Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 : Prolog

Seorang lelaki paruh baya berdiri gagah di depan orang banyak. Ia mengenakan jubah mewah berwarna hitam yang terbuat dari bahan sutra. Sebuah mahkota penuh berlian tersemat di atas kepalanya. Senyuman yang lebar di bibirnya menandakan bahwa ia sedang sangat bahagia saat itu.

“HIDUP RAJA ARKADIA! HIDUP RAJA LYCAON! HIDUP RAJA ARKADIA! HIDUP RAJA LYCAON!” seru orang banyak berulang kali.

Lelaki paruh baya itu tersenyum puas mendengar semua orang memuja namanya. Ia merasa seluruh dunia telah berada di tangannya.

“Selamat, Raja Lycaon. Sekarang tidak akan ada lagi yang dapat merendahkanmu.”

“Tentu,” jawabnya, “bahkan Dewa Zeus pun tak bisa merendahkanku lagi,” ujarnya angkuh.

Tiba-tiba seorang laki-laki muda datang dengan kepala menunduk.

“Ayah …,” panggilnya.

“Jangan panggil aku Ayah.” Raja Arkadia tampak kesal.

“M-maaf, Raja,” cicit laki-laki itu takut.

Raja Arkadia mendengkus kesal. Ia membuang muka tak peduli. "Ada apa?"

“Ada seseorang yang mengaku sebagai teman lamamu. Ia menunggu di ruang kerjamu.”

“Siapa namanya?” tanya Lycaon.

“A-aku …” Lelaki itu tampak gelagapan, “aku tidak tahu.”

Lycaon melotot. “Kau membawa seseorang yang tidak diketahui identitasnya ke dalam ruanganku?” tanyanya marah.

“LINUS!” teriak Lycaon. Lalu, tak lama seorang lelaki lain datang dengan tergesa-gesa.

“Ada apa, Yah?” tanya Linus dengan daging bakar yang melimpah di kedua tangannya.

“Bawa Nyctimus bermain bersamamu.”

Mendengar perintah Ayahnya, sebuah senyuman licik terbit di bibir Linus. Berbeda dengan Nyctimus yang langsung memucat.

Lycaon berjalan meninggalkan kedua anaknya. Ia membuka pintu ruang kerjanya. Matanya melebar saat menyadari siapa sosok di hadapannya.

“Dewa Zeus!” Lycaon langsung bersujud.

“Berdirilah!” perintah Dewa Zeus.

Lycaon berdiri. “Ada apa Dewa sehebatmu datang ke kerajaan kecil milikku ini?” tanyanya.

“Aku datang untuk menagih janjimu.”

Lycaon melebarkan mata saat teringat janjinya. “Tentu, aku akan memberikan hidangan lezat untukmu.”

Ia tersenyum penuh arti.

***

Berbagai makanan lezat terhidang di atas meja. Tetapi Sang Dewa tampak tak senang. Ia tak menyentuh sedikitpun makanan di hadapannya. Ia terus menatap tajam empat puluh sembilan anak Lycaon yang berbaris di hadapannya.

“Di mana Nyctimus?”

Sebuah pertanyaan sukses membuat empat puluh sembilan bersaudara itu menegang di tempat. Mereka saling bertatapan seolah sedang melempar kode melalui matanya.

“Kau!” Dewa Zeus menunjuk Linus, “jawab aku. Di mana Nyctimus?”

Linus mati kutu. Ia menggaruk kepalanya, berusaha memikirkan alasan yang tepat.

“Maaf, Dewa. Beberapa saat yang lalu, Nyctimus meminta izin padaku untuk pergi bermain,” jawab Lycaon mewakili Linus yang sudah memucat.

“Benarkah? Mengapa aku merasa ia berada di ruangan ini?”

Linus mengumpat di dalam hati.

“Tidak ada yang mau jujur padaku?” Dewa Zeus bertanya.

Seorang perempuan langsung maju beberapa langkah. Tangannya menunjuk para saudara laki-lakinya dengan wajah menahan tangis.

“MEREKA MEMBUNUHNYA!” teriaknya. Ia menurunkan telunjuknya dan menutupi wajah sebagai gantinya. Bahunya bergetar lalu dengan isakan pelan, ia berujar, “makanan yang terhidang di hadapanmu adalah dagingnya.”

Spontan, petir dan kilat menyambar. Angin menerpa dengan kencang. Jendela-jendela yang awalnya tertutup rapat, kini terbuka dengan kasar dan kencang.

Dewa Zeus melayang dengan mata yang berkilat. Tongkatnya ia arahkan ke para anak laki-laki Lycaon. “Matilah kalian yang tega membunuh saudara laki-laki kalian sendiri!”

Petir menyambar. Seluruh anak laki-laki Lycaon terkapar tak bernyawa. Dewa Zeus menatap Lycaon penuh amarah.

“Terkutuklah kau.”

Sebuah petir menyambar Lycaon. Tetapi lelaki paruh baya itu tidak mati dan justru berubah menjadi seekor serigala.

“Ingatlah, Lycaon. Aku akan membunuh semua anak laki-lakimu.”

***

Aku berlari sekuat tenaga. Melarikan diri dari para binatang buas yang mengejarku dengan tatapan laparnya. Keringat mulai memenuhi wajah dan tubuhku, bahkan dapat kurasakam bagian belakang bajuku sangat basah sekarang. Aku semakin mempercepat langkah ketika mendengar lolongan serigala yang semakin dekat. Bahkan duri-duri dari tanaman tajam tidak kupedulikan lagi.

"Sial!" umpatku ketika tersandung batu dan jatuh.

Aku berusaha berdiri, tetapi sia-sia karena para binatang buas itu sudah berada di depan dengan wajah mereka yang menyeramkan. Setetes air mata jatuh mengalir di pipiku. Apakah ini akhir dari hidupku? Mengapa hidupku menyedihkan sekali? Tidak cukup dibenci orang tua, menjadi bahan bully-an, haruskah aku mati mengenaskan juga?

Aku menyeret tubuhku mundur ketika salah satu serigala berjalan mendekat. Tampaknya ia adalah pemimpin para serigala itu karena badannya yang paling besar di antara semuanya. Aku merasakan punggungku telah menabrak pohon yang berarti aku sudah tidak memiliki pilihan dan kesempatan lagi.

Kupejamkan mata tanda pasrah. Mati, ya mungkin lebih baik dari pada terus disiksa kedua orang tua dan teman-temanku. Ya, mungkin. Aku meringis kecil ketika merasakan jilatan pada kakiku. Aku membuka mataku perlahan, aku mengernyit bingung ketika serigala itu bukannya menerkam dan memakanku, malah justru menjilat kakiku.

Astaga!

Aku melebarkan mata, melihat betapa mengenaskannya kondisi kakiku sekarang. Penuh darah dan goresan. Setelah menyadari luka itu, kini baru terasa perihnya. Aku menatap luka itu lekat. Berpikir keras dari mana asal luka itu? Tidak mungkin 'kan serigala itu yang menggigit? Aku tidak merasakan gigitan dari tadi.

Aku mengalihkan perhatian pada serigala itu yang juga menatapku lekat. Aku baru sadar, matanya sangat indah. Kedua bola matanya memiliki warna yang berbeda. Mata itu berwarna ... entahlah aku tidak tahu dan tidak pernah melihat warnanya. Bola matanya sangat menenangkan dan indah membuatku tidak bisa melepaskan tatapanku darinya. Seolah matanya memiliki magnet yang menarikku untuk terus menatapnya.

Perlahan kuangkat tanganku untuk sekadar mengelus bulunya. Lembut dan halus, itulah yang terlintas di benakku saat menyentuhnya. Bahkan rambutku sebagai seorang perempuan feminim saja tidak selembut itu. Bagaimana seekor serigala liar yang tinggal di hutan bisa memiliki bulu yang halus?

Serigala itu menggeram. Aku mengangkat alisku heran, ia tampak menikmati elusanku.

"Bisakah kau membiarkanku hidup?" tanyaku lirih.

Seolah mengerti kalimatku, ia melolong diikuti serigala lainnya. Aku sontak melepaskan tanganku darinya. Kedua bola matanya menatapku lekat.

"Apakah aku akan lebih bahagia jika pergi dari dunia ini?" gumamku.

Tanpa kusadari, pipiku kembali basah oleh air mata yang menetes. Aku mengelap air mata itu lalu tersenyum.

"Sepertinya aku tidak akan menyesal untuk mati hari ini, karena bisa bertemu denganmu."

Perlahan aku menyentuh bulunya kembali. "Bahkan aku tidak diterima di hutan ini." Aku tersenyum tipis.

"Makanlah aku. Aku sudah siap." Aku mengangguk serius pada serigala itu.

Perlahan aku merasakan kepalaku berputar-putar. Wajah serigala itu juga kian mengabur dan memudar.

"Mate."

Aku mengernyit. Suara siapa itu? Dan apa maksudnya mate? Belum sempat bertanya, kegelapan memenuhiku.

Mungkin inilah akhir dari kisahku. Atau justru sebaliknya?

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel