Bab 8 Black Card
Selama perjalanan pulang ke apartemen, mereka berjalan kaki dengan sedikit keheningan, karena Evan terus menutup rapat bibirnya, diam tanpa bersuara.
Ucapan dari seorang pria di dalam mini market tadi sangat mengejutkan dirinya.
Bagaimana tidak? Pria itu mengatakan bahwa 'tidak melihat Aurel di dalam klub?'
Mengapa dia mengatakan hal itu? Apa Aurel sama seperti Shira? Bekerja di klub malam?
Evan tahu, tadi Shira berpamitan untuk pergi bekerja. Ia juga tahu, dia bekerja di klub malam. Tapi Evan tidak tahu bahwa Aurel juga sama!
Tidak bisa menahan lagi, akhirnya Evan menghentikan langkah Aurel, ia bertanya, "Apa kau juga bekerja di tempat Shira?"
Aurel tidak merasa bersalah ataupun tidak nyaman ketika Edward dengan sengaja mengatakan hal itu di depan Evan. Aurel sama sekali tidak perduli Evan akan marah ataupun tidak jika mengetahui dirinya bekerja di klub malam.
Dia juga tidak punya hak untuk marah kan?
Dengan datar, Aurel menjawab, "Iya, setiap malam aku bekerja di klub malam bersama Shira. Jika tidak? Dari mana aku mendapatkan uang untuk makan? Sejak aku pergi dari rumah, Ayah tidak lagi memberiku uang." Selama kabur dari rumah, hidupnya sangat kesusahan. Untung saja, Shira membawanya bekerja di tempat dia bekerja. Jika tidak? Mungkin dirinya sekarang sudah mati kelaparan.
Evan mendengarnya, ia sedikit mengerutkan kening menatap Aurel. Ia tidak menyangka, kehidupan Aurel di kota A ternyata seperti ini.
Pantas saja, selama satu tahun ini dia pergi dari rumah. Tidak ada kabar sama sekali. Ternyata, hidupnya penuh dengan warna. Dia tidak kekurangan uang, juga tidak kekurangan kebahagiaan. Bahkan juga tidak kekurangan pria!
Evan memegang tangan Aurel. Ia menunduk semakin dekat, menatap Aurel dengan tajam, "Hanya demi uang kau bekerja di tempat seperti itu?"
Klub Malam bukan tempat yang baik untuk seorang gadis, apalagi sampai bekerja di sana.
Evan tidak bisa menahan emosinya. Wanita yang selama ini ia tunggu, ternyata tidak menjaga dirinya dengan baik.
"Jika kau membutuhkan uang, mengapa tidak menghubungiku?" Jika dia butuh uang, maka Evan akan memberinya, berapapun itu. Tidak perlu merendahkan diri dan bekerja di tempat seperti itu.
Jelas Evan sangat kecewa.
"Awh ... Evan sakit! Lepaskan tanganmu!" Aurel merasakan sakit di pergelangan tangannya karena tenaga Evan yang cukup kuat.
"Aku ... aku hanya bekerja sebagai pelayan di sana. Apa itu salah?" Aurel masih berusaha melepaskan genggaman tangan Evan.
'Jika aku butuh uang, mengapa harus menghubungi Evan? Bukankah selama ini aku kabur dari rumah untuk menghindari dia?' Aurel berbicara sendiri. Ia tidak berani untuk mengatakannya kepada Evan.
"Jelas, itu salah!" Evan membentak. "Jika sampai Ayahmu tahu, apa yang akan dia lakukan kepadamu? Anak gadisnya bekerja di klub malam! Mungkin, dia akan segera membawamu pulang ke kota D secara paksa."
Evan tahu, Jhoni termasuk keluarga terpandang di kota D. Jika mengetahui anaknya di kota A bekerja di klub malam, dia pasti akan sangat marah. Dia tidak akan membiarkan orang lain tahu dan memandang rendah dirinya karena kelakuan putrinya. Jhoni pasti akan bertindak tegas.
"Tidak! Jangan memberitahu Ayah!" Aurel memohon. Ia khawatir jika sampai Jhoni tahu dirinya bekerja di klub malam, dia akan marah lagi dan bahkan akan segera mengusirnya.
"Aku hanya bekerja, tidak pernah melakukan hal yang memalukan. Aku juga masih memiliki prinsip, tidak akan menjual tubuhku demi uang!" Selama ini, demi menjaga kesuciannya tetap utuh, Aurel terus mengatur cara untuk menghindari para pria hidung belang yang selalu menginginkan dirinya.
Ya ... walau pada akhirnya, dirinya tidak bisa menghindar saat Stefan terus memancingnya dengan sentuhan-sentuhan yang mampu membuat dirinya melayang dan terbang ke awan.
"Benarkah?" Evan sedikit ragu. Masih adakah wanita pekerja klub malam yang masih bersih?
Aurel segera mengangguk. Ia tidak ingin membuat Evan salah faham. Lebih tepatnya, Aurel tidak ingin Evan mengatakan hal ini kepada Jhoni. Itu yang lebih ia takutkan daripada Evan yang salah faham kepada dirinya.
Evan melepaskan Aurel. Kini tatapannya kembali lembut seperti sebelumnya. "Jangan bekerja di sana lagi!"
Aurel sedikit ragu dengan permintaannya, "Aku masih membutuhkan uang untuk bertahan hidup!"
Ya, jika dirinya tidak bekerja? Bagaimana dirinya bisa makan? Dari Shira? Itu tidak mungkin!
Shira sendiri, bekerja setiap hari hanya untuk bisa membiayai hidup ibu dan adiknya di kota D. Dia tidak seperti Aurel yang hidup dalam keluarga yang berkecukupan.
Shira terlahir dari keluarga sederhana. Ayahnya sudah lama meninggal dan ibunya tidak bekerja. Jadi sekarang, dia lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Membiayai ibu dan adik laki-lakinya yang masih kuliah.
"Pakai ini!" Tiba-tiba Evan memberikan sebuah Black Card kepada Aurel. "Gunakan sesukamu!"
"Hah? Apa ini?" Aurel terbodoh sejenak.
Ia tahu, itu adalah sebuah kartu yang sangat berharga. Kartu Bank yang tidak memiliki batas penggunaan.
"Tidak .... Jangan! Aku bisa mencari pekerjaan di tempat lain. Kau simpan kembali, ini." Aurel mengembalikan kartu itu kepada Evan.
Dirinya tidak mungkin menerima benda itu. Ia tahu, kartu berwarna hitam itu adalah kartu kredit yang menunjukan status sosial seseorang. Bahkan tidak semua orang bisa memilikinya dengan mudah, karena hanya dapat digunakan oleh 0,05% orang kalangan atas. Banyak persyaratan yang mesti dipenuhi dan dipilih secara khusus melalui undangan.
Selain itu, kartu kredit para miliader ini hanya bisa dipegang oleh orang-orang yang berpenghasilan mencapai Rp2,4 miliar setiap tahunnya.
Evan sangat lah mungkin memiliki kartu seperti ini. Bukan hanya karena dirinya anak seorang Erik Roland, Direktur dari perusahaan Eleswim AT. Tapi dia juga menjabat sebagai wakil Direktur di perusahaan tersebut.
Evan kembali memberikan kartu itu kepada Aurel. Bahkan dengan berani ia memasukannya sendiri ke dalam kantong celana Aurel.
"Pakailah! Jangan menolak!" Evan tidak membiarkan Aurel untuk menolak lagi. Ia segera menarik Aurel untuk berjalan kembali.
"Tapi .... " Aurel masih ragu.
"Tidak ada tapi-tapian! Ayo kita pulang!" Evan masih memegang tangannya. menarik Aurel dengan sedikit tenaga.
Aurel mengikuti langkah Evan sambil terus berpikir.
*
Keesokan harinya, Aurel membawa Evan untuk pergi ke Klub Jingga tempat ia dan Shira bekerja. Shira segera membawa Evan ke sebuah meja yang ada di pojok ruangan ketika Aurel sedang pergi ke ruangan Kak Wang.
Malam ini, Aurel berencana untuk memberi tahu Kak Wang bahwa dirinya tidak bisa lagi bekerja di tempatnya.
Kak wang jelas keberatan. Ia sangat membutuhkan Aurel di tempatnya.
"Aku sudah membicarakannya dengan Shira. Kau bisa bekerja dengan tenang tanpa harus takut apapun. Aku akan meminta bawahanku untuk mengawasimu. Jadi kau bisa bekerja dengan tenang!"
Kak Wang duduk di kursi kulit kebanggaannya dengan nyaman, sambil memegang satu batang rokok di sela jari-jarinya. Kursi itu terlihat bergerak ke kiri dan kanan sesuai gerakan dari Kak Wang sendiri.
Di ruangan yang sedikit redup itu, terlihat asap putih yang terus keluar dari mulut Kak Wang, membuat Aurel sedikit terbatuk-batuk karena sebuah asap yang terus masuk melalui hidungnya.
Uhuk! Uhuk! Uhuk!
Aurel dengan pelan menjelaskan, "Bukan itu! Aku tidak bisa bekerja lagi karena Ayah memintaku untuk kembali pulang ke kota D."
Aurel terpaksa berbohong. Jika tidak memberikan alasan ini, ia khawatir Kak Wang akan terus mempersulit dirinya.
"Pulang?" Kak wang bertanya
