Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

15

00:10.

Dan di jam segitu gue masih membuka mata menatap lurus arah balkon menunggu kehadiran Zeno yang sudah gue janjikan untuk datang ke kamar gue di waktu itu.

Setelah beberapa peristiwa dan percakapan gue bersama Zeno beberapa jam yang lalu. Gue udah memutuskan satu jawaban pasti yang akan gue berikan terhadap Zeno. Walaupun nantinya itu beresiko, gue nggak perduli. Karena satu hal yang gue tau. Gue suka sama Zeno.

Gue nggak tau sejak kapan gue merasakan itu. Tapi yang jelas, gue sangat yakin seratus persen kalo gue bener-bener suka sama dia sebagai cowok yang berlabuh di hati gue.

Ya, jawaban pastinya, gue bakal mengiyakan harapan Zeno di danau waktu itu. Gue bakal menyetujuinya untuk menjadikan dia teman dan mencari tau tentang perasaannya terhadap gue. Begitupun sebaliknya.

Melihat nggak ada tanda-tanda kehadiran Zeno. Gue memutuskan membalik badan membelakangi pintu karena merasa sudah pegal dengan posisi seperti tadi. Namun belum lama gue merubah posisi, tiba-tiba suara pintu terbuka pelan terdengar dan dengan otomatis membuat gue berbalik untuk melihat sang pelaku yang membuka pintu balkon gue seperti seorang pencuri.

Zeno.

Dia sudah berdiri tepat setelah ia kembali menutup pintu dan tersenyum menatap gue yang jelas-jelas cuma menanggapinya dengan senyum singkat dan kembali berbaring setelah sempat terduduk karena untuk memastikan jika itu benar-benar sosok Zeno tadi.

Gue memperhatikannya berjalan mendekati gue lalu dia mengibaskan tangannya mengisyaratkan untuk gue bergeser sedikit dan memberinya tempat untuk ikut berbaring di samping gue.

"Tumben lo belom tidur? Biasanya udah molor dan tuh bantal udah basah karena iler." ujarnya setelah menyamankan dirinya berbaring di samping gue.

Gue cuma mendengus menanggapinya. Karena selain itu adalah fitnah dan nggak mungkin terjadi, gue juga sudah merasa ngantuk karena nungguin dia yang lama banget datengnya.

"Lama banget sih datengnya. Hampir aja gue ketiduran." ujar gue yang menatapnya dengan gue yakini mata gue sudah sayu karena kantuk.

Zeno turut menatap gue, dan itu menyebabkan gue dan dia saling bertatapan dengan posisi berbaring menyamping yang jaraknya tidak lebih dari satu jengkal tangan gue.

Menyadari hal itu, gue mendadak diem dan entah gimana ceritanya mata gue yang tadinya ngerasa ngantuk, kini hilang dan di gantikan dengan degup jantung gue yang berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

"Z-zen..." ujar gue tergagap sambil menatap wajah Zeno dan memperhatikan satu-persatu bagian yang terdapat di wajahnya. Mulai dari mata beralih ke hidung lalu berakhir dengan bibirnya yang tersenyum tipis.

Zeno mengulurkan tangannya menyentuh rambut gue dan mengelusnya pelan.

"Gue selalu penasaran dan bermimpi akhir-akhir ini untuk melakukan hal ini ke elo." ucapnya, lalu tangannya beralih mengelus mata kanan gue, bergeser mencubit hidung gue. Dan di akhiri dengan jarinya yang mengelus lembut bibir gue.

Sedangkan gue sendiri yang menerima perlakuan itu cuma bisa diam dengan jantung yang berdetak nggak karuan karena perlakuan Zeno saat ini ke gue.

"Z-zen.." ujar gue yang lagi-lagi cuma bisa mengucapkan kata itu. Gue hanya kembali memperhatikan wajahnya dan bibirnya tersenyum tipis. Dan sumpah demi apapun, itu buat jantung gue berdegup kencang hanya karena melihatnya.

Apalagi saat dia mulai memajukan wajahnya dan sedetik kemudian bibir gue dan Zeno bertemu tanpa adanya pergerakan. Gue melotot, sedangkan Zeno memejamkan matanya saat melakukan itu.

Nggak berapa lama setelah terdiam dengan bibir yang menempel, akhirnya Zeno menggerakan bibirnya perlahan dan mengecup bibir gue dengan sensual. Dan saat gue merasakan hal itu, perut gue terasa menggelitik dengan lagi-lagi jantung gue yang berdetak nggak karuan. Gue bahkan tanpa sadar menahan napas karena kejadian ini.

Pergerakan Zeno perlahan lebih cepat dan membuat gue yang tadinya hanya mendiamkan bibir gue, kini turut bergerak dan perlahan mulai membalas ciuman Zeno yang masih berlangsung saat ini. Dan tanpa terasa pun, gue memejamkan mata gue dengan tangan kiri yang memegang rambut Zeno sedikit meremasnya.

Tanpa melepaskan tautan bibir gue dan bibirnya. Zeno bangkit dari posisinya yang menyamping dan merubahnya dengan berada di atas tubuh gue sambil terus mengecup bibir gue yang entah bagaimana bisa terasa begitu nikmat gue rasakan.

Gue terus mengikuti pergerakan bibir Zeno hingga akhirnya kedua tangan gue melingkar di leher Zeno, begitupun kedua tangan Zeno yang memegang wajah gue tepat di pipi untuk memfokuskan dan memperdalam ciuman kami.

Jujur, ini adalah yang kedua kalinya bagi gue berciuman setelah waktu kecil sekitar umur 5 tahun gue berciuman dengan bocah laki yang seumuran dengan gue.

Waktu itu nggak ada rasa apapun saat melakukannya selain hanya senang dan tersenyum bodoh karena melakukan adegan dewasa yang di ucapkan sendiri oleh bocah tersebut. Namun saat ini, saat Zeno mencium bibir gue sedalam ini. Gue merasakan perasaan yang sulit gue jelasin karena ini masuk kedalam hal yang pertama kali gue alami.

"Sss...ah" desah Zeno setelah ciuman kami terlepas yang berlangsung hampir satu menit itu.

Dia memundurkan wajahnya dan menyebabkan tangan gue yang melingkar di lehernya terlepas begitu saja. Gue memperhatikan pergerakan Zeno sampai akhirnya gue merasakan gundukan besar, tepat di tengah-tengah antara paha dan otong gue.

Sedikit menelan ludah saat merasakan ukurannya, gue segera menghentikan pergerakan Zeno saat ia ingin membuka baju tidurnya.

"Tunggu. Gue..." ujar gue yang masih berpikir untuk mengatakan sesuatu agar Zeno tidak jadi membuka bajunya.

Zeno menatap gue dengan pandangan bertanya. Gue menghembuskan napas lalu sedetik kemudian gue menatapnya dengan penuh rasa penasaran.

"Lo...kenapa lo ngelakuin ini? Kenapa lo cium gue? Gue kan belum ngasih jawabannya." ujar gue.

Bukannya menjawab ucapan gue. Zeno hanya tersenyum manis lalu melanjutkan aksinya untuk membuka baju tidurnya. Setelah terbuka, sebuah badan atletis langsung terlihat tepat di depan mata gue.

Badannya yang putih dengan otot-otot bisep yang terdapat di lengannya. Apalagi saat gue melihat bagian perutnya yang terdapat kotak empat. Sukses ngebuat gue terdiam membisu dengan bagian celana dalam gue yang menggembung.

Gue.... horny.

"Tanpa menunggu lo, gue udah tau jawaban apa yang bakal lo berikan setelah lo membalas ciuman gue barusan." ujar Zeno. Lalu dengan gerakan cepat dia mendekat wajahnya ke gue dan kembali melahap bibir gue dengan gerakan cepat yang tiba-tiba.

Gue yang belum siap menerima serangan tersebut, cuma bisa pasrah dan kembali melingkarkan tangan gue di lehernya. Lagipula, dia nggak perlu jawaban. Dan dia juga benar, gue sudah pasti bakal menerima harapannya tanpa gue ucapkan sekalipun. Tubuh gue nggak bisa membohongi diri gue.

Bahkan saat ini tangan gue sudah menggerayang tanpa sadar menyusuri punggung Zeno yang tanpa busana itu. Ciumannya pun bertambah panas seiring berjalannya waktu. Dan tanpa gue sadari, dia sudah melucuti satu-persatu kancing baju tidur gue. Lalu dengan satu tarikan, baju gue sukses terbuka dan memperlihatkan dada dan perut gue begitu saja di hadapan Zeno.

Zeno melepas ciumannya, lalu satu tangannya mengangkat kepala gue dan satu tangannya lagi berusaha membuka baju gue yang masih tersangkut di antara kedua tangan gue. Saat melakukan itu, Zeno menatap gue sambil tersenyum.

"Gue suka ekspresi lo saat ini, seperti bener-bener butuh diri gue untuk memuaskan lo." ujarnya yang entah sejak kapan bibirnya berada di kuping gue dan menjilatnya perlahan.

Gue menggelinjang merasakan jilatan di telinga gue. Itu terasa geli sekaligus ketagihan saat dia melakukannya. Namun itu nggak berlangsung lama, karena setelah itu Zeno kembali merebahkan tubuh gue dengan tubuh telanjang yang di tatapnya seperti seseorang yang sedang lapar.

Zeno kembali mendekatkan wajahnya dan melahap bibir gue dengan sensual tanpa kecepatan seperti sebelumnya. Setelah ciuman kami terlepas dan di gantikan dengan kecupannya yang beralih ke pipi gue menuju dagu, dan di akhiri dengan leher gue yang kini sedang di hisapnya dengan sangat kuat.

"Awh..ahh" suara gue yang merasa sedikit kesakitan saat Zeno menggigit leher gue di bagian kiri. Setelah itu ia berhenti melakukan itu dan mengembalikan posisi kepalanya untuk menatap gue.

"Sekarang tanda yang di berikan sama bajingan itu udah di gantikan dengan milik gue. Lo tau seberapa besar keinginan gue untuk menghilangkan jejak bekas dia mengecup lo di bagian ini?" ujarnya sambil menyentuh leher gue yang habis di gigitnya.

Gue menggeleng sebagai jawaban.

"Saat kejadian itu juga gue pengen langsung menghapus jejak sialan itu dari leher lo. Tapi mengingat status kita dan lo yang selalu mengucapkan kata-kata yang bikin gue sakit hati. Gue cuma bisa diem dan menunggu saatnya tiba buat segera menghapus jejak itu dan di gantikan dengan milik gue. Dan sekarang udah kejadian. Mulai sekarang dan se...terusnya. Lo milik gue." ujar Zeno yang menatap gue dengan penuh peringatan. Gue cuma mengangguk tanpa berniat untuk menjawab ucapannya karena gue masih merasakan horny di selangkangan gue.

Zeno tersenyum, setelah itu dia mengecup bibir gue singkat, lalu bangkit dari atas tubuh gue dan merebahkannya tepat di samping gue. Gue yang melihat itu otomatis langsung menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan penuh tanda tanya.

Dia turut menatap gue lalu bertanya, "Kenapa?"

Mendengar itu gue cuma bisa bertanya-tanya dalem hati. Harusnya yang ngomong itu gue. Tapi nggak, gue cuma menggeleng lalu membalikkan tubuh gue membelakangi Zeno.

Nggak tau kenapa, tapi gue merasa kecewa karena permainan barusan berakhir begitu saja.

"Ken? Lo marah?" tanya Zeno. Ia memegang bahu gue yang masih membelakangi dia. Gue menggeleng, lalu menggoyangkan bahu gue mengisyaratkan agar dia melepaskan pegangnya.

Bukannya dia ngelepasin tangannya dari bahu gue, dia malah terkekeh dan sedetik kemudian dia memindahkan tangannya dari bahu ke perut gue lalu memeluknya erat.

"Lo kalo lagi ngambek lucu. Gue jadi makin tambah yakin kalo gue beneran suka sama lo." ujarnya sambil mengecup leher bagian belakang gue.

"Maaf gue nggak bisa ngelanjutin kegiatan tadi. Ini masih terlalu dini. Dan ini pertama kalinya buat gue. Gue masih takut ngelakuin kesalahan dan malah berujung nyakitin lo nantinya. Lo tau kan kalo pertama kali ngelakuin itu sakitnya minta ampun?" tanyanya, yang sontak aja membuat gue bergeming dan menyadari apa yang baru saja gue ambekin tadi.

Gue baru sadar kalo aja ini adalah masalah seks yang mana gue nggak punya pengalaman apapun tentang hal itu. Dan kata Zeno ada benarnya. Gue pernah baca artikel dan komentar-komentar yang terdapat di dalamnya mengatakan jika melakukan hubungan intim untuk pertama kalinya itu terasa menyakitkan.

Gue nggak tau sakitnya kayak gimana. Dan juga, gue belum siap mencobanya jika itu benar-benar sakit seperti yang di ceritakan artikel tersebut.

"Ken. Masih marah? Maafin gue." ujar Zeno, yang lagi-lagi di akhiri dengan kecupannya di leher gue.

Mendengar itu dan setelah mengetahui semuanya, akhirnya gue berbalik dan kini gue dan Zeno saling bertatapan.

"Udah nggak marah?" tanyanya untuk yang kesekian kali.

Gue menggeleng lalu tersenyum tipis ke arahnya. Zeno ikut tersenyum, lalu dengan tangannya yang ada di pinggang gue, dia mencubit hidung gue gemas.

"Gitu dong. Jangan marah-marahan. Kan kita sekarang temen. Atau mungkin calon pacar?" ujarnya lalu nggak lama dia terkekeh dengan ucapannya sendiri.

Gue cuma mendengus mendengarnya.

"Terus kalo sekarang kita temenan. Taruhan yang kita buat itu gimana, tetep lanjut?" tanya gue yang tiba-tiba aja teringat tentang taruhan bodoh yang gue sendiri sepakati dengan gamblangnya.

Zeno mengangguk, "Tetep lanjut. Karena gue ada satu permintaan yang harus bener-bener lo lakuin." ujarnya membuat mengerinyit.

"Apa?" tanya gue.

"Ada deh. Yang pasti berhubungan dengan ranjang. Hahahah." ujarnya lalu tertawa.

Gue segera membekap mulutnya merasa suaranya terlalu besar.

"Jangan gede-gede suaranya. Nanti Kak Kennie denger." ujar gue memperingati.

Zeno cuma mengangguk-angguk mengerti, setelah itu gue melepaskan tangan gue yang membekap mulutnya.

"Oh iya, ngomong-ngomong soal Riko yang lo sebut-sebut tadi. Gue jadi pengen cerita." ujar gue yang teringat akan pertemuan gue dengan Riko di bioskop tadi.

Zeno langsung mengangkat kepalanya dan menatap gue dengan intens.

"Apa? Dia nemuin lo? Jahatin lo lagi?" tanya yang terdengar menggebu. Gue langsung saja mengangguk.

"Iya, gue ketemu dia tadi di bioskop." ucap gue lalu mulai menceritakan tentang kejadian tadi.

*Flashback

"Sstt..tenang. Gue nggak bakal berbuat yang jahat kok." ujar Riko setelah dirinya sampai tepat di depan gue dan menaruh telunjuk nya di bibir gue.

Riko menoleh kebelakang melihat ke arah antrian tiket dan kembali lagi menatap gue, lalu menghembuskan napasnya.

"Denger, gue kesini nggak berniat jahat. Lo jangan teriak dulu. Ada yang harus gue omongin ke elo." ucapnya seperti mengetahui kalo gue bakal teriak dan memanggil nama Zeno untuk membantu gue yang lagi dalam situasi menyulitkan.

Gue masih terdiam, menatap lekat wajah Riko yang entah kenapa terlihat cemas dan terburu-buru. Tapi gue nggak perduli, gue masih sedikit takut akan kehadirannya dan memilih untuk mengambil ponsel gue terlebih dahulu lalu duduk di tempat gue semula.

Sebenarnya gue pengen banget teriak dan minta tolong. Tapi setelah mendengar ucapannya kalo dia nggak berniat jahat untuk menemui gue. Gue memutuskan untuk menghilangkan rasa takut sekaligus syok gue dan dengan berani menatap langsung mata Riko.

"A-ada apa perlu lo sama gue?" ujar gue sedikit tergagap karena masih ada sedikit rasa takut dan tanpa ada embel-embel Kak lagi untuk memanggilnya. Gue hilang respek sama dia.

Riko nggak langsung menjawab, dia menoleh kebelakang sekali lagi ke arah antrian lalu berbalik menatap gue dengan mengejutkan gue yang tiba-tiba menyentuh tangan gue yang tergeletak di atas meja.

Gue otomatis menarik tangan gue karena hal itu, gue langsung berdiri dan lagi-lagi melangkah mundur untuk menjauhinya. Gue bersiap teriak, namun Riko langsung segera mengisyaratkan agar gue nggak berteriak dan menciptakan kebisingan.

"Denger, gue bakal ngomong cepet. Gue kesini nemuin lo buat minta maaf. Gue minta maaf sebesar-besarnya karena udah melakukan hal yang senonoh dan ceroboh sama elo. Jujur, waktu itu gue kehilangan akal sehat gue karena udah melecehkan lo yang jelas-jelas baru kenal beberapa jam." ujarnya, langsung ngebuat-ntah bagaimana merasa kalo dia benar-benar tulus mengucapkannya.

Gue tanpa sadar pun terduduk kembali dan menatapnya dengan was-was.

"Gue tau lo butuh waktu buat maafin gue. Makanya gue nggak langsung muncul setelah sehari kejadian itu berlangsung. Gue denger lo mengalami syok dan nggak masuk sekolah karena kejadian itu. Gue minta maaf sekali lagi. Tapi ada satu hal yang benar-benar harus lo ingat." ucapnya, lalu dia kembali menoleh kebelakang melihat ke antrian lalu kembali menatap gue.

"Apapun yang di ucapin sama Zeno. Gue harap lo nggak percaya gitu aja. Karena-" perkataanya terpotong karena bunyi ponsel gue dan menunjukan pesan dari Wira yang berisikan tanda tanya.

Melihat isi pesan yang nggak terlalu penting, gue memutuskan untuk mengabaikan pesan tersebut dan kembali menatap ke depan. Namun gue langsung terbengong setelah mendapati sosok Riko sudah nggak ada di sana.

Gue otomatis langsung berdiri dan menoleh kiri-kanan mencari sosok Riko yang siapa tau aja masih ada di sekitar sini. Tapi nihil, gue nggak menemukan sosok Riko. Dan malah melihat sosok Zeno yang berjalan mendekat ke arah gue dengan senyum di bibirnya.

*Flashback end.

"Gitu, gue juga heran bagaimana bisa dia menghilang secepat itu. Dan juga ucapannya gantung banget. Masa dia nyuruh gue nggak percaya apapun yang lo ucapin? Kan nggak logis banget." ujar gue setelah selesai menceritakan perihal pertemuan gue dengan Riko.

Zeno tiba-tiba terduduk dari baringnya yang sontak saja langsung gue ikuti.

"Ada apa?" tanya gue yang bingung akan reaksinya yang tiba-tiba.

Zeno nggak langsung jawab. Dia malah mengulurkan kedua tangannya dan memegang wajah gue dan memandanginya dengan lekat.

"Lo percaya sama gue kan? Lo bakal percaya sama apapun yang gue ucapin kan?" ujarnya, yang bikin gue berkedip-kedip menatapnya bingung.

Lalu setelah itu gue mengangguk.

"Iya, gue bakal percaya semua ucapan lo. Karena gue lebih kenal lama elo di bandingkan dia. Dan juga, alasan dia bilang gitu nggak gue ketahui. Jadi nggak ada alasan buat gue untuk nggak percaya sama elo." ucap gue lalu tersenyum hangat.

Setelah itu tubuh gue tiba-tiba di peluknya dengan erat seakan-akan gue akan pergi darinya kalo aja pelukan ini lepas. Tapi gue nggak mau ambil pusing dan memilih untuk membalas pelukannya sambil menepuk-nepuk bahunya yang masih telanjang seperti tubuh gue saat ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel