Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

16

"Oy cantik! Sini lo!" teriak Reta dari arah meja kantin paling pojok. Melambaikan tangannya menyuruh gue untuk menghampirinya.

Gue yang mendengar itu langsung menoleh dan melotot ke arahnya. Gue melotot bukan karena marah, tapi gara-gara gue malu di liat semua orang yang mendengar teriakan Reta yang menjurus ke arah gue.

Gue menoleh menatap Zeno yang berdiri di samping gue, lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia mendahului gue setelah memberikan gue anggukan sebelumnya. Tanpa berpikir panjang pun gue langsung menghampiri Reta dan yang lainnya setelah mendapat persetujuan dari Zeno tadi.

"Cie yang udah baikan. Kapan nih jadiannya?" goda Shinta setelah gue sampai dan duduk di kursi kosong yang tepat berada di tengah-tengah mereka. Menyadari itu, gue tau. Gue bakal di introgasi sebentar lagi.

"Kapan jadiannya itu nggak penting. Yang penting sekarang lo cerita, bagaimana bisa lo sama dia baikan setelah lo sendiri dengan telak bilang Zeno musuh bebuyutan lo selama bertahun-tahun!" ujar Reta yang membuat Shinta dan Dian kembali fokus, lalu kemudian memulai sesi tanya jawab pengintrograsian tentang gue dan Zeno yang sekarang sudah menjadi teman. Atau mungkin TTM?

Shinta dan Dian mengangguk setuju atas pertanyaan yang di lontarkan oleh Reta barusan. Sedangkan gue sendiri menghirup napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Setelah itu gue menatap mereka bertiga bergantian.

"Gue nggak tau harus mulai dari mana. Tapi inti dari semuanya tuh ya. Zeno punya rasa sama gue yang nggak gue tau sejak kapan. Dan dia pengen buktiin itu dengan cara kita jadi temen lebih dulu. Gue yang waktu itu syok dan nggak ngerti maksud dari ucapannya cuma bisa bengong. Gue nggak tau apa yang gue harus lakukan. Sampai akhirnya gue minta waktu untuk iyainnya." ujar gue yang mulai menjelaskan awal mula hubungan gue dengan Zeno yang statusnya sudah menjadi teman.

"Terus lo iyain setelah lo tau jawabannya?" tanya Shinta yang lebih dulu mengerti dari penjelasan gue barusan. Reta dan Dian menoleh ke arah Shinta lalu beralih menatap ke arah gue.

Gue mengangguk sambil tersenyum malu.

"Iya. Gue udah ngasih jawabannya malem minggu kemaren. Dan kejadian malam itu juga yang buat gue sadar kalo gue sepertinya punya rasa juga sama Zeno." ujar gue sambil mengingat-ingat kejadian semalam yang mana itu adalah pertama kalinya buat gue melakukan hal dewasa .

Ingatan tentang bagaimana bibir Zeno mengecup bibir gue malam minggu kemarin membuat jantung gue kembali berdetak lebih cepat, dan membuat mata gue otomatis menatap ke arah Zeno yang kebetulan juga menatap gue di kursi yang berjarak tiga meja dari tempat gue dan sahabat-sahabat gue duduk.

"Wah. Kalian beneran lagi bucin ya. Tapi tetep aja gue heran. Gimana bisa si Zeno punya rasa sama lo, sedangkan kalian sendiri nggak pernah keliatan akur ataupun deketan." ujar Dian. Yang akhirnya bersuara setelah hampir 5 menit berdiam diri sambil memperhatikan percakapan yang kita lakukan.

Gue mengedikkan bahu, "Gue juga nggak tau. Lagian nggak penting juga kan? Yang penting gue sama Zeno, sama-sama lagi mencari tau kebenaran tentang perasaan kami masing-masing." ujar gue dengan bangga menatap mereka bertiga, setelah itu kembali beralih menatap Zeno yang kini sudah fokus memakan pesanannya yang gue yakin adalah mi goreng.

Reta berdecih, "Bahasa lo. Sok-sokan mencari tau." ujarnya.

"Biarin." balas gue sambil menjulurkan lidah mengoloknya. Setelah itu gue bangkit dari duduk gue dan menatap sahabat-sahabat gue satu-persatu.

"Oke. Udah kan introgasinya? Gue cabut ya. Gue mau ke gedung IPS. Mau ke kelasnya Kak Wira." ujar gue berpamitan.

"Ada apa lo mau ketemu sama Kak Wira?" tanya Reta yang mengerinyitkan dahinya menatap gue. Gue yang melihat itu mendengus.

"Biasalah. Mau latihan olahraga. Gue harus sering-sering latihan sekarang. Gue juga punya permintaan buat di wujudin sama Zeno. Ya walaupun besar kemungkinannya itu kecil untuk gue menang. Tapi gue nggak mau nyerah gitu aja! Usaha nggak bakal membohongi. Gue pasti bisa!" ucap gue menyemangati diri sendiri dengan satu tangan gue kepal dan gue angkat sampai sejajar dengan dada gue.

Dian dan Shinta bertepuk tangan lebay, lalu turut menyemangati gue untuk mengalahkan Zeno di taruhan kali ini. Namun nggak dengan Reta, dia malah menarik tangan gue dan membuat gue kembali duduk seperti sebelumnya.

"Tunggu dulu. Maksud lo mau menang itu gimana? Taruhannya masih lanjut?" tanyanya.

Gue mengangguk, "Masih. Katanya dia punya permintaan yang harus gue kabulkan apapun yang terjadi. Dan kemungkinan itu berhubungan dengan ranjang." ujar gue sambil mengedikkan bahu nggak terlalu yakin akan yang gue ucapkan barusan.

Mendengar itu, mereka bertiga terlihat syok dengan mulut mereka yang di tutupi dengan tangan mereka masing-masing.

"D-dia bilang gitu ke elo? Parah! Ternyata Zeno orangnya mesum." ujar Reta lalu menoleh kebelakang menatap Zeno yang lantas ngebuat gue juga turut menatap ke arahnya.

Reta mengepalkan tangannya lalu mengisyaratkan tangan itu seperti hendak memukul Zeno dari kejauhan. Namun sayang, Zeno bahkan nggak ngeliat perbuat Reta itu. Dia masih asik memakan-makanannya. Poor Reta.

Reta berbalik lalu menatap gue dengan pandangan serius.

"Kalo sampe beneran permintaannya tentang ranjang. Jangan lupa kontek gue ya." ujar Reta yang ngebuat gue bingung menatapnya.

"Maksud lo apa? Buat apa gue kontek lo kalo itu beneran permintaan Zeno?" tanya gue yang di angguki dua cewek lainnya.

"Gue mau ikut sama kalian. Gue mau liat gimana kalian ngelakuinnya. Gue mau ngerekam, terus gue jadiin koleksi. Gitu maksud gue!" ujar Reta yang langsung ngebuat gue syok dengan melotot menatapnya.

Bukan hanya gue, Dian dan Shinta turut terkejut dengan ucapan Reta barusan.

"Gila lo! Udah ah. Gue mau cabut, entar keburu masuk lagi." ujar gue yang lebih memilih untuk langsung bangkit tanpa menunggu persetujuan dari mereka lagi.

Namun langkah gue langsung berhenti setelah suara Reta terdengar untuk menyuruh gue berhenti. Gue nurut, dan membalik badan gue untuk menatapnya.

"Apa lagi, Re?" tanya gue.

"Lo mau ke gedung anak IPS kan?" tanya Reta balik. Gue langsung mengangguk tanpa menjawabnya.

"Titip salam sama Leo ya! Bilang maaf gue nggak bisa ke kelasnya hari ini." ujarnya yang ngebuat gue memutar kedua bola mata gue. Setelah itu tanpa menunggu lagi, gue berbalik dan melanjutkan jalan gue yang sempat tertunda karena Reta tadi.

Baru aja gue selesai keluar dari area kantin. Sebuah tangan langsung kembali membuat langkah gue berhenti dan sontak menoleh ke belakang untuk melihat siapa pelaku yang udah nunda perjalanan gue menuju kelas Kak Wira.

Niatan gue untuk marah karena udah di tahan hilang begitu aja saat melihat Zeno lah yang sudah menahan lengan gue dan membuat gue berhenti untuk berjalan. Gue tersenyum ke arahnya.

"Lo udahan makannya?" tanya gue begitu seretan Zeno berakhir di pojokan dekat tempat duduk depan kelas.

Zeno mengangguk, "Hari ini gue nggak bisa nganter lo pulang. Gue ada urusan habis pulang sekolah ini. Lo nggak apa kan naik angkot? Atau nebeng Reta dan temen-temen lo tadi." ujarnya. Mendengar itu, gue tersenyum lalu mengangguk menatapnya.

"Nggak apa kok. Biar gue bilang ke Reta dan yang lain ntar. Emangnya lo ada urusan apa?" tanya gue, dan Zeno langsung menggelengkan kepalanya.

"Nggak terlalu penting kok. Lo nggak perlu tau. Jadi beneran nggak papa nih?" ujarnya yang langsung saja gue anggukin sebagai jawaban.

Zeno tersenyum, lalu sedetik kemudian dia mengusak rambut gue cepat.

"Yaudah, kalo gitu gue balik ke kelas duluan ya." ujarnya dan tanpa menunggu persetujuan dari gue, dia berlalu begitu saja meninggalkan gue yang terbengong menatap kepergiannya hingga tubuhnya nggak terlihat lagi setelah dia berbelok di persimpangan.

"Udah. Gitu aja?" tanya gue pada diri sendiri begitu sosok Zeno sudah nggak ada lagi. Namun gue segera mengedikkan bahu, dan tanpa memikirkan apa-apa lagi, gue melanjutkan langkah gue untuk menuju kelas Wira. Dan kini gue bertekad. Siapapun yang ngebuat gue menunda untuk kesana, gue bakal makan tuh orang hidup-hidup! Liat aja. Huh!

***

"Kalo mau bertahan lama buat keliling lapangan itu, lo harus mengatur napas lewat hidung. Jangan lewat mulut. Ntar perut lo sakit, dan akhirnya lo kecapekan kayak pertama kali kita latihan." ujar Wira yang ikut berlari santai di samping gue.

Sekarang udah sore dan baru beberapa menit gue dan Wira mulai latihan olahraga di taman komplek. Dia nyuruh gue untuk pemanasan dengan cara keliling lapangan dua kali. Dan ya, dia ngasih gue saran seperti barusan.

Gue mengangguk sambil tersenyum. Setelah itu gue mencoba saran dari Wira untuk mengatur napas lewat hidung gue tanpa menggunakan mulut seperti yang gue lakukan saat gue berlari.

"Di pelajaran penjas lo udah belajar tentang basket?" tanya Wira di sela-sela larian kami yang sudah memutari lapangan satu kali. Gue yang mendengar itu menoleh lalu mengangguk kemudian.

"Udah. Tapi gue masih belum paham. Gue selalu miss buat masukin bolanya ke ring. Dan lo tau kan Kak artinya apa? Nilai gue anjlok." ujar gue kembali mengingat hal-hal memalukan saat pelajaran olahraga di mulai.

Gue sedari dulu sebenernya males banget sama pelajaran olahraga. Gue nggak suka sama kegiatan yang bikin gue capek walaupun itu bermanfaat. Iya, tau gue cowok. Tapi semua orang bebas memilih kan? Gue nggak peduli sama ucapan orang lain. Yang penting gue bisa bebas memilih tanpa membohongi diri gue sendiri.

Wira terkekeh, lalu memberhentikan lariannya menjadi jalan santai. Gue yang melihat itu pun turut berhenti dan berjalan santai di sampingnya.

"Oke, kalau gitu hari ini kita latihan ngelempar bola basket ke ring ya. Besoknya kita bakal latihan cara menggiring dan menggocek bolanya. Gimana?" tanya Wira yang menatap gue dengan jarinya yang menunjuk gue meminta persetujuan.

"Kalo gue mah nurutin kata pembimbingnya aja. Orang gue nggak tau apa-apa." ujar gue yang terkesan sudah pasrah dengan apapun yang bakal di pelajarin. Wira kembali terkekeh mendengarnya.

"Yaudah kalo gitu kita istirahat dulu. Habis itu kita langsung lanjut ke latihannya." ucapnya. Setelah itu, tanpa seizin gue, dia menarik tangan gue berjalan ke arah tempat duduk yang memang sudah di sediakan di sana.

Setelah sampai, baru Wira melepaskan genggaman tangannya dari lengan gue. Dia menyadari perbuatannya, lalu dengan pandangan minta maaf dia memberi gue botol minumnya.

"Sorry. Gue nggak bermaksud buat narik tangan lo gitu aja." ujarnya yang cuma gue anggukin sebagai jawaban. Setelah itu gue menerima botol minumnya dan meminum air itu dalam sekali teguk.

Wira yang sedari tadi memperhatikan gue minum, kini memilih mendudukan dirinya dan berdeham pelan sambil menatap gue.

"Sebenernya gue mau nanya ini ntar aja. Tapi gue bener-bener penasaran. Jadi gue tanya sekarang aja ya?" tanyanya yang bikin gue berkerut bingung menatapnya.

Gue mengembalikan botol minum tadi, lalu mengambil tempat duduk di sebelahnya.

"Apa Kak?"

"Ini soal WA lo dua hari yang lalu. Lo bilang lo malmingan sama Zeno. Tapi yang gue tau dan lo sendiri yang bilang kalau kalian musuhan. Maksudnya apa? Gue nggak paham." ujarnya sambil menatap gue dengan pandangan penuh tanda tanya.

Gue yang melihat itu cuma bisa menghembuskan napas, lalu membalas menatapnya serius.

"Gue juga belum paham gimana jelasnya. Tapi intinya, gue sama Zeno itu udah temenan. Lo nggak perlu tau gimana ceritanya, Kak. Karena ini juga masih sedikit rumit buat gue." ujar gue yang menepuk bahunya agar dia mengerti dan nggak bertanya tentang gue dan Zeno lebih lanjut.

Wira yang tadinya menatap gue bingung, kini berganti dengan tersenyum lalu tanpa aba-aba, dia mengusak rambut gue sedikit lama. Gue yang menerima perlakuan itu cuma terdiam menatapnya yang masih tersenyum menatap gue. Setelah itu dia berdiri dan menarik kembali tangannya dari kepala gue yang tadi mengusak rambut gue hampir semenit lamanya.

"Udah yuk lanjut latihannya. Ntar nambah sore. Gue mau ngerjain tugas nih ntar malem. Nih pegang bolanya, gue tunggu di lapangan ya." ujarnya melemparkan bola basket ke arah gue. Setelah itu dia berlari menuju lapangan mendahului gue yang masih terbengong menatapnya berlari.

"Untung lo ngelemparnya nggak kena muka gue Kak. Kalo kena udah gue gibeng lu. Kan sayang muka gue yang cantik ini ternodai." ujar gue yang selanjutnya jijik sendiri mendengarnya.

Lalu setelah itu, tanpa memikirkan apa-apa lagi. Gue menyusul Wira dengan berjalan santai sambil memegang bola basket yang memang sudah dia bawa dari rumahnya.

"Udah siap?" tanyanya setelah gue sampai di depannya. Gue mengangguk dengan semangat dan langsung di balas dengan senyuman yang nggak gue tau apa motifnya.

"Yaudah, sekarang lo berdiri berhadapan di depan ring disana. Inget, jaraknya minimal 5 meter di depan ring ya." ujarnya dan mendorong tubuh gue yang langsung berhadap-hadapan dengan ring di depan gue.

Gue menoleh ke samping menatap Wira.

"Terus apa nih? Gue langsung lempar nih bola ke situ?" tanya gue sambil memperagakan bola basket yang ada di tangan gue untuk di lemparkan ke dalam ring.

Wira langsung menggeleng setelah mendengar ucapan gue barusan.

"Nggak langsung lempar juga kali. Ada tekniknya buat ngelempar bola ke dalam ring. Dan tekniknya tuh ada tiga." ujarnya yang ngebuat gue langsung mengerinyit menatapnya.

"Banyak banget. Padahal kan tinggal lempar doang. Kalo nggak masuk berarti belum beruntung." ujar gue yang sedikit sewot dengan teknik yang jumlahnya ada tiga.

Lagian ngelempar bola kok pake teknik segala. Kan tinggal lempar aja. Apa susahnya?

"Katanya udah belajar tentang basket. Kok tentang teknik melempar aja nggak tau? Ketahuan nih kalo lo adalah salah satu murid yang suka ngobrol waktu guru lagi ngejelasin. Ya kan?" ujar Wira yang membuat gue langsung tertohok seketika.

Dia bener, gue emang nggak pernah serius kalo lagi waktunya pelajaran olahraga. Gue nggak pernah dengerin dan memilih untuk ngobrol sama ciwi-ciwi di kelas gue.

Gue mengangguk mengiyakan ucapan Wira barusan. Lalu setelah itu terdengar kekehan Wira dari arah samping gue. Gue menatapnya gemas lalu dengan satu tangan yang bebas, gue menabok bahunya sedikit keras.

"Udah ketawanya. Nggak lucu. Kapan nih lo ngajarin gue tekniknya." ujar gue.

"Iya, iya. Gue ajarin. Sabar ngapa, jangan nabok-nabok gue juga. Sakit nih." ujarnya sambil mengelus-ngelus bahunya yang gue tabok tadi.

"Oke. Jadi teknik pertama itu adalah melempar sambil berdiri. Tapi nggak langsung lempar aja. Ada caranya, gini nih." ucap Wira, lalu dia mulai berjalan kebelakang gue dan menaruh kedua tangannya tepat di kedua lengan gue persis terlihat seperti dia memeluk gue dari belakang.

Namun langsung gue tepis pikiran itu setelah mengingat kalau sekarang gue lagi latihan, dan nggak ada konteks apapun yang ngebuat gue harus berpikir kalo Wira sengaja melakukannya.

"Pertama-tama, lo berdiri dengan posisi siap. Lalu, bola dipegang dengan kedua tangan di samping atas kepala, kedua sikut diangkat, dan pandangan mata tepat ke ring basket. Lemparkan bola menggunakan kedua tangan dengan cara didorongkan ke sasaran, posisi badan tetap di tempat. Untuk menambah kekuatan tembakan, dorongan tangan harus dibantu dengan lecutan pergelangan tangan. Kayak gini." ujarnya, lalu mendorong kedua tangan gue yang ada di atas kepala untuk melempar bola ke dalam ring.

Gue masih terdiam dan menatap bola yang nggak masuk ke dalam ring itu dengan diam sambil memperhatikan Wira yang mengambil bola itu dan menyerahkannya ke gue.

"Udah tau kan? Sekarang lo coba buat ngelempar dengan teknik yang gue sebut tadi." ujarnya.

Gue menatap bola itu dan Wira bergantian. Lalu setelah itu gue mengangguk dan mengambil bola dari tangan Wira. Gue tersenyum menatapnya dengan pandangan minta maaf karena sudah berpikir yang nggak baik tentangnya. Setelah itu gue bersiap dengan posisi yang di sebutkan oleh Wira barusan.

Namun belum aja gue melemparkan bola itu ke dalam ring. Sebuah teriakan langsung ngebuat gue membatalkan aksi gue dan menoleh ke belakang melihat sang empunya suara itu.

"KENTA PULANG!"

Disana, berdiri seorang Zeno dengan tangan yang melambai ke arah gue serta pandangannya yang menatap gue kesal (?)

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel