Bab 8
Happy Reading !!!
***
“Ck, betah banget, sih, Pi di sana,” Salvia berdecak sebal saat sang orang tua yang beberapa menit lalu menghubunginya meminta maaf mengenai kepulangannya yang belum bisa dipastikan.
“Di sini enak, Sal. Kayaknya Papi mau pindah rumah aja, deh,” sahutnya dengan kekehan yang membuat Salvia semakin cemberut.
“Terus aku gimana? Aku gak mau pindah, Pi! Gak paham bahasanya,” rengek Salvia menggeleng tegas, meski sadar sang ayah yang berada di seberang sana tidak dapat melihatnya, mengingat panggilan yang mereka lakukan bukan call video.
“Ya, belajar dong, sayang. Lagi pula Papi gak akan ajak-ajak kamu. Papi mau tinggal bertiga aja sama Mama dan calon adik kamu.”
“Ihh, Papi kok jahat! Terus aku sama siapa di sini?”
“Sendiri aja. Kamu ‘kan udah besar.”
“Gak mau!” tolaknya cepat, menghadirkan tawa di seberang sana yang membuat Salvia bertambah kesal. “Aku gak mau di tinggal sendiri. Lagian memangnya Papi gak khawatir sama aku?”
“Nggak dong. Anak papi ‘kan hebat. Bisa bela diri. Yang ada Papi khawatir sama orang-orang yang coba jahatin kamu, mereka pasti babak belur,” ujarnya kembali tertawa. Sementara Salvia semakin memajukan bibirnya.
“Nanti kalau aku macam-macam gimana?”
“Ya, biarin, yang tanggung resikonya juga ‘kan kamu,” jawabnya dengan suara yang tenang. “Anak papi sudah besar, sudah dewasa, Papi yakin kamu tahu mana yang baik dan mana yang enggak. Papi membebaskan kamu bukan karena Papi gak sayang, tapi karena Papi tidak mau kamu merasa terkekang. Tapi papi cuma berpesan sama kamu, jaga diri, jangan sampai terluka. karena jika sampai itu terjadi, Papi gak akan pernah bisa maafin diri Papi sendiri. Kamu paham ‘kan, sayang?”
Dengan mata berkaca, Salvia menganggukkan kepalanya. Amat paham dengan apa yang ayahnya itu maksudkan. “Makasi, Papi,” ucap Salvia begitu tulus, dan jawaban yang diberikan dari seberang teleponnya tak kalah tulusnya, membuat senyum Salvia kembali terukir, dan obrolan mengenai kegiatan Salvia di sekolah menjadi pembahasan selanjutnya. Sampai akhirnya tanya mengenai keberadaan Devan diloloskan ayahnya, yang membuat Salvia segera melirik ke arah sampingnya, arah di mana Devan berada, sibuk dengan laptopnya seperti biasa.
“Uncle Devan lagi sibuk sama kerjaannya,” jawab Salvia diiringi dengusan kesal. “Ini nih yang bikin aku kangen Papi. Uncle Devan orangnya gak asyik!”
“Gak asyik gimana?”
“Ya, gak asyik lah pokoknya, Pi. Uncle Devan juga nyebelin. Pulang sekolah telat di omelin. Dugem gak di bolehin. Padahal Papi gak pernah tuh larang-larang aku,” adunya seraya melirik Devan yang mulai mengalihkan atensinya dari layar datar di depannya. “Papi justru selalu senang kalau aku banyak kumpul sama teman-teman,”
“Iya lah itu kan supaya kamu bersosialisasi. Kumpul dengan teman-teman itu banyak manfaatnya. Obrolan yang terjalin memang kadang random dan nyaris tidak berbobot, tapi kelak kita akan sadar bahwa ternyata apa yang pernah kita bahas di masa lalu sebagai candaan amat bermanfaat untuk kehidupan di masa depan. Selain itu, kita juga jadi pandai berkomunikasi. Pembendaharaan kata semakin bertambah, dan apa yang semula kita tidak tahu jadi tahu. Dari obrolan yang tidak penting menghasilkan sesuatu yang berguna meskipun kita tidak menyadarinya.”
“Nah itu. Tapi pemikiran Uncle gak seterbuka Papi. Uncle Devan terlalu kaku. Gak asyik!” sebuah delikan kembali Salvia berikan pada Devan yang setia mendengarkan dengan mata mendelik tajam seakan tak suka dengan apa yang Salvia utarakan. Sementara sosok yang masih tersambung di telepon kembali tertawa, menertawakan kekesalan Salvia yang merasakan hidupnya tidak sebebas saat ada orang tuanya.
“Mungkin Uncle merasa bertanggung jawab, mengingat Papi sama Mama menitipkan kamu sama dia. Uncle takut tersalahkan jika ada apa-apa sama kamu.”
“Tapi Papi gak mungkin ngelakuin itu ‘kan?”
“Tergantung,” responsnya singkat, membuat Salvia kembali meloloskan dengusannya.
“Ck, nyebelin!”
“Becanda sayang. Ya udah ah, Papi tutup teleponnya ya, Sayang. di sana udah malam ‘kan? Kamu harus istirahat. Papi juga masih harus balik kerja. Kamu jangan nakalin Uncle-nya, nanti dia minggat.”
“Ish, jahat banget sih Pi! Lagian Papi tahu dari mana kalau aku suka nakalin Uncle?”
“Gak perlu ada yang ngadu untuk tahu hal itu, Sayang. Papi hapal bagaimana tingkah kamu!”
Salvia terkekeh mendengar kalimat orang tuanya. Papinya memang begitu mengenal dirinya, membuat Salvia beruntung memiliki pria hebat semacam ayahnya. Yang tak hanya bisa berperan sebagai orang tua, tapi juga mampu menjadi sahabat juga kakak untuknya. “Ya abis gimana dong, Pi. Aku tuh gak bisa diam aja kalau udah lihat Uncle Devan. Pengen nakalin dia terus. Apalagi kalau mode gak mau diganggunya lagi dalam keadaan on. Delikannya yang tajam malah semakin terlihat menggemaskan. Aku jadi pengen banget masukin Uncle Devan ke microwave, biar anget.”
“Ada-ada aja sih kamu itu, Sal!” gemas sosok di seberang telepon. Yang Salvia balas dengan kekehannya. “Ya udah deh, ya. Papi tutup teleponnya, kapan-kapan Papi telepon lagi. Kamu jangan terlalu keras belajar, sesekali lihat dunia luar agar kamu tahu artinya kehidupan. Tapi jangan lupa izin Uncle kamu dulu, jangan buat dia khawatir.”
“Papi mah aneh, orang tua lain pengen anaknya diam di rumah, belajar biar pintar. Papi malah nyuruh aku keluyuran!”
“Kamu sudah pintar tanpa harus terus-terusan belajar, Sal. Lagi pula kamu tidak perlu jenius untuk menjadi sosok yang berguna. Setiap orang ada porsinya masing-masing. Lagi pula, Papi gak mau kamu stres jika harus terus-terusan belajar. Semampunya saja, Nak. Karena sejak lahir ke dunia pun kamu sudah membanggakan untuk Papi.”
“Uh, sweet banget, sih, Papi-nya Salvia. Jadi makin cinta deh,”
“Love you too, sayang. Kalau begitu Papi tutup, ya? Bye, Sayangnya Papi.”
“Bye-bye Papi. Salam buat Mama, bilangin Salvia tunggu kepulangannya. Kangen belanja bareng Mama. Salamin juga sama dede bayi di perut Mama, kakaknya udah gak sabar pengen ajak main.”
Dan begitu sahutan diberikan sang ayah, Salvia langsung mematikan teleponnya dan menjatuhkan tubuhnya ke sofa yang di duduki. Melirik Devan yang masih saja sibuk dengan laptopnya.
“Gak cape apa Uncle kerja terus? Perasaan selama ini Papi gak pernah deh bawa kerjaannya ke rumah. Menurut Papi, rumah itu tempatnya istirahat, santai, kumpul sama keluarga. Bukan urusin pekerjaan!” sindir Salvia.
“Itu Papi kamu, bukan Uncle.”
“Yang jadi istri Uncle nanti pasti bosan punya suami kayak Uncle.”
“Kenapa begitu?” lirik Devan, menatap Salvia dengan sebelah alis terangkat.
“Istri Uncle nanti akan merasa terabaikan karena Uncle lebih peduli sama kerjaan. Aku mah ogah punya suami kayak gitu. Tiap hari pasti makan hati!”
“Tetap makan nasi lah. Uang Uncle banyak! Bebas mau pilih apa aja.” Bantah Devan cepat.
“Uang Uncle akan percuma saat sebuah perhatian yang lebih dibutuhkan.”
“Ya, tapi Uncle juga ‘kan belum tentu terus sibuk seperti ini kalau udah nikah nanti. Mungkin aja Uncle berubah jadi lebih sayang keluarga. Sekarang karena belum ada seseorang yang merepotkan saja Uncle memilih untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan.”
“Baguslah, kalau memang seperti itu. Sekarang Uncle udahan kerja, ya, karena aku pengen ngerepotin Uncle dulu. Perut aku lapar, pengen makan,” rengek Salvia dengan raut wajah manja.
“Bukannya kita baru selesai makan malam?” mata Devan melirik ke arah jam di pergelangan tangannya, memastikan bahwa waktu yang telah terlewati memang belum selama itu, hingga membuat Salvia sudah lapar kembali.
“Tadi aku makannya dikit. Gak terlalu berselera. Aku pengen makan sate,”
“Kenapa tidak pesan antar saja?”
Salvia menggeleng dengan cepat. “Biar sekalian jalan-jalan. Ini malam minggu, Uncle, besok libur.”
“Besok Uncle tetap kerja.”
“No! Uncle harus temani aku nonton.”
“Kapan kamu bilang?” karena Devan ingat bahwa ia memang tidak memiliki janji apa pun pada Salvia.
“Barusan. Pokoknya Uncle gak boleh kerja! Titik.” tegas Salvia dengan mata menyorot tajam.
“Ck, seenaknya!” cibir Devan seraya kembali membalikkan tubuhnya menghadap laptop. Bukan untuk melanjutkan pekerjaan, tapi menyudahinya. Karena Devan tahu Salvia yang keras kepala dan seenaknya itu tidak akan membuatnya tenang sebelum keinginannya di laksanakan.
***
see you next part!!
