Bab 4
Gue yang awalnya mengira bakal ketemuan di lapangan umum atau dimana gitu karena tujuan gue ketemu sama orang yang di bilang Reta-gue lupa namanya-itu kan buat latihan olahraga, jelas kan kalo ketemuannya nggak jauh-jauh dari lapangan atau tempat yang seengaknya untuk olahraga.
Tapi ini nggak.
Gue ketemu sama orang yang di maksud Reta itu ada di rumah pacarnya Reta. Gue nggak tau dia tinggal di sekitar sini-kata Reta-dan juga temenan sama pacarnya Reta. Tapi ya udahlah ya, nggak penting juga. Yang penting tuh orangnya. Gue penasaran, apa bener dia cogan seperti yang Reta bilang sepanjang jalan tadi.
"Oh iya, Re. Namanya siapa, ya? Gue lupa, waktu itu gue nggak fokus pas lo nyebut namanya." Ujar gue yang cuma di balas dengan decihan Reta.
"Wira, lo panggil aja Kak. Kan lo sopanan orangnya. Ya walaupun kalo ke kita-kita nggak ada sopannya sama sekali." Ujarnya yang bikin gue cuma tertawa kecil mendengarnya.
"Yaudah yok masuk. Ntar abis kenalan lo langsung aja ngobrol dan kasih tau tujuan lo. Dan gue bakal mojok sama pacar gue. Ok?" Ujarnya lagi, dan gue cuma ngangguk menyetujuinya.
Setelah itu, gue dan Reta pun turun dari motor lalu mulai berjalan masuk ke dalam rumah Leo-pacar Reta.
Gue udah beberapa kali ke rumah ini. Jadi nggak perlu bagi gue untuk malu-malu saat masuk kerumah ini. Karena selain sang pemilik rumah ini adalah pacarnya temen gue, Leo juga pun baik dan menerima gue apa adanya. Ya walaupun gue jarang banget ngobrol sama dia.
"Oh, udah sampe ya."
Suara orang yang tiba-tiba langsung membuat gue sama Reta langsung menoleh dan mendapati sosok Leo yang berjalan mendekat ke arah kami. Dia tersenyum hangat lalu mengelus rambut Reta pelan setelah sampai di depan kami.
"Yuk, langsung ke belakang aja. Wira sama yang lainnya lagi di sana. Lo bawa kan alat-alat olahraga yang mungkin aja di pake nanti?" Ujar Leo yang awalnya menatap Reta, kini berganti ke arah gue dan menunjuk gue.
Gue yang di tunjuk pun cuma ngangguk mengiyakan. Setelah itu Leo cuma senyum sebentar lalu berjalan berbalik mendahului kami.
"Yok." Ajaknya setelah berjarak tiga langkah dari gue dan Reta.
"Lo duluan aja, Ken. Gue mau ke dapur dulu. Haus gue, tadi Kak Kenni ngasih minumnya susu." Ujar Reta, gue mengangguk menanggapi ucapannya. Lalu tanpa buang-buang waktu lagi gue langsung nyusul Leo dan mendahului Reta di belakang gue.
Gue berhenti setelah langkah Leo terlebih dahulu di depan gue. Dia menoleh kan kepalanya ke arah gue dan melambaikan tangannya memberikan isyarat agar gue mendekat ke arahnya. Gue pun langsung berjalan ke arahnya, dan kini gue berhadap-hadapan sama Leo yang lebih tinggi dari gue.
"Kenapa Kak?" Tanya gue dengan sedikit mengerinyitkan alis gue.
Leo cuma menggeleng, lalu tanpa menjawab, dia langsung mengalungkan tanganya di bahu gue tiba-tiba.
"Jangan jalan di belakang gue. Gue ngerasa jadi bos jadinya. Lo kan temen pacar gue, jadi ya santai aja, nggak usah sungkan sama gue. Dan juga, lo kan udah sering kesini. Terus kenapa jalan lo ragu-ragu kayak tadi?" Ujarnya, yang sukses menohok gue.
Dia sadar ternyata kalo gue masih rada sungkan dan ragu-ragu kalo tinggal gue sama dia aja. Kalo sama Reta lain cerita. Gue tersenyum lalu menggeleng pelan.
"Aku malu ketemu sama temen-temen Kakak. Kirain cuma Kak Wira aja, pas Kakak bilang sama yang lainnya gue langsung kicep. Jadi ya, gue ragu-ragu deh." Ujar gue menjelaskan se-masuk akal mungkin.
"Alah, biasanya juga malu-maluin. Kata Reta." Ujarnya lalu terkekeh. Berbeda dengan gue yang langsung memasang wajah senyum kaku. Dalam hati gue menyumpah nyerapahi Reta yang udah buka aib gue sama pacarnya.
Kurang ajar dia!
"Oy, Wir! Orangnya udah dateng nih!" Teriak Leo tiba-tiba. Gue yang mendengar itu langsung menoleh ke arah yang Leo teriakan.
Disana terdapat beberapa anak cowok yang seumuran Leo menoleh ke arah gue dan Leo dengan tatapan bertanya, namun ada satu yang tersenyum dan langsung berjalan ke arah kami.
Gue yang melihat senyumannya langsung terpanah. Gue terdiam beberapa saat sambil memperhatikan langkah kakinya yang seakan-akan berjalan lambat seperti sebuah video yang di slow motion.
Fokus gue langsung ke arah wajahnya yang terpapar sinar matahari sore dengan rambut yang tertiup angin sedikit. Dan sumpah demi apapun! Gue udah kayak ngeliat cowok model iklan yang sering gue liat di tv.
Ganteng banget...
Liat senyumnya yang masih terpapar di mukanya itu, apalagi dia cuma make jeans pendek dengan baju kaos yang dilapisi jaket santai di tubuhnya. Proporsional banget.
Fix, dia cowok terganteng nomor dua setelah Zeno yang pernah gue liat.
Zeno? What?
Gue tadi barusan ngomong apa?
Dan kenapa ada Zeno berdiri di samping cowok itu dengan lidah yang di julurin seperti yang dia sering lakukan ke gue. Dan sumpah demi apapun, gue kesel ngeliat muka ngejeknya itu. Pengen gue gampar sumpah. Tapi gambaran Zeno tiba-tiba hilang setelah sebuah suara mengembalikan ke sadaran gue.
"Hai. Kenta, ya?" Tanyanya. Gue mengerjap beberapa kali menatapnya. Dan setelah sadar gue segera menelan ludah gue pelan.
Gue mengangguk, mengulurkan tangan gue ke arahnya.
"Kak Wira?" Tanya gue.
Dia mengangguk lalu menyambut uluran tangan gue sebentar.
"Kalian ngomongnya di depan aja ya, biar lebih serius bicarainnya." Ujar Leo di sebelah gue. Gue cuma menaikkan sebelah alis gue mencerna ucapannya.
Namun belum aja gue ngerti di ucapin Leo. Tangan gue langsung di tarik begitu aja sama Wira setelah menyetujui ucapan Leo tadi.
Dia menarik tangan gue dan berhenti di ruang tamu milik Leo. Dia melepaskan tangan gue lalu duduk di sofa yang terdapat di ruangan itu. Gue pun melakukan hal yang sama dan duduk di sebelahnya.
"Jadi?" Tanyanya, gue menoleh dan mengerinyit menatapnya bingung.
"Apa?" Tanya gue balik.
Kini giliran dia lagi yang mengerinyit.
"Gue belum tau tujuan lo yang sebenernya. Jadi, lo bisa cerita kenapa minta bantuan sama gue?" Ujarnya, setelah itu gue langsung mengerti dan menepuk jidat gue pelan.
Padahal Reta udah bilang tadi sebelumnya, kalo gue ketemu Wira langsung bilang tujuan gue. Dan tadi apa? Gue cuma bengong kayak orang bego karena menghayal ada Zeno yang masang muka jelek di samping muka ganteng milik Wira.
Dasar emang ya, nggak dimana pun, tuh manusia satu pasti selalu bikin kesenangan gue terusik.
"Emm... Karena Kak Wira anak IPS dan ada di kelas 2. Gue yakin Kakak nggak tau banyak tentang anak IPA apalagi anak kelas 1 kayak gue. Masalahnya sepeleh kok, gue cuma lagi taruhan sama satu orang paling sengak di kelas gue Kak." Ujar gue berhenti sebentar untuk melihat reaksi Wira.
Setelah nggak ada ekspresi apapun yang di keluarkannya, gue pun melanjutkan cerita gue.
"Nah, orang sengak yang gue maksud si Zeno. Mungkin Kakak nggak tau-"
"Gue tau kok." Ujarnya tiba-tiba yang memotong ucapan gue. Gue yang mendengar itu cuma mengerinyit.
"Nggak usah heran gue tau dari mana. Gue pernah satu regu sama dia waktu tanding basket pulang sekolah waktu itu." Ujarnya menjelaskan. Gue cuma meng-oh tanda mengerti dengan ucapannya.
"Bagus deh kalo Kakak tau. Aku nggak perlu jelasin apa-apa tentang dia. Oke, lanjut ke masalahnya ya. Jadi, aku tuh taruhan sama dia. Taruhannya itu adalah siapa yang bakal dapet juara umum pertama untuk kenaikkan kelas nanti." Ujar gue.
"Juara umum?" Gue mengangguk.
"Sepele kan? Tapi itu mungkin sepele buat Kakak atau yang lainnya. Tapi bagi gue itu nggak sepele sama sekali. Karena gue tau kalo gue nggak bisa menang dari dia." Ujar gue lalu memasang wajah lesu.
"Kok gitu?" Tanyanya.
Gue menatap dia lalu menghela napas setelahnya.
"Dia dari SMP udah dapet predikat juara umum berturut-turut dari tahun ke tahun. Dan ya, gue selalu yang menjadi nomer dua di bawahnya." Ujar gue.
"Terus kenapa lo taruhan kalo tau lo bakal kalah."
"Nah itu dia yang gue bingung. Gue udah bego yang mau aja nerima tantangan yang gue sendiri yakin bakal kalah telak. Tapi setelah beberapa jam taruhan itu terucap, Reta tiba-tiba bilang kalo ada harapan buat gue menang." Ujar gue, dan cuma di tanggapin dengan alis Wira yang terangkat satu.
Gue menghela napas melihat ekspresi Wira.
"Gue cuma selisih sama Zeno di mata pelajaran penjas doang, Kak. Gue nggak bisa olahraga, makanya gue selalu di bawah dia. Di setiap ujian olahraga, nilai gue selalu terendah." Ujar gue yang akhirnya mengucapkan maksud dari tujuan gue menemuinya saat ini.
Kak Wira terdiam sebentar seperti memikirkan sesuatu, namun nggak lama. Karena setelah itu dia langsung menjentikkan jarinya dan menatap ke arah gue.
"Gue ngerti. Jadi maksud lo minta bantuan ke gua. Buat ngebimbing lo berlatih olahraga, kan?" Ujarnya, gue langsung mengangguk mendengar hal itu.
"Jadi gimana, Kak? Kakak mau jadi pembimbing gue?" Tanya gue dengan nada yang penuh harap.
"Gue sih mau aja. Tapi, gue dapet apa dari ngebimbing lo ini, hm?" Tanyanya sambil menaik turunkan kedua alisnya.
"Gue gaji?" Ujar gue ragu.
Wira menggeleng, "Gue nggak butuh duit."
"Terus lo maunya apa, Kak?" Tanya gue.
Setelah gue menanyakan hal itu, Wira terlihat memikirkan sesuatu namun segera menggeleng dan menatap gue.
"Gue belum pikirin. Ntar aja kalo gue udah kepikiran gue bakal ngasih tau elo. Tapi lo yakin mau gue ngelatih sampe lo menang taruhan?" Tanyanya. Dan langsung gue ngangguk semangat.
"Yakin banget!" Ujar gue antusias.
"Oke gue mau jadi pembimbing lo." Ujarnya.
"Yeay! Makasih Kak!" Ujar gue seneng. Dan saking kelewat senengnya. Gue hampir aja kelepasan memeluk Wira di depan gue.
Menyadari hal itu, gue pun langsung kikuk mengalihkan muka gue dari dia.
Sialan, sifat gue yang biasanya gue keluarin ke orang terdekat gue sekarang kelepasan di depan Wira. Sumpah, gue malu banget sekarang.
Tapi tiba-tiba suara kekehan renyah membuat gue langsung kembali menoleh ke arah Wira.
"Kenapa nggak jadi meluknya?" Tanyanya dengan senyumnya yang menunjukkan beberapa gigi atasnya.
Dan sumpah demi apapun, dada gue berdebar hebat melihat itu. Rasanya muka gue panas banget saat ini. Apa sekarang kedua pipi gue merah kayak di film-film?
Gue nggak tau, tapi yang jelas saat ini gue merasa malu sekaligus senang mendengar ucapan Wira.
