2. Guntur Bumi
"Kamu dari mana saja?" Tanya Guntur pada Rain yang tengah duduk di depan komputer meja kerjanya, tengah diam sembari menatap kosong ke arah komputer yang baru saja ia nyalakan namun belum melakukan apapun. Rain masih terpukul atas apa yang terjadi padanya.
Rain yang mendengar suara Guntur langsung menoleh lalu bangkit dari duduknya dan berhadapan langsung dengan sang bos.
"Saya dari rumah sakit, pak." Jawab Rain dengan ramah.
"Kamu sakit parah?" Tanya Guntur lagi, terdengar sangat dingin namun aslinya memiliki sifat khawatir yang cukup berlebih. Ia berharap Rain hanya meriang atau hanya kekurangan darah ringan, bukan penyakit yang parah.
Rain tersenyum kecil sebelum akhirnya menjawab. "Tidak, kalau saya sakit parah, tidak mungkin kembali ke kantor untuk bekerja. Hanya meriang." Jawab Rain dengan berbohong. Entah kenapa, kalimat bohongnya barusan justru semakin membuatnya terpuruk, ia merasa seperti orang paling menyedihkan di dunia.
"Syukur kalau cuma meriang saja." Lega Guntur dengan bahagia, tanpa sadar ia tersenyum manis sembari menatap wajah Rain yang tampak kelelahan. Benar kata Anton, mungkin sebaiknya ia cepat melamar Rain supaya gadis itu di rumah saja, bersantai, menghabiskan uangnya, memberikan semua kasih sayangnya padanya, dan menunggunya pulang bekerja. Itu adalah pekerjaan yang sangat cocok untuk Rain, tidak bekerja keras sampai sakit begini.
Guntur merasa ada yang berbeda, ia melirik ke sekelilingnya, saat ini dirinya tengah di tatap oleh semua karyawan yang berada di dalam ruangan, mereka mulai berbisik pelan dan itu membuatnya sangat penasaran. Apa karena senyumnya barusan terhadap Rain? Mereka tahu ia menyukai Rain?
"Rain!" Panggil Guntur dengan tegas, membuat Rain tersentak kaget di buatnya. "Naskah milik penulis Blueswan sudah kamu selesaikan semua editing dan layout-nya?"
"Belum pak."
"Kerjakan segera, naskah itu sudah satu Minggu kamu tangani. Belum juga selesai? Bagaimana kamu mau menyelesaikan novel yang lain kalau novel satu aja seminggu gak selesai-selesai?" Omel Guntur pada Rain, ini ia lakukan untuk menjaga image di depan semua karyawan. Ia tidak mau mereka tahu kalau ia menyukai Rain. Bukan malu, tapi lebih ke seharusnya Rain yang tahu terlebih dahulu dari pada mereka.
"Maaf pak, tapi seminggu ini saya juga mengerjakan layout untuk naskah yang lain. Lagi pula, naskah milik penulis Blueswan rilisnya masih lama, mungkin tiga bulan lagi. Jadi, saya memutuskan untuk mengerjakan naskah yang lain terlebih dahulu."
"Gak bisa begitu, selesaikan naskah milik Blueswan terlebih dahulu. Asal kamu tahu ya, novel itu di tunggu banyak penggemar Blueswan, dan saya ingin novel tersebut selesai semua editing dan layout-nya dalam waktu satu Minggu. Novelnya harus segera rilis, saya akan atur jadwal ulang untuk perilisannya. Kamu mengerti?"
"Satu Minggu?" Tanya Rain semakin tertekan. "Tapi pak, naskah milik Blueswan ada 700 halaman, itu banyak banget pak. Kalau dalam seminggu harus kelar semua editing dan layout, saya kira, saya gak mampu."
"Itu urusan kamu, saya mau dalam seminggu semuanya selesai. Mengerti?!"
Rain menghela nafas berat, cobaan macam apa lagi ini?
"Kenapa diam?"
"Baik pak."
Usai mendengar jawaban Rain barusan, Guntur langsung berjalan meninggalkan Rain sembari melirik sekitar, mereka semua tampak diam melihatnya bersikap tegas, dengan begitu, mereka tidak akan tahu bagaimana perasaannya terhadap Rain.
"Fiuh." Hela Guntur dengan lega usai sampai di ruangannya, duduk dengan manis sembari menatap ke arah luar jendela. Tempat kerjanya berada di lantai 20, jadi ia bisa melihat bagaimana pemandangan di bawah sana yang tengah macet.
"Lo gimana sih? Kenapa Lo ngamuk Rain?" Amel datang lalu mengomel sembari melipat ke dua tangannya di dada.
Anton menatap ke arah Guntur, lalu mengangguk pelan, ia setuju dengan Amel.
"Lo itu sebenarnya suka beneran gak sih sama Rain? Kenapa Lo garang banget sama dia?" Cerocos Amel dengan sebal.
"Gini ya pak, kayaknya bapak terlalu berlebihan tadi. Rain masih dalam kondisi yang belum stabil, dia sakit pak. Masa bapak kasih kerjaan yang berat buat dia. Kan kasihan." Imbuh Anton ikut nimbrung.
"Tujuh ratus halaman dalam seminggu buat editing dan layout? Gila sih Lo," maki Amel pada saudaranya. "Lagi pula, buat apa novel karyanya Blueswan harus rilis segera? Lo tahu gak sih, tuh novel cuma banyak halaman tapi ceritanya sama sekali gak menarik. Basi. Di aplikasi baca online aja, cuma dapat puluhan ribu pembaca. Dan pembaca mengklaim bahwa buku itu membosankan."
"Tujuh ratus halaman dalam seminggu itu berat loh pak? Gak kasihan?" Sambung Anton lagi.
Guntur memegangi kepalanya yang mendadak pening, kalau di pikir lagi, benar yang di katakan oleh Amel dan Anton. Kasihan pujaan hatinya.
"Jadi gak sih, Lo suka sama Rain?" Tanya Amel memastikan.
"Aku udah suka sama dia tiga tahun. Sampai sekarang masih suka, malahan makin suka." Jawab Guntur pada akhirnya.
"Terus kenapa kasih pekerjaan yang berat? Seolah-olah itu kayak Lo gak suka sama dia."
"Aku hanya terbawa suasana. Karyawan lain natap aku sambil gosip. Mereka mungkin berpikiran aku menyukai Rain karena perhatian sama dia."
"Sejak kapan Lo perhatian sama dia?" Tanya Amel dengan penasaran, pergerakan saja tidak ada, sejak kapan ada perhatian.
"Tadi barusan, tanya kabar dia. Sakit parah atau enggak?"
"Itu bukan perhatian, tapi pertanyaan!" Amuk Amel pada Guntur. "Emang kenapa kalau karyawan lain tahu kalau sebenarnya Lo suka sama Rain? Ada masalah?"
"Aku---,"
"Bapak malu, ya?" Tanya Anton dengan cepat usai kalimat Guntur menggantung.
"Kenapa harus malu? Rain itu cantik, berbakat, pintar dan juga manis. Lo malu punya pasangan kayak dia? Ngapain Lo taksir?"
"Aku gak malu karena Rain, malu karena sikapku aja."
"Mendingan mundur aja deh, kalau Lo gak punya nyali. Kalau emang Lo suka beneran sama Rain, buktikan. Kalau perlu, tunjukkan ke semua orang kalau Lo sayang sama dia."
"Ngapain harus malu? Pecundang Lo."
"Jangan mengatai ku begitu." Tegur Guntur pada Amel yang tengah berjalan keluar dari ruangannya.
"Jadi, aku salah?" Tanya Guntur pada Anton.
"Salah besar."
"Lalu bagaimana?"
"Bisa jadi Rain mungkin mulai membenci bapak sekarang."
"Kenapa begitu?" Panik Guntur sembari menggebrak meja cukup kuat dan bangkit dari duduknya.
"Bapak bersikap menyebalkan di depannya, memberinya kerjaan berat cuma untuknya. Emang bapak pernah kasih pekerjaan yang berat terhadap karyawan lain? Baru kali ini saja pak, sama Rain aja. Apalagi Rain sedang gak enak badan."
"Berarti, aku jahat di mata Rain?" Gumam Guntur dengan lirih.
"Iya, bisa jadi."
"TIDAK!"
-
Mungkin ini bukan hari keberuntungan Rain, pagi tadi mobilnya masuk bengkel, dan sekarang ia harus menunggu taxi karena ponselnya kehabisan daya untuk memesan taxi online atau grab. Sebenarnya ia bisa saja masuk kembali ke kantor untuk mengisi daya ponselnya, tapi ia malas, jadi ia tunggu saja taxi lewat di halte dekat kantor.
Tin.
Sebuah mobil berhenti tepat di hadapannya lalu membunyikan klakson, Rain yang awalnya memberengut kesal makin di buat lemas usai melihat siapa pengemudi mobil tersebut.
"Masuk." Titah Dokter Rendra pada Rain.
Dengan helaan nafas yang berat, Rain mulai berjalan masuk ke dalam mobil, dan tanpa sepengetahuan Rain, ia baru saja di potret oleh Amel saat masuk ke dalam mobil milik Dokter Rendra lalu foto tersebut di kirim ke Guntur supaya melihat jika ada pria lain yang tengah dekat dengan Rain saat ini.
"Di mana mobilmu?" Tanya Dokter Rendra sembari menyetir.
"Bengkel." Jawab Rain dengan lemas.
"Capek ya?"
"Lebih tepatnya lagi, takut." Balas Rain dengan cepat.
"Takut apa?"
"Menurut Lo?"
Dokter Rendra meliriknya sebentar sebelum akhirnya kembali fokus menyetir. "Tentang tumor itu?"
"Gimana kalau gue mati muda?"
"Kan udah aku bilang, bukan penyakit bahaya yang mengancam nyawa."
"Tapi tumornya di kepala. Gimana kalau sebenarnya itu bukan tumor, tapi kanker?" Tangis Rain kembali pecah, sangat keras seperti rengekan anak kecil yang tengah meminta mainan.
"Huaa....."
"Itu bukan kanker."
"Siapa tahu aja, kan?"
"Bukan, Rain. Percaya sama aku. Kamu gak akan kenapa-napa."
Tangisan Rain berhenti, lalu suasana di dalam mobil kembali hening selama beberapa saat.
"Lo mau kemana?" Tanya Rain dengan santai.
"Mau ketemu sama Tante Angel dan om Nathan."
"Lo mau ngapain ke rumah gue?" Seru Rain dengan panik. "Lo mau ketemu sama nyokap bokap gue karena mau ngasih tahu kalau gue punya tumor? Please, jangan."
"Kenapa?"
"Gue gak mau mereka terpukul, biar gue aja. Gue gak mau mereka sedih."
"Tapi kamu sendirian, kamu terpukul sendirian, sedih sendirian, dan kalau orang lain gak boleh tahu apa yang terjadi sama kamu, mungkin kamu akan kesepian."
"Gak papa sendirian, gue cuma gak mau berbagi kesedihan. Jadi tolong, jangan kasih tahu orang tua gue soal ini. Bisa?"
Rendra menghentikan mobilnya saat lampu merah, dan itu kesempatannya untuk menatap ke arah Rain.
"Please, jangan ya?" Rayu Rain pada Dokter Rendra.
"Ok. Dengan janji, kalau ada apa-apa, lari ke aku. Aku selalu ada buat kamu."
"Terima kasih."
