Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

17

Gue terbangun setelah menyelami mimpi yang baru beberapa detik berlalu. Gue menatap langit-langit kamar untuk menetralisir otak dan juga mengisi energi gue yang masih terasa lemas karena baru saja bangun dari tidur.

"Udah bangun?" tanya seseorang yang jelas sekali gue tau siapa pemiliknya. Gue menoleh ke asal suara, dan mendapati sosok Zeno yang lagi duduk di meja belajar sambil menatap gue dengan kacamata yang bertengger di hidungnya.

Gue mengangguk dan tersenyum tipis menanggapinya.

"Lo lagi belajar? Di kamar gue?" tanya gue, lalu mengambil posisi duduk dan menghadap ke arahnya.

"Seperti yang lo liat. Lo keringetan, habis mimpi buruk ya?" tanya Zeno dan langsung gue jawab dengan gelengan.

"Bukan mimpi buruk. Gue barusan mimpi tentang masa lalu." ujar gue lalu menunduk untuk mengingat-ingat kembali apa yang gue mimpikan tadi.

"Oh ya? Coba cerita sama gue. Gue pengen denger dan pengen tau masa lalu lo kayak gimana." ucap Zeno.

Gue mendongak dan melihat sosok Zeno yang sudah melepaskan kacamatanya berjalan mendekat ke arah gue. Dia duduk di samping gue lalu tersenyum setelahnya.

"Tapi kalo maksud dari masa lalu lo tentang masa SMP kita. Gue nggak perlu nanya deh. Gue udah tau semuanya." lanjutnya lagi yang di sertai kekehan di akhir kalimat.

Gue mendengus lalu mengubah posisi duduk gue bersandar dengan senderan ranjang dan kembali menghadap Zeno yang berada di depan gue.

"Bukan itu. Ini masa lalu saat gue berumur 5 tahun. Gue nggak begitu yakin, tapi kayaknya ada sesuatu yang gue lupain waktu itu. Dan ini kedua kalinya bagi gue mimpi tentang hal yang sama." jelas gue. Zeno cuma mengangguk-angguk tanpa mengalihkan pandangannya dari gue.

"Emang kayak gimana mimpinya?"

Mendengar pertanyaan itu, gue akhirnya menghembuskan napas lalu bersiap untuk menceritakan perihal mimpi gue yang gue sendiri nggak begitu yakin maknanya apa.

"Jadi...di mimpi gue tadi itu ada bocah laki-laki kecil yang nangis sambil bawa koper yang di genggam di tangannya. Dia nggak sendirian, dia sama Mamanya. Dia nangis kejer sambil merengek-rengek bilang kalo dia nggak mau pindah dan mau tetep bersama Tata." ujar gue. Zeno menyatukan kedua alisnya menatap gue bingung.

"Tata?" tanyanya.

"Itu panggilan gue waktu kecil." jawab gue dan langsung mendapat tawaan Zeno yang meledak mendengar kenyataan tentang nama panggilan masa kecil gue. Sedangkan gue sendiri cuma menatapnya bete karena masih tertawa dan belum selesai mendengarkan cerita gue.

"Udah kali ketawanya. Nggak ada yang lucu sama sekali dari nama itu" ujar gue yang udah mulai jengah mendengar suara tawanya.

"Sorry, sorry. Gue kelepasan. Nama panggilan lo bikin gue ngakak geli dengernya. Siapa coba yang nyaranin nama itu buat lo yang jelas-jelas cowok ini." ujar Zeno yang sudah meredakan tawanya dan di gantikan dengan kekehan biasa.

"Ayah. Dia bilang, waktu itu gue emang keliatan kayak cewek. Rambut gue dulu panjang, eh nggak deng. Maksud gue gondrong gitu kayak cewek-cewek tomboy. Nah, disitu Ayah kepikiran buat manggil gue Tata. Gue yang belum ngerti apa-apa cuma nerima tanpa protes. Lagi pula bocah laki-laki itu namanya kayak cewek juga. Rara. Seinget gue dia nggak ada kesannya ceweknya. Dia cuma keliatan imut karena waktu itu masih umur 5 tahunan." jelas gue sambil mengingat-ingat kejadian bertahun-tahun lamanya itu.

Zeno menatap gue dengan pandangan menilik lalu sedetik kemudian dia mengulurkan tangannya ke hadapan gue. Gue mengerinyit bingung.

"Apa?" tanya gue.

"Gue minta buktinya. Masa iya lo dulu kecil keliatan kayak cewek. Gue nggak percaya, mana fotonya biar gue liat." ujarnya sambil menggoyang-goyangkan telapak tangannya yang masih berada di hadapan gue.

Gue menggeleng lalu menepiskan tangan Zeno pelan. "Nggak. Ntar lo ketawain lagi. Tadi aja nama gue lo ketawain, apa lagi pas lo ngeliat foto masa kecil gue nanti. Fyi, di situ gue lagi masang ekspresi mewek gegara Rara yang ninggalin gue pindah sekolah." ucap gue yang langsung menyesalinya. Karena gue tau, pasti itu bakal bikin Zeno tambah penasaran.

"Kayaknya lo deket banget sama tuh Rara. Dia cowok kan? Apa hubungan lo sama dia? Nggak mungkin kan lo udah homo di umur segitu?" ujar Zeno lalu menggeser tubuhnya mendekatkan duduknya ke arah gue.

Gue yang mendengar itu cuma bisa menghembuskan napas. Lalu merebahkan tubuh gue di kasur dengan posisi menyamping untuk melihat Zeno yang juga sudah merubah posisinya jadi duduk bersandar di tempat gue barusan.

Gue menaruh kedua tangan gue sebagai tumpuan bantal kepala dan menatap langit-langit. Sampai akhirnya gue mengatur napas gue perlahan dan kembali beralih menatap Zeno yang masih memandangi gue.

"Gue nggak begitu yakin. Tapi kayaknya dia cowok pertama yang bikin gue jadi gay gini. Dan juga, dia adalah orang pertama mencium gue tepat di bibir." ujar gue.

Nggak ada reaksi langsung dari Zeno. Dia masih memandangi gue dengan tatapan yang sama, sampai akhirnya dia mengalihkan pandangannya dari gue dan membuang muka ke arah lain.

Gue yang melihat itu sontak langsung bangun dari baring dan memegang lengan Zeno.

"Zen?" panggil gue pelan.

Dia nggak menoleh dan malah melepaskan tangan gue yang memegang lengannya.

"Seharusnya gue tau. Kalo gue bukan yang pertama bagi lo." ujarnya dingin dan sedetik kemudian dia beranjak bangun dari kasur gue dan berjalan ke arah meja belajar mengambil barang-barang miliknya. Setelah itu, tanpa memperdulikan gue, dia berlalu begitu saja keluar ke arah pintu balkon sampai sosoknya nggak terlihat lagi di mata gue setelah dirinya masuk ke dalam kamarnya.

Gue sendiri yang nggak sempet buat ngomong ataupun menahan Zeno cuma terbengong cengo di depan pintu sambil memandangi  pintu kamar Zeno yang sudah tertutup rapat.

"Dia kenapa?" gumam gue yang bener-bener bingung dengan sikapnya barusan.

Masa iya, dia cemburu sama bocah laki-laki yang selama ini nggak pernah gue tau besarnya udah kayak gimana?

Gue menghela napas berat.

Terkadang gue nggak habis pikir sama jalan pikiran dan sikap Zeno. Beberapa menit yang lalu dia ketawa dan bikin gue bete. Sekarang dia berkata dingin dan ngebuat gue merasa bersalah kayak gini.

Apa harus gue minta maaf?

Ya mungkin harus. Tapi nggak sekarang, gue yakin dia bakal nggak mau dengerin apapun dari gue untuk saat ini. Gue bakal ngomong sama dia besok.

***

Maksud gue besok itu ya sebelum berangkat sekolah seperti kemarin. Nggak kayak sekarang. Gue datang telat dan di hukum sampai akhirnya satu jam mata pelajaran terlewatkan.

Gue merutuki diri gue sendiri yang udah ceroboh karena mematikan alarm cuma buat liat jam. Habis itu tidur lagi. Sialan, gue ngantuk banget soalnya tadi subuh. Gue begadang dan berpikir kemungkinan-kemungkinan yang membuat Zeno marah sampai-sampai pesan dan telpon gue nggak di respon sama sekali.

Dan lebih parahnya, dia yang udah semingguan ini selalu ke rumah gue sebelum berangkat sekolah hari ini nggak dateng. Dan ini bisa di pastikan, Zeno bener-bener lagi marah cuma gara-gara cemburu sama bocah kecil yang masih belum bisa mencerna apa yang di perbuat waktu itu.

Gue pun juga waktu itu nggak ngerti kita ngapain. Gue ngeh nya pas udah masuk kelas 6 SD. Dan di saat kelas itu pula gue udah mengklaim diri gue adalah seorang gay setelah gue mimpi basah bersetubuh dengan laki-laki dan bukannya perempuan.

Gue nggak frustasi ataupun pake istilah masa penolakan. Gue langsung menerima diri gue dan langsung menceritakannya ke keluarga gue. Awalnya mereka marah dan berusaha sebisa mungkin untuk mengarahkan pemikiran gue ke jalan yang seharusnya. Namun semua usaha mereka nggak ada satupun yang berhasil.

Mereka udah nggak tau harus berbuat apa sampai akhirnya gue jatuh sakit dan menyebabkan gue nggak sadarkan diri karena terlalu banyak mengansumsi obat-obatan yang selalu mereka berikan saat berusaha untuk menyembuhkan gue dari pengakuan gue ke mereka.

Gue nggak begitu yakin apa yang terjadi selanjutnya. Tapi satu hal yang pasti, mereka udah menerima keadaan gue sepenuhnya. Terutama Ayah, Kak Kenni bilang, Ayah yang paling depresi saat gue menjalani koma waktu itu. Dan beliau jugalah yang mengusulkan pertama kali untuk menghentikan segala usaha yang mereka lakukan untuk mengembalikan gue ke jalan yang mereka pilih.

Gue seneng tentu saja. Semuanya jadi begitu mudah bagi gue setelah keluarga sendiri menerima gue apa adanya. Gue bebas bersikap di depan mereka tanpa menutup-nutupi jati diri gue. Dan gue bersyukur memiliki keluarga seperti mereka.

Oke, kembali ke keadaan.

Sekarang gue berjalan masuk ke dalam kelas yang sudah terdapat guru pelajaran pertama yang saat ini lagi menatap gue dengan tatapan seperti biasanya. Ramah.

"Kenta? Tumben kamu telat." ujar Bu Lita menghentikkan aksinya menulis materi di papan tulis. Gue yang menerima perlakuan seperti itu tersenyum simpul sambil menundukkan kepala gue tanda meminta maaf karena sudah terlambat.

"Bawa surat dari guru piketnya?" tanya beliau lagi. Gue mengangguk, lalu menyerahkan selembar kertas yang di berikan guru piket tadi.

Bu Lita menerima surat itu lalu membaca sebentar.

"Telat bangun, eh?" ucap Bu Lita dengan nada menggoda.

Gue mengangguk dan tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuk gue yang sebenernya nggak merasa gatal.

Bu Lita cuma menggelengkan kepalanya melihat reaksi dari gue.

"Yaudah sana duduk. Ibu mau lanjutin jelasinnya." suruh beliau.

Gue menurut lalu tanpa menunggu lagi gue berjalan ke arah bangku gue. Namun sebelum mendudukan tubuh gue ke kursi, gue menyempatkan diri untuk menatap sekitar untuk mencari sosok Zeno berada.

Nihil. Nggak ada Zeno di kelas ini. Kursinya pun kosong. Gue bertanya-tanya dalam hati kemana perginya Zeno.

Dia nggak sekolah ya?

Dia bolos sekolah karena masih marah sama gue?

"Duduk, Ken." sebuah suara langsung menyadarkan gue dari lamunan gue yang memikirkan keberadaan sosok Zeno.

Gue mengangguk, lalu mendudukkan diri gue ke kursi dan menaruh tas gue tepat di atas meja. Setelah itu gue langsung menoleh ke temen sebangku gue, Deka.

"Dek, Zeno nggak sekolah ya?" tanya gue hati-hati.

Deka menoleh lalu menggeleng setelahnya.

"Dia sekolah kok. Dia tadi di panggil ke aula, semua anak kelas IPA yang punya riwayat peringkat pertama di suruh ke Aula. Jadi kalo lo berniat nanya sekarang Zeno ada dimana, jawabannya udah gue kasih tau, ya. Udah jangan ganggu gue." ujarnya, lalu tanpa memperdulikan gue lagi dia kembali fokus dengan bukunya mencatat materi yang lagi di pelajari saat ini.

Sedangkan gue sendiri nggak melakukan hal yang sama seperti yang di lakukan murid lainnya. Gue malah terdiam dengan otak yang berpikir keras bagaimana cara bertemu Zeno kalo aja Zeno lagi menghindari gue.

Zeno menghindari gue?

Mungkinkah?

Gue nggak terlalu yakin. Tapi, bakal gue pastikan nanti saat bel istirahat pertama berbunyi. Gue harus segera mencari tau apa sebenarnya yang ada di otak Zeno sampai-sampai marah seperti itu. Dia bilang mau temenan supaya bisa memastikan perasaannya ke gue itu bener atau nggak. Tapi kalo dia marah seperti ini, apa nggak terlalu jelas jawabannya?

Entahlah. Gue belum tau kebenarannya. Gue harus mendengar sendiri dari mulut Zeno sebelum akhirnya gue sendiri yang memilih untuk mengakhiri pertemanan ini yang mungkin aja nggak ada apa-apanya menurut dia.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel