Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8

Setelah kejadian sore itu, entah di sengaja atau nggak. Tiap kali gue belajar di taman komplek, selalu ada Zeno di sana.

Gue nggak tau juga sih, dia itu emang selalu kesana atau nggak. Tapi yang jelas dia menganggu banget. Dikit-dikit ngatain gue. Kadang juga jailin gue kayak kemaren.

"Pemain basket itu untuk orang yang tinggi. Bukan pendek kayak lo. Mau seberapa kali lo nyoba juga nggak bakal bisa masuk tuh bola." Ujarnya.

Gue cuma mencibir dan mencoba berusaha untuk memasukkan bola ke jaring. Tapi hasilnya nihil dan gue nggak jadi untuk mempermalukan Zeno dengan kata-katanya sendiri.

Sialan emang.

Dan hari itu pun berjalan nggak sesuai harapan lagi seperti hari-hari sebelumnya.

"Bunda, aku berangkat, ya." Ujar gue setelah menyelasaikan sarapan terlebih dahulu.

Bunda mengangguk mengiyakan, gue yang melihat itu langsung bangkit dan menyusul Ayah yang lagi manasin mobilnya di depan.

"Udah siap?" Tanyanya, gue mengangguk sebagai jawaban.

"Bentar, Ayah ambil tas kerja dulu." Gue mengerinyit.

"Ayah langsung pergi kerja? Ini kan masih pagi." Tanya gue. Ayah cuma mengangguk dan melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam rumah.

Tanpa menunggu Ayah keluar dari rumah, gue memilih untuk masuk ke dalam mobil terlebih dahulu. Tapi baru selangkah gue jalan, suara Zeno sukses ngebuat gue noleh ke arahnya.

"Oy, Cong. Bareng gue yok!" Ujarnya sedikit teriak. Gue yang mendengar itu mengerinyit. Tapi nggak lama, karena otak gue langsung berjalan dan mencerna ucapan dari Zeno itu.

Gue menggeleng, "Ogah! Gue bukan orang bego yang bakal kena kejailan lo lagi!" Ujar gue yang ikut teriak.

Kini gantian Zeno yang mengerinyit, dia yang lagi naik motor langsung menjalankan motornya mendekati pembatas pagar rumah.

"Maksud lo?" Tanyanya.

Gue nggak ngejawab dan mendengus ke arahnya. "Nggak usah sok polos deh. Gue tau kok niat lo nawarin gue. Thanks, but no." Ujar gue dan tanpa menghiraukan Zeno gue langsung melangkah dan masuk ke dalam mobil Ayah.

Merasa penasaran apa yang bakal di lakuin Zeno. Gue ngeliat dari kaca spion mobil dan cuma mendapati Zeno yang mendengus lalu memutar balik motornya dan menghilang dari pandangan gue.

"Rencana lo nggak bakal berhasil lagi buat nurunin gue di jalan kayak dulu Zen, haha" ujar gue pada diri sendiri, lalu setelah itu fokus gue beralih ke hp gue untuk menunggu Ayah keluar dari rumah.

***

"Oke, kelompoknya udah di bagi. Jadi untuk minggu depan Bapak harap kalian semua sudah menyelesaikan tugas kali ini. Dan juga, kalian harus serius. Karena nilai ini akan Bapak masukkan ke dalam rapor dan kakak kelas yang terlibat juga mendapatkan nilai tambahan dari ini. Jadi kalian jangan main-main ya!" Ujar Pak Sudi yang langsung di iyain seluruh kelas termasuk gue.

Namun setelah itu gue langsung nunjuk tangan sebelum Pak Sudi mengalihkan ke pembahasan selanjutnya.

"Iya, ada apa Kenta?" Tanya beliau.

Gue berdeham terlebih dahulu sebelum akhirnya gue menjawab dengan nada memelas.

"Pak, saya bisa ganti temen kelompok nggak? Saya nggak mau satu kelompok sama Zeno." Ujar gue yang langsung mendapat respon tatapan satu kelas. Namun gue nggak peduli dan masih menatap harap ke Pak Sudi.

"Loh kenapa? Kalian kan dulu satu sekolah dan nilai kalian nggak jauh beda. Kan bagus untuk kamu. Jadi nggak perlu susah-susah karena kalian mungkin memiliki pemikiran yang sama untuk tugas ini. Benarkan, Zeno?" Ujarnya.

Gue langsung menoleh ke arah Zeno dan melihatnya mengangguk.

"Tuh, Zeno aja membenarkan. Apa yang ngebuat kamu keberatan?" Tanya Pak Sudi lagi yang mana ngebuat gue langsung menoleh ke arahnya lagi.

Saat dia nanya gitu, pengen banget gue langsung jawab dengan lantang kalo Zeno itu musuh gue. MUSUH! mana mungkin bisa kompak kalo kita satu kelompok. Yang ada ancur dan penuh cekcok mulut dari bibir judesnya Zeno.

Merasa nggak punya jawaban yang tepat, gue pun akhirnya memilih menggeleng.

"Nggak apa, Pak. Saya cuma berpikir kalo mungkin aja Zeno nggak mau satu kelompok sama saya. Tapi setelah melihat dia setuju. Okelah, saya nggak keberatan." Ujar gue akhirnya.

Pak Sudi cuma membalas perkataan gue ala kadarnya lalu melanjutkan pelajaran seperti sebelumnya. Gue yang nggak fokus malah nggak sengaja menatap Zeno yang juga menatap gue. Awalnya dia nggak sadar kalo kita bertatapan, tapi setelah sadar, lidah andalannya pun keluar dan mengejek gue seperti biasanya.

Melihat itu gue mendesah.

Orang kayak dia bakal kerja kelompok sama gue. Bakal kayak apa jadinya nanti?

"Hahhhh... Kenapa bencana selalu menimpa gue?" Ujar gue pada diri sendiri.

"Bencana apanya! Gue malah iri sama lo yang satu kelompok sama Zeno. Udah ganteng, pinter lagi. Yang ada ini rejeki nomplok." Celetuk cewek yang duduk sebangku sama gue.

Gue nggak berniat menanggapinya dan memilih untuk menaruh kepala gue di atas meja sampai akhirnya bunyi bel istirahat berbunyi dan seseorang mengetuk meja gue.

Gue mendongak dengan mata menyipit karena silau dan mencoba untuk melihat siapa orang yang ada di hadapan gue saat ini. Dan saat tau, gue langsung memilih melanjutkan aksi gue tadi dan mengabaikannya begitu aja.

"Bangun elah. Nggak usah sok putus asa gitu. Gue tau kok. Lo sebenernya seneng satu kelompok sama gue. Tapi karena elo malu untuk ngakuinnya, makanya lo bertingkah kayak gini. Iya kan?" Ujarnya percaya diri sekali.

Kuping gue panas seketika mendengar ucapannya. Gue pun kembali mendongak dan menatapnya kesal.

"Kenapa lo ngangguk sih tadi! Udah jelas banget tadi gue keberatan. Tapi elo malah dengan entengnya ngangguk. Kalo aja penghuni kelas ini bukan fans lo semua. Udah gue maki-maki dengan keras kalo lo itu sebenernya setan yang sesungguhnya. Sumpah deh, kenapa sih gue selalu satu kelas sama lo! Heran gue." Ujar gue menggebu, dan dengan gerakan cepat gue bangkit dan keluar dari zona kursi gue lalu mencoba melangkah untuk pergi menjauhi Zeno.

Namun nggak berhasil, karena tangan gue di cekal oleh Zeno.

"Mau kemana lo?"

Gue berbalik, lalu dengan sekali hentakan gue melepaskan genggamannya.

"Bukan urusan lo!" Ujar gue lalu mencoba untuk melangkah kembali. Tapi lagi-lagi tangan gue di pegang dan kini lebih erat.

"Lo nggak boleh kemana-mana. Lo ikut gue ke kelas 3. Kita temuin Kakak buat tugas kelompok ini." Ujarnya.

Gue menggeram seketika mendengar alasannya menghalangi jalan gue. Gue berbalik dan mengabaikan kalo tangan gue masih di genggam olehnya.

"Plis deh, Zen! Harus banget sekarang? Besok kan bisa. Tugasnya juga di kasih jangka waktu satu minggu. Masa iya elo mau ngerjainnya hari ini. Terlalu rajin lo!" Ujar gue yang nahan emosi dari tadi.

Namun ucapan gue cuma di tanggapi oleh gelengan kepalanya.

"Ckckck. Orang macem lo kok bisa peringkat dua, ya? Heran gue. Orang rajin malah di bilang terlalu rajin. Pantes aja lo selalu di bawah gue." Ujarnya yang kali ini sukses menohok gue.

Gue berdeham dan dengan pelan melepaskan tangan gue dari genggaman Zeno yang melonggar.

"Oke, oke. Gue ikut lo! Puas?" Ujar gue akhirnya.

Dia menggeleng, "Belum. Kita belum ngerjain tugasnya. Kalo udah baru gue bisa bilang puas. Itu juga kalo hasilnya bagus." Ujarnya.

Gue memutar kedua bola mata gue.

"Banyak bacot lo!" Ujar gue kesel. Dia cuma ketawa menanggapinya.

"Diem lo! Jadi nggak nih!?"

"Jadi lah. Yok!" Ujarnya lalu meraih tangan gue dan menggenggamnya.

Gue yang mendapat perlakuan seperti itu, langsung dengan sigap menghempaskan tangannya.

"Udah gue bilang jangan sentuh-sentuh. Gue masih jijik sama tangan lo itu!" Ujar gue, dia berdecih mendengarnya.

Gue mengabaikannya, lalu tanpa basa-basi gue berjalan lebih dulu keluar kelas dan meninggalkannya untuk pergi ke lantai atas, tempatnya anak kelas tiga berada.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel