Boneka
Manusia, hobi menghakimi tanpa mau mencari tahu kebenarannya.
—Reyana S—
Reya baru saja masuk ke kelasnya, ketika rambutnya tiba-tiba ditarik ke belakang.
"Bitch!"
"Aaaa ...!" pekik Reya, ia jelas terkejut. Reya menghempas tangan laknat yang menarik rambutnya, berbalik menghadap pelaku. "Lo gila ya?!" Mata Reya melotot saat tahu siapa yang berani menjambaknya.
Rika!
"Lo yang gila. Bitch!" sarkas Rika, emosinya memuncak sampai ke ubun-ubun.
"Apa lo bilang? Bitch?" Reya jelas terpancing ketika dirinya disebut seperti itu, ia tak terima. Apalagi ini yang bilang Rika. "Wah, cari masalah lo?" Reya mendecih, tersenyum remeh.
"Lo yang cari masalah, lo kan yang nyopot ban motor gue kemarin? Ngaku lo?!" Rika dengan berani mendorong bahu Reya, sampai Reya terdorong mundur.
"Emang lo ada buktinya?" Reya menaikkan sebelah alisnya. "Lo tahu kalau menuduh tanpa bukti jatuhnya pitnes ... pitnah. Hoak!"
"Alah, gak perlu bukti-buktian. Gue tahu, pasti lo kok pelakunya, siapa lagi? Emang ya susah kalau dasarnya bibit, bebet, bobotnya aja udah jelek. Kelakuannya kaya preman kampung!"
"Maksud lo apa?" geram Reya, ia tak suka dengan arah pembicaraan Rika. Mengingatkannya pada oma Revina yang selalu menyinggung masalah bibit, bebet dan bobot. Maka ujung-ujungnya pasti ke latar belakang mamanya.
"Kampungan tahu gak! Ya gak heran, kan nyokap lo emang dari kampung." Rika terkekeh, sengaja mengolok-olok latar belakang mamanya. "Dulunya aja cuma sekretaris ... sekretaris plus plus lagi." Mendengar kata plus-plus jelas mengundang spekulasi negatif, membuat orang-orang berasumsi yang tidak-tidak dan itulah yang kini tengah terjadi.
Reya mengepalkan tangannya, mendengar teman-temannya saling berbisik. Bukan hanya teman sekelas, bahkan anak-anak dari kelas lain yang berkerumun di depan kelasnya pun ikut membicarakan sang mama.
"Jaga mulut lo!" Reya menatap nyalang Rika.
"Kenapa? Gak terima? Emang bener kan, nyokap lo dulu sekretaris ...." Rika memajukan wajahnya ke depan Reya, menyeringai lalu berkata, "Sekretaris plus-plus ...."
Bugh!
Suara pukulan, bersahutan dengan pekikan anak-anak. Rika tersungkur ke lantai, ia meringis menahan sakit di hidungnya. Rika menyeka hidunya yang terus mengeluarkan darah segar.
"Aaaaa!" jerit Rika, ia phobia darah. "Dasar ja*l*ng!" umpat Rika, ia menangis.
Reya tak mampu lagi membendung amarahnya, emosinya meledak-ledak. Membuat Reya spontan ingin menerjang Rika, tapi Gavin datang dan langsung merengkuh tubuh Reya.
"Lepas! Biarin gue habisin dia! Kalau perlu gue lempar dia ke neraka!" teriak Reya, ia terus memberontak. Namun cekalan tangan Gavin di lengannya terlalu kuat.
"Reya, udah," tukas Gavin.
"Lepas, biarin gue geprek tuh mulutnya!" Napas Reya memburu, emosinya meledak-ledak. "Lo boleh maki gue sepuas lo, tapi jangan pernah lo bawa-bawa nyokap gue!!!" teriak Reya, histeris. Ia terus meronta-ronta sampai Gavin kewalahan, beruntung teman-temannya Reya datang membantu.
———————
Reya membuang muka ke samping, enggan menatap bu Siwi yang duduk di depannya. Kini Reya berada di ruang BK, lebih tepatnya ia tengah di sidang karena kejadian tadi pagi.
"Mau kamu apa si Reya? Bukannya baru kemarin ibu kasih kamu hukuman biar jera, tapi kali ini kenapa kamu buat ulah lagi? Yang kamu lakuin itu udah masuk tindakan kriminal!" Bu Siwi tampak geram, emosi yang ia tahan sejak tadi seketika membeludak.
Tapi Reya sama sekali tak menggubris, ia justru memainkan jarinya. Matanya bergerak liar memperhatikan apa pun asal bisa mengalihkan perhatiannya dari ocehan bu Siwi.
"Reya!" Bu Siwi menggebrak meja. "Kamu dengerin saya ngomong gak si?" Terdengar embusan napas kasar dari bu Siwi, karena Reya masih bungkam dan hanya meliriknya sekilas lalu kembali asyik dengan dunianya sendiri.
Brak!
Pintu ruang BK terbuka lebar, seorang pasutri datang dengan wajah tak bersahabat. Tak perlu bertanya, Reya tahu mereka orangtua Rika. Tadi bu Siwi memang menghubungi orangtuanya dan orangtua Rika.
"Mana orangnya, mana yang berani pukul anak saya!"
Reya memutar bola matanya, ia mengorek telinga saat suara cempreng itu masuk ke gendang telinganya.
"Selamat siang Bu, mohon tenang dulu," kata Bu Siwi, menyambut dua orang itu.
"Apa, tenang? Ibu suruh saya tenang, sementara anak saya masuk rumah sakit!" teriak wanita berpakaian glamor ala-ala sosialita.
"Iya, Bu. Saya paham, tapi alangkah baiknya kalau kita bicarakan ini dengan kepala dingin," ucap bu Siwi, mencoba menenangkan mama Rika agar tak emosi.
"Sudah lah Bu, gak perlu berbelit-belit. Mana anak yang pukul hidung anak saya sampai berdarah-darah, biar saya seret ke kantor polisi," tukas papa Rika.
Reya mendecih, menertawakan dua pasangan di depannya. Emang anak sama orangtua sama saja, pikir Reya. Pantas saja Rika mulutnya lemes, turunan emaknya ternyata.
"Apa dia?" Mama Rika menunjuk Reya, menatap nyalang seolah siap menerkam Reya saat ini juga.
"Iya. Kita tunggu———" Bu Siwi tercekat saat melihat mama Rika menerjang Reya tanpa diduga-duga.
"Anak kurang ajar!"
Reya refleks menghindar, ia berdiri saat mama Rika akan memukulnya. Sehingga mama Rika justru terjatuh, menghantam lantai setelah menabrak kursi yang tadi diduduki Reya.
"Aaaarhgg!" erang mama Rika. Sekujur tubuhnya kesakitan.
"Upps, gak kena," ejek Reya.
Bu Siwi melotot, tak habis pikir dengan kelakuan Reya. Dia masih bisa-bisanya cengengesan dalam keadaan seperti ini. Padahal bu Siwi sejak tadi sudah keringat dingin, menghadapi orangtua Rika. Secara orangtua Rika merupakan orang terpandang, papa Rika seorang pengusaha tekstil dan mamanya memiliki butik terkenal langganan para artis.
"Awas kamu!" teriak mama Rika saat dibantu suaminya untuk berdiri. "Saya pastikan kamu masuk penjara!"
Reya mendecih, mengabaikannya. Ia bersandar di dinding, menatap ke pintu sembari bersiul. Tak ada raut ketakutan atau pun penyesalan di wajahnya, Reya terlihat sangat santai seolah tak terjadi apa-apa.
"Bu Siwi, dengar baik-baik. Saya tidak akan pernah berdamai, saya akan tempuh jalur hukum," ucap papa Rika, melirik sinis Reya.
"Benar, kita akan jebloskan anak kurang ajar itu ke penjara!" sahut mama Rika, emosinya masih menggebu-gebu.
"Tapi, Pak, Bu. Kita bisa bicarakan ini terlebih dahulu, kebetulan orangtua Reya sebentar lagi datang ...." Bu Siwi menjeda ucapannya ketika suara ketukan pintu terdengar.
"Selamat siang." Kepala sekolah masuk ke dalam, diikuti dua orang yang berjalan di belakangnya.
"Papa, mama," cicit Reya, melihat orangtuanya datang.
"Oh, jadi ini orangtuanya. Pantes, anak emang gak beda jauh sama orangtuanya." Mama Rika tersenyum sinis, melirik Ana dengan tatapan mencemooh. Penampilan Ana yang terlihat biasa saja hanya mengenakan dress selutut jelas semakin membuat mama Rika mencemoohnya.
"Bu Siska," tegur bu Siwi.
"Emang bener kan Bu, anak itu di mana-mana nurunin sifat orangtuanya. Didikan orangtuanya juga, kalo orangtuanya modelan kaya gitu si, gak heran anaknya kaya berandalan!"
"Ngaca woy, ngaca. Anak sendiri aja belum becus urus, ini sok-sokan ngomentarin anak orang lain," celetuk Reya. Gemas sendiri mendengarkan ocehan mama Rika yang tak ada remnya.
"Lihat! Gak punya sopan santun, gak ada ahlak!" Tunjuk mama Rika, menunjuk Reya yang masih bersandar di pintu. "Gara-gara anak kalian yang berandalan, anak saya masuk rumah sakit!"
Reya mendecih. Padahal Rika cuma mimisan, pukulannya juga gak keras-keras banget. Tapi bu Siwi aja lebay pake dibawa ke rumah sakit segala.
"Saya akan tanggung jawab Bu, semua biaya perawatan anak Ibu biar saya yang tanggung," ucap Rey. "Saya juga selaku papa Reya, saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan anak saya."
"Papa!" hardik Reya, ia tak suka melihat papanya meminta maaf. "Reya gak salah, Papa gak perlu minta maaf."
"Reya," tegur Ana, tapi Reya mengabaikannya.
Mama Rika mendecih. "Susah ya, kalau emang udah didikannya salah. Sama orangtua sendiri aja gak punya sopan santun, emang turunannya————"
"Shut up!" bentak Reya, matanya menatap tajam mama Rika. Kedua tangannya terkepal erat. Semua orang terdiam. "Apa Anda pikir, Anda sudah benar mendidik Rika? Jika didikan orangtuanya benar, maka Rika tidak akan mendapatkan pukulan macam itu!"
"Reya!" tegur Rey dengan suara lantang.
Reya mendecih. Hatinya tiba-tiba nyeri dibentak papanya seperti itu, ini kali pertama papanya berbicara selantang itu padanya.
"Kalian hanya menghakimi saya karena saya membuat Rika terluka, padahal dia cuma luka fisik yang akan sembuh saat mendapat perawatan. Tapi bagaimana dengan saya?" tukas Reya, suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca. "Harusnya kalian lebih mendidik mulut anak kalian, masih untung saya cuma menonjok hidungnya. Bisa kalian bayangkan jika saya mengkoyak mulut anak Anda?" Setelah mengucapkan hal itu, Reya langsung pergi.
Reya berlari menaiki tangga, menuju rooftop, tempat di mana tak ada seorang pun yang akan menghakimi dirinya.
"Aaaaaa ...." teriak Reya saat tiba di atas. "Aaaaa ...!" Napas Reya terengah, air matanya jatuh membasahi pipi. Reya segera menyekanya, ia tak ingin terlihat cengeng.
"Kenapa si semua orang gak mau mengerti? Kenapa mereka cuma bisa menghakimi? Papa juga, kenapa dia tidak tanya dulu sama gue? Kenapa papa malah langsung minta maaf? Aaarggg, ngeselin!" Reya menendang kaleng yang ada di depannya.
"Aaaaw!" Reya terkesiap, ia segera berbalik dan terkejut melihat Gavin berdiri di dekat pintu.
"Gavin!" pekik Reya.
Gavin meringis, mengusap kepalanya yang terkena kaleng. Ia berjalan mendekat ke Reya.
"Ngapain lo ke sini?" tukas Reya, memalingkan wajahnya. Memasang wajah jutek.
Gavin tak menjawab, ia berdiri di samping Reya. Gavin merogoh sesuatu dari saku celananya. "Buat lo." Gavin menyodorkan boneka kelinci berukuran kecil ke Reya, tanpa mengalihkan pandangannya.
"Boneka?" beo Reya. Menatap boneka kelinci berwarna putih dengan dress pink dan pita berwarna senada di telinganya. "Gak ah," tolak Reya, ia tidak suka boneka. Reya bukan Sevi yang akan berjingkrak kegirangan saat mendapat boneka, Reya justru geli melihat boneka.
"Kenapa?" Gavin menoleh, menatap Reya, heran. Biasanya cewek suka boneka, tapi kenapa Reya malah menolak?
"Gue gak suka boneka," jawabnya. Memalingkan wajahnya ke depan.
"Oh, gue gak suruh lo buat suka kok."
"Terus?" Reya mengalihkan perhatiannya ke Gavin yang tengah menatapnya.
"Buat pelampiasan lo." Gavin meraih tangan Reya dan menggenggamkan boneka tadi di tangannya.
"Hah?" Reya bingung dengan maksud Gavin. Pelampiasan? Pelampiasan apa?
"Kalau lo lagi emosi atau kesel sama orang lain, lo pegang boneka ini seerat mungkin. Lo lampiasin semua emosi dan kekesan lo sama boneka ini, anggep aja boneka ini orang yang lo benci," terang Gavin. "Jangan pernah gunain tangan lo buat ngelampiasin emosi lo ke orang lain, jangan bikin tangan lo terluka sia-sia." Gavin mengusap jemari Reya yang tadi ia gunakan untuk menonjok Rika.
Reya terkesiap, terpesona bagai tersihir oleh kata-kata Gavin barusan. Reya terpaku, matanya menatap takjub Gavin.
Ya Allah, mau satu yang kaya gini. Boleh?
