Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

"Eh, Cong udah sampe nih, turun." Ujar Zeno tiba-tiba.

Gue yang lagi asik ngetik pesan di hp langsung menoleh kesekitar gue dan berhenti tepat setelah gue melihat pagar rumah gue. Eh, nggak. Ini bukan pager rumah gue. Ini tuh pagernya rumah Zeno.

Menyadar hal itu, gue langsung menoleh ke arahnya.

"Kok berhentinya di rumah lo sih!?" Tanya gue.

"Ya iyalah. Enak aja lo mau langsung nyampe gitu aja. Jalan dikit kek, orang deket juga. Udah cepetan turun. Motor gue mau di cuci, udah terkontaminasi sama lo. Kesian ntar cewek gue pas duduk di situ langsung kesurupan arwah bencong kayak lo. Gue kan nggak mau punya pacar bencong. Apalagi modelnya kayak lo." Ucapnya dengan nada pedes.

Sumpah gue kesel. Walaupun dia itu cowok yang macho-kata temen gue-tapi entah kenapa kalo sama gue dia tuh judes banget. Bikin kesel, omongannya selalu pedes. Kalo ketemu aja pasti bikin rusuh dan ujung-ujungnya gue cuma bisa menggeram karena capek ngeladenin mulut dia.

Beda lagi kalo ngomong sama temen gue atau yang lainnya. Pasti ngomongnya baik-baik, nanyanya pelan plus sopan.

Sial. Gue nggak habis pikir apa yang ngebuat dia kayak gitu ke gue.

Dari awal gue pindah kesini, dia udah nggak suka sama gue. Dari pertama Bunda ngajak gue untuk menyapa tetangga sebelah. Dia natap gue sinis terus bencinya keliatan banget, ntah salahnya gue dimana gue nggak tau. Yang jelas, saat itu gue cuma bisa senyumin dia karena dia orang baru dan juga karena Mamanya yang baik.

Dari situ gue tau, kalo gue nggak bisa akur ataupun berteman sama dia. Sampe akhirnya gue tau kalo gue sama dia itu satu sekolah dan juga satu kelas. Awalnya gue nggak tau namanya, tapi setelah absensi yang menyebutkan namanya, akhirnya gue tau. Kalo namanya itu Zeno-sang cowok yang bikin gue selalu bad mud.

Oke, lupain. Gue nggak mau inget masa-masa dimana dia mulai ngatain gue dan bikin gue malu dan dapet julukan yang nggak mau gue inget dari dia sampe tamat SMP waktu itu.

"Woy turun. Malah bengong lagi. Gue mau mandi nih, mau mojok bareng PACAR gue." Ujarnya yang langsung membuat gue sadar dari lamunan sepintas gue.

Gue mencibir lalu segera turun dari motornya. Tanpa basa-basi gue langsung memutar balik badan gue untuk berjalan ke arah rumah gue yang tepat berada di samping rumahnya. Namun, baru dua langkah gue berjalan, suaranya langsung terdengar di belakang gue.

"Semangat ya untuk taruhannya! Jangan lupa siap-siap kalah. Hahahahah.." Teriaknya.

Gue yang mendengar itu cuma mengangkat tangan gue dan memberinya jari tengah sambil melanjutkan jalan. Lalu setelah itu, terdengar suara tawa kencang dari Zeno dan disusul dengan suara motornya yang perlahan menghilang dari pendengaran gue.

***

"Kentaa... Ada Reta nih nungguin kamu." Suara teriakan Kak Kenni terdengar jelas sampe kamar gue yang berada di lantai dua.

Gue yang lagi make sepatu langsung cepet-cepet nyelesainnya dan segera keluar kamar setelah mengambil tas sama hp gue yang terletak di kasur.

"Kentaaaaa!" Teriak Kak Kenni lagi.

"Bentar, lagi di jalan nih!" Ujar gue membalas Kak Kenni sambil nurunin tangga.

Setelah sampai ke bawah, gue melihat Kak Kenni dan Reta duduk sampingan di ruang tamu sambil ngomongin ntah apa itu.

"Yok! Gue udah siap nih." Ujar gue yang langsung menghentikan obrolan mereka begitu aja. Reta menatap gue dari atas sampe bawah lalu segera berdiri setelahnya.

"Ok, yok! Kak, kita berangkat dulu ya."

"Iya kak, gue berangkat ya." Ujar gue, Kak Kenni hanya mengangguk lalu melambaikan tangan kearah kami.

Melihat hal itu, gue dan Reta pun langsung berbalik dan berjalan menuju pintu rumah. Namun langkah gue langsung berhenti ketika Kak Kenni menyebut nama gue.

Gue menoleh ke belakang.

"Semangat ya latihannya! Semoga bisa ngalahin si ganteng tetangga sebelah!" Ujar Kak Kenni.

Awalnya gue tersenyum saat dia nyemangatin gue. Tapi setelah mendengar kalimat terakhirnya, gue langsung mencibir dan kembali berbalik untuk melanjutkan langkah kaki gue menuju pintu keluar.

"Tuh, Kakak lo aja bilang Zeno ganteng. Masa lo nggak ngakuinnya sih?" Ujar Reta setelah kami berdua keluar dari rumah, gue cuma memutar kedua mata gue mendengarnya.

"Plis deh, yang namanya Zeno bagi gue tuh nggak ada ganteng-gantengnya. Dia tuh jelek, item, kurus dengan bacot gede dan mulut yang judes. Sumpah, nggak ada bagusnya dari dia." Ujar gue, menjelaskan fakta yang menurut gue paling bener.

"Bullshit lo cong. Bilang aja lo iri sama gue, ya kan?"

Mendengar suara yang bukan berasal dari Reta, gue sontak langsung menoleh ke sebelah gue dan menampakan sosok Zeno dengan baju yang keliatan keteknya sambil memegang selang air di tangannya.

Dan ya, dia nggak boong soal bakal nyuci motornya.

Sialan, dia beneran nganggep gue kuman. Dan apa ini juga! Pager pembatas antara rumah gue sama rumah dia cuma sebates pinggang!

Saat gue melihat pager itu pertama kali, ingin sekali rasanya gue jambak tuh tukang yang buat pager. Ya kali, bikin pembatas cuma sepinggang. Mending sih kalo orang sebelahnya tuh baik kayak ibu peri. Nah ini, kebalikannya. Hadeh.

"Bodo ya. Bagi gue, semua yang gue omongin itu sesuai fakta dengan sikap yang lo tunjukin gue setiap hari." Bales gue dari ucapannya yang sebelumnya.

Dia mengerinyit, lalu melepaskan selang yang ada di tangannya begitu aja setelah itu dia berjalan mendekati pagar pembatas dan bersandar di pagar tersebut dengan tangannya.

"Terus lo mau gue bersikap manis ke elo gitu? Idih, buat lo mah maap, gue nggak bisa." Ujarnya lalu tertawa pelan.

Gue yang mendengar itu cuma mencibir, lalu mengalihkan pandangan gue dari dia.

"Nggak jelas, yuk Re, ngeladenin dia tuh bikin darah tinggi. Mending gue simpen tenaga gue buat latihan." Ujar gue lalu jalan mendahului Reta ke arah motornya.

Reta menyusul gue setelah dadah-dadah ke arah Zeno yang di bales senyuman olehnya.

Tuh kan!

Sama Reta senyum, sama gue?

Dasar monyet!

"Udah jangan masang muka kusut gitu. Lo kan bakal ketemu cogan nanti. Masa iya lo dateng dengan muka kek gitu. Yang ada ntar dia jadi males ngajarin elo." Ujar Reta yang cuma gue ehemin aja.

"Yaudah ayok naik!" Suruh Reta yang sudah naik di motornya.

Tanpa membuang waktu lagi, gue pun langsung naik ke boncengan di belakang Reta dan memeluknya pelan.

"Awas ya tangan lo modus-modus ke gue." Ingat Reta, gue yang mendengar itu cuma memutar mata.

"Gue homo Re, tenang aja." Ujar gue, Reta ketawa dan setelah itu motorpun jalan menjauh dari rumah gue untuk menuju ketempat cowok ganteng yang akan membawa gue ke kemenangan melawan taruhan Zeno.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel