Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7

Gue keluar kamar setelah menggunakan setelan olahraga yang gue butuhkan saat ini. Awalnya Ayah nanya ngapain gue pake baju kek gini. Tapi setelah gue jelasin, Ayah cuma manggut ngerti dan nggak lama setelah itu, Zeno pamit dari kamar gue dan pergi ke habitatnya.

Kedatangan gue di ruang tamu di sambut oleh senyuman Wira dan tatapan aneh dari Kak Kenni. Gue mengabaikannya dan beralih menuju tempat duduk Wira.

"Yok, Kak. Gue udah siap nih. Sori agak lama. Tadi abis ngobrol sama Ayah dulu." Ujar gue menjelaskan. Wira cuma mengangguk lalu bangkit dari duduknya.

"Gue duluan, ya." Ujar Wira ke Kak Kenni yang di balas dengan anggukannya.

Gue mengerinyit, lalu mengikuti langkah Wira yang udah mendahului gue keluar rumah.

"Lo deket sama Kakak gue?" Tanya gue setelah berada di sampingnya.

Dia menoleh dan menggeleng pelan.

"Nggak deket sih, cuma kenal aja. Gue pernah ikut lomba persahabatan ke sekolah Kakak lo." Ujarnya. Gue cuma mengangguk mengerti.

Dalam hati gue berkata, hebat juga dia, bisa kenal Zeno dan Kenni tanpa gue kenalin lebih dulu

"Pake motor nggak nih?" Tanyanya tiba-tiba. Gue sontak menoleh dan menggeleng dua kali.

"Nggak usah, deket kok. Lo liat kan taman dua rumah dari sini tadi?" Ujar gue.

Dia cuma mengangguk lalu mulai mempercepat langkahnya menuju gerbang rumah, gue pun mengikutinya dan segera menuju ke tempat yang gue maksud untuk belajar olahraga bersamanya.

"Oy, Kenta!" Teriak seseorang setelah beberapa langkah lagi gue sampe ke taman komplek.

Gue menoleh dan memutar kedua bola mata gue setelah tau siapa yang manggil gue. Siapa lagi, kalo bukan genk gue yang udah duduk manis di tempat duduk penonton sambil teriak-teriak manggil nama gue.

"Lama banget sih lo, udah lumutan nih gue nunggunya." Ujar Dian lebih dulu setelah gue sampai di tempat mereka.

"Iya nih, untung di sini lagi ada cogan yang maen basket. Jadi nggak perlu....Eh, ada Kak Wira. Halo, Kak." Ujar Shinta lalu dadah-dadah ke arah Wira.

Wira yang pernah bertemu mereka berdua pun tersenyum canggung dengan tangan yang menggaruk tengkuknya. Gue yang melihat itu pun langsung berinisiatif.

"Oh iya, Kak. Mereka berdua temen gue. Yang kanan-"

"Dian." Ucap Dian tiba-tiba dan langsung menyambut tangan Wira untuk bersalaman. Namun nggak lama, karena setelah itu tangan Dian langsung tergantikan oleh tangan Shinta.

"Shinta, Kak. Gue yang paling kece di genk kami." Ujarnya narsis. Gue sama Dian langsung mencibir ke arahnya.

"Genk?" Tanya Wira dengan alis naik sebelah.

"Nggak usah di pikirin Kak, yuk kita langsung aja belajarnya. Oh iya, Reta mana?" Ujar gue yang sebelnya menoleh ke arah Wira dan kini beralih ke arah mereka berdua.

Dian langsung mengedikkan bahunya.

"Dia lagi ada jadwal mojok sama pacarnya." Ujarnya. Gue cuma berdecih.

"Mentang-mentang punya pacar, kita semua di abaikan." Ujar gue, yang di setujuin oleh mereka berdua.

"Siapa yang mengabaikan kalian?"

Mendengar suara yang gue kenal, gue dan yang lainnya sontak menoleh dan mendapati Reta dan Leo yang tengah berdiri dengan kedua tangan berada di dadanya.

"Retaaaa..." Ujar Dian dan Shinta berbarengan, lalu setelah itu mereka menghambur kepelukan Reta. Gue pengen ikutan, tapi nggak jadi setelah melihat tatapan Leo yang dengan jelas melarang gue.

"Lo dateng?" Tanya Wira di belakang gue.

"Yoilah. Gue pengen ngeliat gimana cara lo ngajar nih anak yang...ergh, udahlah, gue nggak mau bahas." Ujar Leo, yang langsung gue plototin.

Dia terkekeh dan langsung beralih menatap ke arah lain.

"Eh, itu bukannya Zeno?" Tanya Dian tiba-tiba.

Kami semua sontak langsung menoleh seketika. Dan bener, di sana ada Zeno yang make baju basket dan lagi mendribel bola dengan orang-orang yang juga lagi bermain di sana.

Gue mengerinyit, "Sejak kapan dia ada di situ?" Gumam gue.

"Ayok, langsung aja yok belajarnya Ken." Ujar Wira semangat. Gue langsung menoleh dan mengangguk setelahnya.

Wira berjalan lebih di depan gue menuju lapangan. Sedangkan Reta dan yang lainnya langsung duduk dan mengambil posisi yang nyaman untuk memperhatikan gue latihan. Tapi gue nggak yakin kalo mereka ngeliatin dan malah ngeliatin Zeno yang saat ini melempar bola ke arah jaring itu.

Dan demi apa, bola nya masuk!

Gue yang melihat itu berhenti sebentar dan menatap Zeno yang kini juga menatap gue dengan senyum sombong yang seakan-akan mengatakan kalo gue nggak bisa memasukkan bola itu ke gawang seperti dia.

Gue menggeram dan misuh-misuh sendiri melihat Zeno. Kurang ajar sekali dia pamer di depan gue! Liat aja, kalo gue udah pinter olahraga. Gue bakal pamerin ke dia. Liat aja!

"Oke, sekarang untuk pemanasan. Lo lari dulu ngelilingin lapangan ini dua kali." Ujar Wira, yang langsung gue anggukin.

Dengan semangat membara, gue langsung start lari dan memutari lapangan. Sesekali gue menoleh ke arah Zeno yang ternyata sudah nggak ada sosoknya di sana.

Cih, jadi tadi dia masukin bola cuma buat pamer ke gua gitu? Sialan. Awas aja ya.

Gue mempercepat larian gue dengan perasaan kesel mengingat muka songong Zeno tadi. Melihat mukanya itu, pengen banget gue bejek-bejek sampe mukanya berubah dan menjadi Squidward.

Ih, gue kesel!

"Kalo nggak kuat lari cepet, mending santai aja." Suara Zeno tiba-tiba yang mengejutkan gue.

Dia saat ini udah ada di samping gue dan menyamai langkah larian gue dengan keringat yang udah membanjiri wajahnya.

"Sejak kapan lo di situ!?" Ujar gue dengan suara yang sedikit terputus-putus karena gue mulai lelah. Walaupun gue udah satu kali memutari lapangan ini. Tetep aja gue udah kecapekan karena gue lari dengan cepat dan juga lapangannya lumayan luas.

"Sejak gue ngeliat lo lari cepet. Gue tau lo lagi kesel. Tapi dengan lo lari cepet kayak gini. Lo bakal kecapekan dan nggak bisa lanjut belajar lagi." Ujarnya, dan entah kenapa nadanya terdengar lembut di kuping gue.

Tapi walaupun begitu. Gue tetep natap dirinya kesel.

"Bodo amat, bukan urusan lo!" Ujar gue dan mempercepat lari gue dan mendahuluinya di belakang gue.

Dan setelah itu, ucapan Zeno yang gue abaikan terjadi. Gue kecapekan dan minta untuk lanjutin besok belajarnya.

"Padahal cuma lari. Tapi lo udah minta selesai? Mesti ekstra nih gue ngajarin lo nya." Ujar Wira setelah melihat gue terkapar dengan napas ngap-ngapan.

Wira mendesah, "Yaudah deh, kita lanjut besok aja." Ucapnya. Gue cuma mengangguk menyetujuinya.

"Yaelah, Ken. Belum juga setengah jam gue disini. Dan udah mau pulang gitu aja? Nggak seru ah." Celetuk Leo.

"Nggak juga kok. Gue mau gabung sama anak-anak yang lagi maen basket itu. Lo mau ikutan?" Tawar Wira.

Leo nggak langsung jawab dan menatap Reta terlebih dahulu. Setelah mendapatkan anggukan dari Reta, Leo pun langsung mengangguk semangat.

"Kuy! Kita tunjukin kekuatan kita sama mereka. Dan juga gue penasaran sama anak yang nyetak skor tadi. Mukanya songong banget anjir!" Ujarnya yang mengarah ke Zeno yang lagi-lagi gue liat lagi mendribel bola.

Gue baru aja menimpali ucapan Leo. Tapi terlambat karena mereka berdua berjalan ke arah lapangan basket. Gue yang melihat itu tersenyum kecut.

"Yuk liat, yuk. Kayaknya seru nih." Ujar Shinta menggebu. Dian mengangguk, dan dengan tanpa menghiraukan gue, mereka bertiga menyusul Wira dan Leo ke lapangan, menyisahkan gue sendiri yang masih mengatur napas lelah.

Setelah merasakan napas gue sudah agak tenang. Gue bangkit dan memutuskan untuk balik kerumah untuk mengambil minuman.

Bunda sempet nanyain kemana Wira. Gue cuma jawab seadanya dan mengambil botol minuman dingin dan meneguknya habis.

Gue duduk sebentar di meja makan untuk menyegarkan tubuh gue untuk melanjutkan kegiatan yang belum gue selesain. Ya walaupun mungkin nanti kerjaan gue cuma ngeliatin mereka main basket seperti halnya temen-temen gue lakukan.

Setelah merasa lebih baik, gue bangkit dari duduk gue dan kembali ke arah kulkas untuk mengambil botol air dingin lagi untuk persiapan siapa tau kecapekan kayak tadi.

Tapi saat gue udah di depan gerbang untuk menuju ke lapangan. Sosok Zeno muncul di depan gue dengan wajah yang penuh keringat. Dia berjalan ke arah gue dan dengan cepat menyambar botol minum yang gue pegang dan membukanya lalu meneguknya.

Gue yang mendapat perlakuan tiba-tiba itu cuma melongo melihatnya meneguk minuman yang gue bawa. Setelah hampir habis isi botol itu, dia mengembalikannya ke arah gue.

Dengan senyum yang di pasangnya, dia berkata.

"Thanks." Lalu pergi begitu aja meninggalkan gue yang cuma bisa menatapnya berjalan ke arah rumahnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel