Maksudnya?" Reya mengernyit, tak paham.

"Naluri cowok lebih kuat dari kepekaan cewek."

Kening Reya berkerut, mencoba menganalisa ucapan Gavin barusan. Tapi otaknya seakan tumpul, Reya sama sekali tak paham juga.

"Gak usah dipikirin, gue tahu otak lo gak bakal nyampe," celetuk Gavin, membuyarkan lamunan Reya.

Reya mendengus, mencebikkan bibirnya. Lalu memilih diam, ia meletakkan kepalanya di punggung Gavin. Matanya terpejam sesaat, hari ini begitu melelahkan dan menguras tenaga serta memacu adrenalin. Meski kenyataanya Reya justru jadi bulan-bulannan anak Garuda yang dengan tega menyekapnya di rumah kosong dan meninggalkannya sendiri.

Emang banci!

Reya terkesiap ketika merasakan tubuhnya terhempas, ia membuka matanya ternyata Gavin memindahkan dirinya ke jok mobil bagian depan.

"Lo tunggu sini, gue ke minimarket dulu." Gavin langsung beranjak pergi, namun suara Reya menginterupsi. Membuatnya berhenti dan menolehkan kepalanya. "Apa?"

"Mau mie sama es milo, gue laper," cicit Reya, meringis menahan malu. Pasalnya perut Reya terus berbunyi meraung-raung.

Gavin mendengus geli, ia mengangguk lalu masuk ke dalam. Tak lama ia kembali membawa satu kresek dan satu cup mie di tangannya. Gavin memberikan cup mienya ke Reya.

Tanpa menunggu disuruh Reya langsung menyantapnya, matanya sesekali melirik Gavin yang tengah membersihkan lututnya lalu mengoleskan obat merah dan menempelkan plester di atas lukanya.

"Masih sakit?" tanya Gavin, saat memegang pergelangan kaki Reya yang membiru.

Reya mengangguk, kemudian melebarkan mata ketika Gavin memijit pelan kakinya.

Mampus! Mau mati rasanya. Kenapa Gavin sosweet banget gini si?

Reya terdiam, memandangi Gavin. Sadar akan diperhatikan Gavin mendongak, menaikkan sebelah alisnya.

"Gak usah GR, gue cuma gak mau lo minta gendong lagi dengan alesan kaki lo sakit," celetuk Gavin.

Seketika lamunan indah Reya buyar dalam sekejap mata, kata-kata Gavin terdengar menyebalkan. Reya lupa, jika Gavin salah satu mahluk Tuhan yang sangat-sangat menyebalkan!!

Tapi ganteng, gimana dong?

—————

Rey menghela napasnya, ia jengah melihat Ana terus mondar-mandi di depannya seperti setrikaan konselet. Ana terlihat cemas, bahkan istrinya tanpa sadar terus menggigiti kukunya sejak tadi. Kebiasaan jika Ana sedang panik.

"Ana." Panggilan Rey menghentikan langkah Ana, tapi ia hanya menoleh sekilas dan kembali berjalan ke sana-sini. "Ana!" Suara bariton Rey sukses membuat Ana tersentak, matanya mengerjap-ngerjap saking kagetnya.

Rey menghela napas panjang, menyesal telah membentak Ana barusan. Ia menatap sendu Ana yang masih terlihat syok. "Duduklah," ucap Rey, suaranya merendah.

"Tapi Reya———"

"Ana, Reya gak papa. Dia dalam perjalanan pulang sama Gavin," sela Rey. "Sekarang kamu duduk sini." Rey menepuk sofa di sebelahnya.

Ana mengangguk, ia menurut untuk duduk di samping Rey. Meski Rey sudah memberitahu keadaan Reya baik-baik saja, tetap saja Ana merasa khawatir dan gusar jika belum melihat keadaan Reya dengan mata kepalanya sendiri.

Semua orang panik saat bibi menelepon jika Reya kabur dan om Reno tak sadarkan diri. Ana dan mama Rey yang sedang menghadiri acara amal pun seketika pamit undur diri, Ana langsung mengubungi Rey dan mama Rey menghubungi suaminya.

Rey mengerahkan semua penjaganya untuk mencari Reya, tapi hasilnya nihil. Jelas mereka semua semakin panik dan berpikiran yang tidak-tidak. Bahkan Ana sudah parno jika Reya diculik. Rey yang sudah putus asa akhirnya menghubungi Alvaro, beruntung Alvaro memberitahu jika Gavin membolos. Maka Rey menghubungi Gavin dan dugaannya ternyata benar, Gavin membolos untuk menyelamatkan Reya.

Suara mobil terdengar, refleks Ana bangkit dan berlari ke depan. Menyambut Reya yang turun dari mobil dibantu oleh Gavin.

"Reya."

"Mama." Reya terkesiap ketika Ana menghambur memeluknya.

"Kamu baik-baik aja Nak, apa ada yang sakit? Mana yang luka? Siapa yang ngelakuin ini ke kamu?" cecar Ana, memberondong Reya dengan banyak pertanyaan.

"Reya gak papa Ma." Reya mengulas senyum tipis, menggenggam jemari tangan Ana agar mamanya itu tak perlu khawatir. "Reya baik-baik aja."

Pandangan Reya beralih ke Rey yang berdiri di depannya, ada kakek dan neneknya juga. Bahkan Alvaro dan teman-temannya juga ada. Apa mereka semua mencemaskannya? Sadar sudah membuat semua orang khawatir, Reya menyengir merasa bersalah.

Dan di sinilah ia sekarang, duduk di kursi pesakitan menunggu vonis hukuman dari sang papa. Teman-temannya sudah pulang, tapi keluarga yang lain belum. Mereka semua duduk di sofa ruang tengah, jadi saksi.

"Jadi kamu kasih Om Reno obat tidur?" Reya menyengir, mau mengelak pun percuma. Rey mengusap wajahnya kasar. "Reya, kamu tahu itu bahaya kan? Kenapa kamu ...?" Rey menjambak rambutnya, tak bisa berkata-kata lagi. Batas kesabarannya memaklumi Reya sudah habis.

"Maap," cicit Reya, menunduk merasa bersalah.

"Sekarang kamu masuk ke kamar dan kerjakan semua PR kamu, mulai sekarang kamu gak boleh ke mana-mana tanpa izin dari papa———"

"Tapi Pa ...," protes Reya.

"Gak ada tapi-tapian, sekarang masuk!"

"Rey, jangan kasar begitu," tegur sang mama.

Sementara Ana hanya bisa diam, ia juga sudah lelah menghadapi kenakalan Reya. Ana selalu dibuat cemas, Reya terlalu naif dan suka membahayakan dirinya sendiri.

"Ma, Reya udah gede. Udah saatnya dia belajar dari pengalaman. Gak selamanya Reya bisa bertindak sesuka hatinya. Rey harap Mama sama Papa mengerti kalau Rey lakukan ini demi Reya," ucap Rey.

Reya tertunduk, meremas jemarinya. Entah kenapa hatinya begitu sakit, merasa tertohok dengan ucapan papanya. Reya menyesal, sungguh. Padahal ia sudah berjanji ingin berubah, tapi nyatanya berubah tak semuda bayangannya.

"Maaf kalau Reya cuma ngecewain Papa," ucap Reya, ia beranjak berdiri. Reya memutuskan pergi tanpa menunggu jawaban papanya.

Melihat Reya berjalan tertatih, Gavin dengan sigap membantunya. Disusul Alvaro yang berjalan di belakang keduanya.

"Rey, jangan terlalu keras sama Reya. Dia anak perempuan, hatinya mudah rapuh," ucap papa Rey.

"Bener Rey, mama tahu Reya salah. Tapi cara kamu juga salah, apa mama sama papa dulu memarahi kamu seperti itu saat kamu melakukan kesalahan. Kalau dipikir-pikir kamu lebih parah dari Reya dulu," sahut mamanya.

Rey terdiam, memori otaknya bekerja mengingat kelakuan masa kecilnya. Sepertinya memang benar yang dikatakan mamanya, Rey jauh lebih parah. Tapi orangtuanya tak pernah memarahi atau menghukumnya, sang mama terus bersabar menasehati begitu pun papanya.

Kini Rey merasa bersalah, ia menatap Reya yang sudah masuk ke kamarnya.

Maafkan papa Nak.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel