Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

"Wahgelaseh, lo berani banget taruhan sama Zeno yang udah jelas banget dia yang bakal menang." Ujar Shinta, sambil sesekali menepuk bahu gue.

Gue yang lagi jalan di koridor cuma manyunin bibir sambil menatap 3 cewek yang sekarang berada di samping gue.

"Taruhan apa, Shin? Kok gue nggak tau?" Tanya Dian, temen gue.

"Iya, taruhan apa Kenta sama si Zeno?" Tanya Reta yang ikut nimbrung di samping Dian.

Gue cuma diem sambil nunggu Shinta buat ngasih tau apa yang terjadi saat mereka berdua nggak ada di kelas.

Shinta berjalan duluan lalu berbalik dengan posisi berhadapan dengan kami bertiga.

"Taruhannya sih nggak penting-penting banget. Taruhan ini udah pasti di menangin sama si Zeno. Masa iya, Kenta nantangin Zeno buat taruhan kalo si Kenta bakal ngalahin Zeno tahun ini? Nggak mungkin banget, kan." Ujarnya dengan muka nggak santai yang bikin gue kesel.

Gue berhenti melangkah, lalu menaruh kedua tangan gue di dada.

"Jadi lo nggak yakin gue bakal menang?" Tanya gue, dan mereka langsung ikut berhenti langkah sambil menatap gue.

"Ya, iyalah!" Ucap mereka serentak.

Dan gue cuma merengut terus lanjut jalan meninggalkan mereka. Bodo amat! Mereka jahat. Temen nggak tau diri. Bukannya semangatin malah ngejatuhin. Ish, Double kezel gue.

"Eh, tapi nggak, deh!" Ujar Reta tiba-tiba, mereka udah berhasil mengejar gue dan kini mereka kembali berada di samping gue.

"Nggak apanya, Re?" Tanya Dian yang diangguki oleh Shinta. Gue masih diem, kesel. Tapi gue dengerin apa yang mereka omongin.

"Nggak. Maksud gue, Kenta bisa aja ngalahin si Zeno. Kenta 'kan cuma kalah di nilai olahraga aja 'kan?" Ujar Reta, yang kini di anggukin oleh Dian dan Shinta, gue pun mengiyakan dalam hati.

Emang bener kok! Kekurangan gue cuma di olahraga aja. Semua nilai akademik gue sama Zeno semuanya sama. Jadi gue masih ada harapan kalo aja gue bisa belajar olahraga untuk memenangkan taruhan ini.

"Emh, terus?" Tanya Dian.

Reta nggak langsung jawab, dia berdeham sebentar lalu berjalan duluan dan mengambil tempat duduk dekat tumbuhan yang ada di depan kelas yang gue nggak perhatiin kelas berapa.

"Sini-sini!" Ujarnya sambil melambaikan tangan ke arah kami.

Dian dan Shinta langsung menyusul Reta, sedangkan gue menyusul terakhir dengan langkah yang ogah-ogahan.

"Sini Ken, samping gue." Ujar Reta saat gue baru aja mau duduk di samping Dian.

Tanpa banyak omong, gue pun langsung berdiri dan mengambil tempat duduk di samping Reta.

"Oke. Pertama-tama, gue mau tanya dulu deh. Ken, lo mau menangin taruhan ini 'kan?" Tanya Reta sambil nunjuk muka gue.

Gue mengkerut, lalu mengangguk dengan ragu.

"Nah, gue punya solusinya nih."

"Apaan?" Tanya Shinta yang mendahului gue yang baru aja mau nanya itu.

"Kalian kenal Kak Wira anak IPS XI A?" Tanya Reta yang langsung mendapat gelengan dari kami bertiga

"Jauh amat lo mainnya, Re. Sampe ke anak IPS segala." Ujar gue yang malah di sambut dengan senyuman gaje.

"Jelas dong gue bisa maen kesana. Pacar gue kan belajar di sana. Hihihi." Ujar Reta, gue dan yang lainnya pun cuma mendengus.

Gue menghembuskan napas, pikiran gue masih di penuhi dengan mencari solusi gimana caranya agar gue bisa menangin nih taruhan. Udah dapet sih solusinya, dan itu solusi satu-satunya yang bisa buat gue menang.

Iya. Gue harus belajar olahraga dari sekarang!

Gue mau aja belajar. Tapi masalahnya...

Siapa yang bakal ngajarin gue?

Gue nggak punya saudara ataupun temen cowok yang deket sama gue. Kalo gue minta ajarin sama Ayah itu nggak mungkin. Ayah sibuk banget akhir-akhir ini, gue nggak tega ganggu dia demi kepentingan gue sendiri.

Aishh.. gue pusing.

"Oh solusiiii... Datanglah padaku..." Ujar gue tanpa sadar, dan membuat mereka berhenti bicara dan menatap gue.

"Oh iya, solusi! Astaga, gue sampe lupa. Gara-gara kalian nih, ngajak gue ngomong cowok-cowok ganteng di jurusan IPS." Ujar Reta sambil menunjuk Shinta dan juga Dian.

Setelah itu Reta berbalik menatap gue lalu menepuk bahu gue pelan.

"Gini Ken, gue kenal temen pacar gue. Namanya Kak Wira, nah, dia tuh jago banget dalam olahraga. Kalo pelajaran olahraga pasti dia yang unggul, kata pacar gue sih." Ujar Reta yang nggak gue ngerti maksudnya.

"Terus hubungan dia sama gue apa?"

"Gini.... Lo kan cuma kurang di pelajaran olahraga 'kan?" Tanyanya yang langsung gue anggukin.

"Nah! Gimana kalo lo belajar aja sama Kak Wira? Ntar gue bilangin dia kalo lo butuh pengajar buat pelajaran olahraga. Gimana lo mau nggak?" Ujar Reta.

Gue diem sambil memikirkan ucapan Reta barusan. Namun belum aja gue kelar berpikir, pertanyaan Dian membuat gue kehilangan konsentrasi.

"Kak Wira jomblo nggak, Re?" Tanyanya.

Shinta yang di sebelahnya langsung aja menggeplak Dian terus menatap gue.

"Gimana, Ken. Lumayan tuh, lo mau menang dari Zeno 'kan? Dari SMP lo kan benci banget sama dia." Ujar Shinta.

"Bener tuh, Ken. Nggak bayar kok! Tenang aja, dia pasti mau. Dan masalah jomblo.. gue rasa dia jomblo Ken, tapi lo jangan tptp sama dia ya. Dia kayaknya straight, loh!" Ujar Reta. Gue melotot mendengar peringatan itu.

"Enak aja, gue nggak tptp kesembarangan cowok, ya! Tapi kalo dia cogan, boleh lah. Hehe." Ujar gue sambil terkekeh.

Shinta ikut terkekeh begitupun juga Dian.

"Dasar gay. Yaudah, gimana nih? Lo mau kan?" Tanya Reta, dan kali ini langsung gue anggukin tanpa ragu.

"Boleh deh, tolong ya Re, bilangin sama dia kalo gue pengen belajar olahraga." Ujar gue.

Reta mengangguk, "Oke, gue bakal bilangin kok. Yang penting temen gue ini harus menang. Gue kan pengen sekali-sekali bangga punya temen yang juara umum tingkat pertama." Ujar Reta yang di setujui keduannya.

Gue manyun. "Jadi selama ini kalian nggak bangga sama gue?"

Setelah gue mengucapkan itu mereka langsung memeluk gue sebentar lalu mencubit pipi gue bergantian.

"Jangan manyun gitu, gue jadi pengen nyubit liatnya. Kita bangga kok sama apapun yang elo lakukan. Karena kita percaya, yang elo lakukan adalah seseuatu yang baik buat lo maupun buat kita. Iya kan gengs?" Ujar Shinta, yang langsung diangguki oleh Reta dan Dian.

Gue tersenyum haru menatap mereka bertiga lalu membalas untuk memeluk mereka.

"Makasih ya gengs, udah mau jadi sahabat gue selama 4 tahun ini." Ujar gue yang entah kenapa malah merasa sesak.

Tapi, nggak. Gue seharusnya nggak sesak gini. Gue harusnya seneng, karena sahabat gue udah membantu gue. Dan sumpah demi apapun, gue nggak bakal mau untuk berpisah dengan mereka bertiga.

Apapun yang terjadi.

***

Mendengar bunyi bel pulang sekolah, membuat gue langsung dengan semangat membereskan buku-buku yang ada di atas meja gue

Gue semangat bukan karena gue bosen dengan pelajaran hari ini. Melainkan gue bersemangat karena sore ini gue akan bertemu dengan Kak Wira seperti yang di katakan Reta tadi.

"Ayok pulang." Ujar seseorang yang gue tau betul suara siapa.

Tangan gue yang tadinya lagi mengambil buku di atas meja kini terhenti karena sebuah tangan yang menahannya. Gue mendongak untuk melihat orang yang udah menganggu kegiatan gue.

Zeno. Ya orang itu yang lagi memegang tangan gue saat ini.

"Lepasin tangan gue." Ujar gue sambil berusaha melepaskan tangan gue darinya.

Berhasil, tangan gue lepas dari genggamnya. Dan gue langsung gunain kesempatan ini untuk buru-buru beresin buku yang ada di meja ke dalam tas gue. Namun, setelah selesai, sosok Zeno masih ada di hadapan gue. Gue mengerinyit.

"Ngapain lo masih disini? Sana pergi!" Usir gue lalu tanpa menghiraukan dia gue berjalan melewatinya begitu saja.

Namun belum aja gue keluar dari pintu kelas, pergerakan gue berhenti karena sebuah tangan berhasil menahan gue di sini.

"Pulang bareng gue, cong!" Ujar Zeno kurang ajar. Gue langsung berbalik dan memasang wajah marah.

"Maksud lo apa ngajak gue pulang bareng? Lo lupa kalo kita ini musuh? MUSUH!" ujar gue yang dengan sengaja menyipratkan ludah ke arah mukannya.

Dia mengusap mukanya sebentar lalu kembali mengenggam tangan gue.

"Bacot, Bunda lo nyuruh gue buat nganter lo pulang. Jadi ayok! Jangan banyak omong, gue juga males lama-lama bareng bencong macem lo." Ucapnya lalu menarik tangan gue keluar dari pintu kelas.

Dia menyeret gue dengan nggak berperikemanusiaan. Sumpah deh, nih orangnya jalannya yang cepet apa langkah kakinya yang lebar? Gue sulit banget buat nyamain langkah gue sama dia. Gue jadi keseret dengan tangan yang ketarik kenceng.

Setelah sampe di parkiran, dia ngelepasin tangan gue dan mengeluarkan motornya dari parkiran. Zeno ngasih gue helmnya namun gue menolak.

"Punya bukti apa lo, kalo Bunda gue yang nyuruh lo buat nganter gue pulang? Lo pasti boong kan? Lo pasti mau jahatin gue kan, supaya lo menang telak sama taruhan kita?" Ujar gue menatapnya curiga.

Bukannya menjawab, Zeno malah berdecih sambil natap gue kesel.

"Susah ya ngomong sama bencong. Banyak nggak percayanya. Liat nih, nih! Tuh! Bunda lo nge-WA sebelum bel bunyi tadi." Ujarnya sambil menyerahkan hpnya ke arah gue.

Gue mengambil hp tersebut dan membaca apa yang tertera di layar hp milik Zeno. Dan benar, disana terdapat dari Bunda kalo dia minta tolong agar dia anter gue pulang, karena Bunda nggak sempet buat jemput gue.

Setelah melihat itu, gue pun menyerahkan kembali hp Zeno tanpa menatap mukanya.

"Gimana, udah percaya?" Tanyanya dengan nada mengolok. Gue cuma berdehem mengiyakan.

"Yaudah buruan naik, cong. Gue ada kencan sama cewek gue nih." Ujarnya sambil kembali menyerahkannya ke arah gue.

Tanpa membuang-buang waktu lagi pun, gue langsung menerima helm tersebut dan setelah itu gue naik ke motornya. Ya mau gimana lagi, walaupun gue benci pulang bareng dia, tapi kalo Bunda yang nyuruh gue. Gue nggak bisa nolak lagi. Gue cuma bisa berharap kalo Zeno nggak bakal jahatin gue seperti yang biasa dia lakukan.

Semoga.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel