Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2: Norís

Cinta itu tidak salah. Yang salah adalah kalian yang rela lakuin apa aja demi cinta.

***

Ranya masuk ke bangunan bertuliskan Fakultas Psikologi dengan perasaan campur aduk. Kepalanya terus memutar kejadian saat ia dikejar oleh serigala di dalam mimpinya. Anehnya, mimpi itu terasa nyata bahkan hingga saat ini, Ranya masih mengingat jelas mimpi itu. Ranya mulai berjalan dengan cepat saat menyadari orang-orang di sekitarnya mulai berbisik-bisik seraya meliriknya sinis. Tujuannya datang ke sini adalah kuliah, bukan tawuran.

"Heh, miskin!"

Ranya menghentikan langkah. Tubuhnya mematung beberapa saat hingga ia berbalik dengan perlahan dan benar saja, Audrey berdiri di sana bersama kedua dayangnya, Dera dan Vio. Merekalah yang membuat Ranya selalu merasa enggan untuk datang ke kampus dan mereka juga yang membuat seluruh mahasiswa lain ikut menindasnya.

"Mentalmu oke juga masih bisa be rtahan di sini," ujar Audrey sinis.

"Aku di sini cuma ingin belajar, Audrey. Tolong berhenti menggangguku," pinta Ranya lirih.

Audrey tersenyum sinis. "Cium kakiku, maka aku akan berhenti mengganggumu. Bagaimana?"

Ranya terdiam. Apakah ia benar-benar harus mencium kaki gadis di hadapannya demi sebuah kebebasan yang pada awalnya telah menjadi haknya? Ranya menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya.

"Maaf, Audrey. Aku tidak akan mencium kakimu. Kurasa. mulutku terlalu suci untuk kakimu!" jawab Ranya lantang membuat seluruh mahasiswa yang melihatnya tercengang.

Ranya, si gadis miskin yang mendapat beasiswa, hingga dapat berkuliah di Brown University. Di mana itu adalah salah satu universitas terbesar, ter-elit, dan paling terkenal di Kota Javernish. Gadis yang sering menjadi bahan bully-an seluruh mahasiswa fakultas psikologi, karena dialah satu-satunya mahasiswi yang berkuliah dengan modal beasiswa hingga mereka menyebutnya 'si gadis miskin'. Mereka tidak tahu saja, keluarga Ranya adalah keluarga yang lebih dari bercukupan. Sayangnya, orang tuanya tidak sebaik itu hingga mau mengeluarkan uang untuk biaya kuliahnya.

Sebenarnya Ranya tidak habis pikir, mengapa mereka sangat tega menindas orang lain hanya karena materi atau level? Mengapa dunia ini membagi orang sesuai kategori dan posisi? Sebenarnya di dunia ini, apa yang lebih penting? Hati, materi, atau posisi?

Ranya mendengus pelan lalu berbalik meninggalkan Audrey yang terdiam dengan wajah memerah, menahan rasa emosi dan kesal. Ia tahu, hidupnya akan lebih menderita lagi setelah ini. Apalagi Audrey merupakan anak pemilik universitas ini.

***

Ranya akui, mata kuliah hari ini adalah pelajaran paling membosankan. Ranya melangkahkan kakinya menelusuri koridor kampus. Hingga kakinya berhenti saat melewati sebuah kelas dengan banner “Kuliah Umum Mitologi Yunani”.

Ranya membuka ponselnya bingung. Biasanya jika ada mata kuliah umum Mitologi, ia akan mendapat notif dari grup chat yang ia ikuti. Ranya mengernyit aneh, tetapi tak ingin mempermasalahkannya lagi. Ia berjalan masuk dengan langkah pelan. Berusaha tidak mengganggu mahasiswa lain. Matanya menatap serius ke arah dosen yang sedang mengajar.

“Werewolf. Salah satu makhluk mitologi yang diyakini masih ada hingga saat ini. Mereka dikenal sebagai makhluk yang setia dengan pasangannya. Konon katanya, werewolf berawal dari Raja Arkadia yang dikutuk oleh Dewa Zeus kare--”

Entah mengapa, Ranya merasa mengantuk. Matanya perlahan meredup hingga masuk ke alam mimpinya. Untuk pertama kalinya, Ranya merasa menyesal tidak mendengarkan penjelasan dosen hari itu.

***

Ranya menatap kertas yang berada di tangannya. Kertas yang berisi perizinan untuk berkemah bersama mahasiswa fakultas psikologi selama 3 hari 2 malam. Ranya tidak tahu bagaimana cara meminta tanda tangan kedua orang tuanya. Yang ada, belum bertanya, mereka sudah memukulnya terlebih dahulu.

Ia sering bertanya-tanya, sebenarnya apa kesalahannya hingga mereka sangat membencinya? Apa karena dirinya tidak sempurna atau karena dirinya tak diinginkan? Mengapa ia dilahirkan jika tak diinginkan?

Apakah kedua orang tuanya akan lebih bahagia jika dirinya tidak ada? Berulang kali, pertanyaan itu melintas di otaknya, tetapi tidak ada satupun yang terjawab. Mau tahu mengapa dirinya memilih jurusan Psikologi?

Ia ingin membantu orang-orang yang memiliki masalah sepertinya. Ia tidak ingin orang lain mengalami sakit dan kebuntuan sepertinya. Dan, ia ingin dirinya sendiri keluar dari masalahnya.

Ranya menggenggam pagar balkon dan menghirup udara segar dalam-dalam. Ia memejamkan matanya, menikmati angin kecil yang mengelus wajahnya lembut. Dalam hatinya, berharap angin itu dapat membawa pergi semua penderitaannya. Ranya sering memimpikan seorang pangeran datang menjemput dan membawanya pergi dari rumah ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman justru menjadi tempat yang paling berbahaya baginya. Ranya mengernyit kecil saat melihat kedua orang tuanya masuk ke dalam mobil. Ia menghela napas lega, sepertinya mereka akan pergi lagi dan pulang besok pagi seperti yang sering terjadi beberapa bulan ini.

Ranya melebarkan matanya ketika sebuah ide terlintas di otaknya. Ia mengambil jaketnya dan berlari keluar kamar. Menghampiri pembantunya yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Ia akan meminta bantuan Bu Sumi saja untuk menandatangani surat izin itu. Sesampainya di rumah Bu Sumi, Ranya mengetuk pintu rumah itu. Tak lama kemudian, muncullah seorang perempuan paruh baya dari balik pintu dengan senyuman hangat.

"Ada apa Nak Ranya malam-malam kemari?" tanya Bu Sumi lembut.

"Ranya mau minta tolong, Bu."

"Minta tolong apa toh, Nak?"

"Kampus Ranya mau ngadain camping bersama, tapi harus minta tanda tangan untuk surat izin dulu. Dan ... Bu Sumi pasti tahu, Ranya gak berani minta tanda tangan sama Papa dan Mama." Ranya menundukkan kepalanya lesu.

Bu Sumi mengelus bahu Ranya. "Jangan sedih. Pasti Bu Sumi bantu. Mana kertasnya?"

Ranya mengangkat kepalanya cepat lalu tersenyum lebar. Ia menyodorkan kertas dan pulpen kepada Bu Sumi. Setelah memberikan beberapa goresan, Bu Sumi mengembalikan kertas dan pulpen itu.

“Bu Sumi harap kamu dapat menikmati acara kemah ini. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Karena Bu Sumi yakin, kamu akan mendapatkan kebahagiaanmu sendiri. Jika bukan sekarang, itu pasti suatu saat nanti.”

Ranya tersenyum. “Suatu saat nanti?” gumamnya.

“Kebetulan Bu Sumi baru nonton drama korea bagus. Katanya, tiap orang punya jumlah penderitaan dan kebahagiaan yang sudah ditentukan. Kalau semua penderitaan dikeluarkan sekarang, maka yang tersisa nantinya hanya kebahagiaan.”

Ranya tertawa seraya mengangguk-angguk dengan matanya yang berkaca-kaca. “Aku harap benar begitu.”

"Mau mampir dulu, Nak?"

Ranya menggeleng. "Gak usah, Bu. Udah malam, Ranya langsung pulang aja. Terima kasih banyak ya, Bu."

Bu Sumi tersenyum. Senyuman yang membuat hati Ranya menghangat. Senyuman yang tak pernah bisa ia dapatkan dari sang ibu.

"Gapapa. Kamu yang hati-hati. Kalau ada apa-apa langsung sebut nama Bu Sumi tiga kali. Dijamin Bu Sumi pasti ..." Bu Sumi menggantungkan ucapannya.

"Pasti datang?" tebak Ranya.

"Pasti gak dengar lah." Bu Sumi tertawa.

Ranya terkekeh. "Bisa aja ngelawaknya, Bu. Yaudah, Ranya pamit dulu ya."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel