Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Makanan dari Farren

Kintan memerhatikan wajah Keyra yang terlihat agak pucat. Keringat kecil-kecil pun muncul di pelipis perempuan itu. Keanehan itu sudah dia lihat sejak Keyra keluar dari gedung kantornya.

Sepanjang perjalanan pulang, Kintan mencoba untuk menahan diri agar tidak bertanya meskipun dia merasa sangat penasaran.

Dalam perjalanan pulang pun Keyra lebih banyak diam, dan Kintan yang mendominasi percakapan mereka. Barulah setelah mereka sampai di rumah, Kintan berani bertanya kepada Keyra.

"Lo kenapa sih, Key? Dari tadi gue liat lo agak beda gitu, lo sakit?"

Keyra tampak linglung sebentar. Dia menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan kalau Kintan mengajaknya bicara.

"Gue? Ah, gue nggak apa-apa kali. Sebenernya gue lapar."

"Lo belum makan siang?"

Keyra mengangguk pelan.

"Ya, ampun. Di kantor tadi lo nggak makan siang?"

"Hm, nggak makan."

"Kenapa? Kan gue tadi chat lo kalau gue lagi ada tugas ke luar bentar."

"Iya. Gue tau kok."

"Terus kenapa nggak makan siang? Kan, lo bisa makan sama yang lain. Ya, anggap aja lo lagi mengakrabkan diri sama yang lain."

"Nggak apa-apa. Gue masih malu-malu gitu."

"Halah. Sejak kapan lo malu-malu?"

"Sejak kerja di sana."

"Baru juga sehari," cibir Kintan.

"Ya, kan tetep aja, Tan."

"Ya, udah, sekarang lo makan dulu. Kalo lo tepar nanti gue lagi yang repot."

"Iya, tau. Gue paham kok."

"Gue ke kamar dulu. Mau mandi."

"Iya, sana."

Keyra menghela napas lega ketika Kintan beranjak menuju ke dalam kamarnya. Kebohongannya tadi yang mengatakan malu untuk makan siang bersama teman-teman kantor memiliki alasan lain, yaitu mengantisipasi frekuensi bertemunya dia dengan laki-laki itu.

Keyra rela menahan rasa lapar sampai di rumah agar dia tidak bertemu dengan laki-laki itu. Melihat laki-laki itu berkeliaran di sekitarnya saja membuat Keyra ingin sekali menjambak rambutnya.

Namun, Keyra masih cukup sadar diri siapa dia dan siapa laki-laki itu. Melihat dari kumpulannya, Keyra menduga kalau laki-laki itu salah satu petinggi kantor.

Yang Keyra butuhkan saat ini adalah makan, perutnya sudah merengek minta diisi makanan. Keyra memiliki riwayat sakit maag, yang mana sudah kejadian saat dia kelas dua Sekolah Menengah Pertama.

Untuk itu sampai sekarang Keyra selalu menjaga pola makan dan asupan makanannya untuk menghindari kambuhnya penyakit maag tersebut.

"Makan apa ya?"

Keyra membuka tudung nasi, rasa kecewa hinggap dihatinya ketika melihat tidak ada satu pun makanan di meja makan. Keyra sadar, dia hanya tinggal berdua dengan Kintan.

Mereka sama-sama bekerja, yang itu artinya tidak ada yang sempat memasak di rumah.

Di saat seperti inilah Keyra merasa lebih baik tinggal di rumah. Ketika dirinya pulang ke rumah, dan merasa lapar, Keyra tidak perlu kebingungan lantaran tak ada makanan.

Mamanya akan selalu menyiapkan makanan di rumahnya. Atau paling tidak Keyra akan memasak sendiri yang mana bahan makanan sudah tersedia di rumah.

Di sini, Keyra benar-benar harus mandiri. Melakukan semuanya sendiri, tidak bisa hanya mengandalkan orang lain. Meskipun ada Kintan yang bisa dia ajak bekerja sama namun Keyra sadar kalau dia hanya menumpang di rumah ini.

Ketika sedang memeriksa isi kulkas, tiba-tiba pintu rumah diketuk beberapa kali sampai terdengar suara seseorang dari luar. Keyra bergegas membuka pintu dan mendapati seorang kurir pengantar makanan.

"Dengan Mbak Keyra, ya?" tanya kurir laki-laki itu.

"Iya, Mas."

"Ini pesanannya, Mbak. Biayanya sudah dibayar oleh pemesan."

Keyra menerima dua kotak makanan yang harumnya langsung menyentil hidung Keyra. Seketika perutnya bergemuruh hebat, dia berharap kurir laki-laki itu tidak mendengar suara perutnya.

"Oh, yang pesan atas nama Kintan bukan, Mas?"

"Bukan, Mbak."

Tangan Keyra yang sedang sibuk membuka isi kotak terhenti seketika. "Lho, jadi bukan atas nama Kintan? Terus siapa yang pesan? Saya nggak pesan makanan, Mas. Mungkin Mas salah alamat."

"Benar, Mbak. Saya antar makanan untuk Mbak Keyra. Pemesannya atas nama Mas Farren."

Keyra melotot. "Siapa?!"

"Mas Farren Argadinata, Mbak."

"Lho. Kok bisa?"

Kurir tersebut mengernyit bingung. "Bisa apanya, Mbak?"

"Kenapa dia kirim makan ke sini?"

"Saya tidak tahu, Mbak."

"Tapi, kan seharusnya Mas jangan mau disuruh antar makanan pesanan dia."

"Lho?"

Kini gantian kurir tersebut yang kebingungan. Tugasnya hanya mengantar pesanan, dan sudah bukan menjadi tugasnya untuk mengetahui tujuan si pemesan makanan selain mengantarkan makanan ke pelanggan.

"Ya, udah. Daripada saya pusing, saya terima saja."

—0—

Kintan yang sudah selesai mandi langsung menuju dapur. Rupanya dia sama lapar dengan Keyra, begitu mencium aroma makanan perutnya langsung berbunyi.

"Wih, makanan lezat nih."

Keyra mengangguk. Dia menyodorkan satu kotak makanan kepada Kintan.

"Gila. Makanan mahal ini mah. Dari tampilannya aja udah beda gini."

"Mahal gimana, kurirnya nggak bilang tuh."

"Emang harus bilang kalau ini makanan mahal?"

"Lah, terus maksud lo gimana?"

"Ya, nggak gimana-gimana sih. Maksud gue makanan ini dari restoran mahal."

"Sama ajalah, yang penting makanan."

"Habis berapa ribu?"

"Nggak tau."

Kintan mengernyit bingung. "Lho, kok nggak tau? Kan lo yang pesen."

Keyra gelagapan. "I-iya, maksud gue berapa totalnya gue nggak tau. Gue kasih aja seratus ribu, sisanya buat kurir."

"Eh, makanan mahal begini mana cukup seratus ribu?"

"Ma-maksud gue dua ratus ribu."

"Temen gue dulu beli di restoran yang sama, bentuknya kayak gini persis harganya tiga ratusan. Itu pun pas lagi promo."

"Memang harganya tiga ratus ribu kok. Lagi promo jadi harganya dua ratus ribu."

"Serius?"

"Ho-oh."

"Ya, udah. Ayo makan. Gue lapar banget."

"Dari tadi kan udah gue suruh makan. Lo malah kebanyakan tanya."

Kintan mendesah pelan. "Lagian lo beli makan kok mahal banget padahal lo baru masuk kerja. Key, harusnya lo mulai hemat."

"Iya. Ini kan cuma coba aja."

"Gila lo."

Keyra tak menjawab, dia sudah mulai membuka kotak makanan itu. Menurut Keyra, kotaknya memang terlihat mewah tapi isinya sama saja. Hm, mungkin rasanya lebih lezat daripada makanan yang biasa Keyra beli di pinggir jalan.

Baru dua suapan dia makan, tiba-tiba terdengar suara ponselnya. Melihat siapa yang menelepon, Keyra mencoba untuk mengabaikan saja. Tak enak juga dia menjawab telepon disaat Kintan berada di dekatnya.

"Angkat dulu," ucap Kintan, "telepon dari siapa?"

"Dari mama," bohong Keyra.

"Terima dulu."

Akhirnya mau tak mau Keyra menjawab panggilan teleponnya.

"Udah makan, Baby?"

"Lagi makan," jawab Keyra pendek.

"Oh, gue kira udah selesai. Makanya gue baru telepon sekarang karena gue nggak mau ganggu lo makan."

"Hm."

"Enak makanannya?"

"Lumayan."

"Mau gue pesenin lagi lain kali?"

"Nggak perlu."

"Oh, gitu. Atau lo mau gue bawa langsung ke restorannya? Biasanya Chef Zio yang masak begitu tau gue datang."

"Siapa dia?"

"Chef Zio. Lo nggak tau? Orangnya sering muncul di TV lho."

"Oh, nggak tau."

"Makanan yang lo makan juga dia yang masak. Padahal nggak sembarangan orang bisa makan masakan dia lho."

"Oh."

"Lain kali gue ajak ke sana, mau nggak?"

"Nggak usah."

"Nggak apa-apa. Gue seneng banget karena lo mau makan makanan yang gue pesen. Gue pikir bakal lo buang itu makanannya."

"Sayang banget kalau dibuang."

"Ya, gue tau. Kan, nggak semua orang bisa makan setiap harinya. Kita seharusnya bersyukur karena masih bisa makan tiga kali sehari."

Keyra termangu di tempatnya. Ucapan Farren benar-benar menyentuh hatinya. Dia tidak menyangka laki-laki seperti Farren masih peduli terhadap sesama.

Lagi-lagi Keyra jatuh pada pesona yang lain dari seorang Farren Argadinata.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel