Bab 9: Bocah Kecil
PLAAAK!!
Sebuah tamparan panas mendarat di pipi mungil seorang bocah laki-laki yang langsung tertunduk takut tak berani menatap wanita dewasa di depannya.
“Dasar anak pembawa sial! Tak bisakah sehari saja kau tak mempermalukanku?” seru wanita bersurai panjang dengan murka.
“Kemari kau!” Wanita itu menyeret si bocah laki-laki dengan tangan yang menarik rambut bocah kecil tersebut tanpa belas kasih menuju halaman belakang rumah yang tak terawat.
Semak belukar yang mengering serta banyaknya bongkahan kayu dan beberapa tong besi tak terpakai tampak memenuhi halaman belakang itu.
“Ibu, maafkan aku. Aku akan belajar lebih giat lagi untuk ujian selanjutnya.” Bocah kecil berkaus merah lusuh itu meringis menahan sakit pada kepalanya.
“Kau pikir ucapanmu itu dapat merubah nilai A di kertas ujian sialanmu itu menjadi A ? Dasar bocah bodoh!”
Ia kembali menampar dengan lebih keras dari sebelumnya hingga tubuh kecil itu terhempas ke tanah membuat dahi bocah berkaus merah itu terhantam batu. Darah mengalir luruh menuruni dahi yang tampak kontras dengan kulit pucat anak tersebut.
Tangan kecil yang kini tampak kotor karena terkena tanah itu menyeka darah yang hampir mengenai matanya. Menciptakan gesekan kasar di kulit tersebut. Ia tampak bersusah payah menahan butiran kristal di pelupuk mata agar tak tumpah memandang jemari kotornya yang sudah bernoda merah.
Wanita itu berdesis memandang bocah kecil yang selalu menyulut emosi setiap kali ia melihatnya. Ia menjambak rambut gelap itu hingga si bocah berdiri dan memaksanya untuk menaiki salah satu bongkahan kayu di sudut halaman.
“Ibu, maafkan aku.” Suara pilu itu justru semakin membakar amarahnya.
Tanpa kata wanita itu menenggelamkan kepala si bocah pada tong besi yang tampak penuh dari air hujan semalam.
Bocah laki-laki itu gelagapan tak siap menerima air yang kini menenggelamkan kepalanya secara utuh. Air memasuki rongos hidung dan mulutnya. Ia meronta dan menggelengkan kepalanya berharap sedikit harapan untuk mengambil napas. Perutnya terasa bergejolak ketika air hujan yang bercampur karat besi dan kotoran hewan itu memaksa terus masuk dalam mulutnya. Bocah itu terus meronta mencoba meraih tangan wanita itu yang semakin erat menjambak dan menenggelamkan kepalanya.
“Dexter, bangun.” Vello duduk menyamping di ranjang dengan gusar berusaha menepuk pipi bodyguard-nya itu dengan pelan.
Raut khawatir Vello semakin tercetak jelas ketika melihat Dexter terus menggeleng dengan mata terpejam kuat hingga menimbulkan guratan-guratan di kening dan sudut matanya. Pria itu meraih lehernya sendiri seperti orang yang kesusahan bernapas.
“Dexter, bangun!” seru Vello lebih keras sambil mengguncang lengan pria itu.
Seketika mata Dexter terbuka lebar dengan refleks tangan yang begitu cepat, Dexter mengambil sebuah pistol dari balik bantal dan mengarahkan pada dahi Vello.
Vello tersentak, sedangkan napas Dexter memburu dengan keringat dingin membanjiri pelipisnya. Moncong pistol yang menempel kuat di dahi itu seakan melumpuhkan kerja otaknya. Vello tak mampu menggerakkan tubuh, ia terlalu syok.
Kekhawatiran Vello yang mendengarkan suara samar memohon dari kamar sebelah, membuatnya memberanikan diri masuk ke kamar Dexter, berusaha membangunkan bodyguard-nya yang ternyata sedang bermimpi buruk, tetapi kini justru ia mendapati dirinya sendiri dalam todongan pistol yang sekian detik dapat melenyapkan nyawanya.
Dexter mempererat pegangan tangannya pada pistol. Manik hijau kecokelatan itu tampak menggelap. “Apa yang kau lakukan di sini?” Suara dingin Dexter merambat masuk ke pendengaran Vello, membuat gadis itu bergidik takut dan kesusahan menelan salivanya.
“Jawab!” bentak Dexter dengan semakin menekan ujung pistolnya ke dahi Vello.
“A-aku … ha-hanya mencoba membangunkanmu dari mimpi buruk,” jawab Vello terbata. Bibirnya bergetak ketakutan.
Dexter menarik napas panjang sebelum akhirnya ia menjauhkan pistol tersebut dan beranjak bangkit dari ranjang. Vello mundur beberapa langkah dengan mata yang belum bisa lepas dari pistol yang masih dalam genggaman pria itu.
Tangan Dexter menyugar rambut dengan kasar. “Pergilah, Nona,” ujarnya pelan dan dingin, membelakangi Vello.
Ia mendengar tapak kaki itu mulai menjauh hingga suara pintu yang tertutup menandakan kini ia sudah berada sendirian di dalam kamar.
BUGH!
Suara kepalan tangan yang sengaja dihantamkan dengan keras ke dinding bercat cokelat itu tak cukup menyalurkan emosi yang membakar tubuh Dexter.
Ia melempar pistolnya ke atas ranjang. Menarik keras rambut dengan kedua tangannya dan langsung membenturkan kepalanya beberapa kali ke dinding dengan frustrasi.
Rasa sakit yang berdenyut di kepala dan luluhan darah yang mengalir dari dahinya tak dapat menyiramkan air dari gejolak api yang membakar tubuhnya. Tubuhnya merosot ke lantai dengan kedua betis yang menyiku.
Dexter mengetatkan rahang. Terdengar bunyi gigi yang bergelatuk seiring bayangan wanita di mimpinya itu yang terus terputar di otak, seperti video rusak yang tak terkendali. Ia berusaha menghentikan bayangan itu dengan memukul kepalanya terus menerus.
“Fuck!”
Dexter bangkit dari duduknya. Ia tak bisa berdiam diri di kamar. Tubuhnya haus akan pelampiasan darah yang harus segera tertumpahkan dengan tangan dinginnya.
Ia dengan cepat mengganti baju dan menyambar jaket kulit berwarna hitam yang tergantung di dekat pintu, setelah sebelumnya ia menyempatkan untuk menyeka darah di dahinya. Tidak lupa ia menyelipkan pisau dan pistol di balik jaket.
Langkah kakinya membawa Dexter menuruni tangga mansion tanpa suara. Ia sudah terlatih berjalan tanpa menimbulkan bunyi meski ia menggunakan sepatu boots sekali pun.
Suasana mansion tampak remang, hanya beberapa lampu kecil yang berada di sepanjang dinding mansion yang menjadi penerang kediaman tersebut, mengingat jam sudah menunjukkan mulai memasuki dini hari. Dexter keluar mansion tanpa menyadari ada sepasang mata yang menangkap kepergiannya.
Vello meremas jemarinya. Kaki yang beralaskan sandal bulu itu tampak ingin mengejar bodyguard-nya. Tetapi logika dengan kuat menahan diri agar ia tak bertindak bodoh.
Entah apa yang dipikirannya hingga ingin menyusul Dexter yang keluar mansion di tengah malam seperti ini, tetapi bayangan wajah ketakutan Dexter saat bermimpi buruk itu terus menggelayuti dirinya. Ia takut terjadi sesuatu pada bodyguard-nya tersebut dan lagi, mimpi buruk seperti apa yang bisa membuat bodyguard seperti Dexter ketakutan dan langsung menodongkan pistol pada dirinya?
Vello seakan lupa rasa takut yang sempat hinggap dalam dirinya ketika moncong pistol itu menempel pada dahinya, bergantikan rasa khawatir terhadap Dexter. Ia menggeleng pelan pada kekonyolannya. Bagaimana bisa ia terpikir untuk menyusul Dexter karena khawatir sedangkan ia tak pernah bisa melindungi dirinya sendiri. Apa yang bisa dilakukannya nanti jika benar-benar Dexter mengalami bahaya?
Vello terduduk lesu di salah satu sofa di tengah mansion. Pandangannya lurus pada pintu utama mansion yang berada cukup jauh dari jarak pandangnya.
Di tempat yang berbeda, Dexter tengah mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tangannya mencengkeram erat setir mobil hingga buku-buku jarinya terlihat memutih.
“Fuck! Wanita jalang!” makinya setelah memekur setir dengan keras.
Ia mengusap wajah dengan kasar. Deru napasnya belum bisa mengalir dengan normal.
Sekelebat bayangan wajah sang nona muda yang terperanjat kaget ketika ia membuka mata dari mimpi buruknya, tiba-tiba melintas. “Sial!”
Ia menggeleng merutuki kecerobohannya tidak mengunci pintu kamar hingga nona muda itu kembali lancang masuk ke kamar dan mendapati celah lemah dalam dirinya.
Tak lama Dexter memberhentikan mobil di salah satu mini meroket. Hanya ada satu mobil yang terparkir tak jauh dari Range Rover putih tersebut.
Sesaat, Dexter melirik pada pria petugas kasir yang bertubuh kurus jangkung dengan rambut panjang yang ia ikat asal. Kantong hitam di bawah mata dan wajah pucatnya menyuarakan jelas bahwa ia pencandu obat-obatan. Dexter tak habis pikir bagaimana dengan pekerjaan dengan gaji yang pasti pas-pasan itu seseorang masih membagi uangnya untuk membeli barang bodoh dibanding membeli makanan untuk mengisi sela-sela tulangnya itu.
Dexter melangkahkan kakinya pada deretan lemari pendingin minuman. Setelah membuka pintu kaca berembun itu, sudut matanya menangkap seorang wanita yang tengah mencuri pandang padanya di sela-sela ia memilih barang yang akan dibeli, di deretan rak makanan ringan.
Mengabaikan, Dexter memilih menyapukan mata pada deretan merek botol minuman beralkohol di depannya sampai salah satu tangannya mengambil dua botol yang ia pilih. Ketika berbalik, wanita berambut ikal tersebut sudah berada di depannya dengan tersenyum menggoda. Dexter hanya menaikkan satu alisnya dengan wajah datar.
“Kau sendirian?” tanyanya semakin mendekat seraya membusungkan dada untuk memperlihatkan aset yang menonjol dari balik kausnya yang perpotongan rendah. Ia menggigit bibir bawahnya mencoba memasang wajah sensual.
Dexter mengembuskan napas malas. Ia melangkah melewati wanita itu, tetapi lengannya ditahan. Ia melirik jemari dengan kuku bercat merah yang berada di lengannya.
“Kau berani menyentuhku?”
“Apakah itu buruk?” Wanita itu tersenyum dengan mata berkilat gairah.
“Sangat buruk” Dexter tersenyum miring yang diartikan oleh wanita tersebut sebagai sambutan baik atas usahanya.
“Kalau begitu ikutlah denganku. Kita akan bersenang-senang,” tambah Dexter.
Mata wanita berambut ikal tersebut melebar dengan binar puas. Akhirnya gayung bersambut setelah ia sedari tadi memperhatikan pria tampan yang tampak begitu liar dan misterius itu telah berhasil menyulut gairah hanya dengan memandangnya. Ia harus mendapatkan pria itu untuk menghabiskan malam ini di bawah ranjang dengan panas.
“Apa pun yang kau inginkan, Sayang.” Ia langsung memeluk lengan Dexter dan dengan sengaja menempelkan dadanya di lengan kokoh itu.
Dexter menyeringai dan membawa wanita itu ke mobil setelah membayar belanjaan mereka di kasir.
“Aku tahu hotel yang bagus di dekat sini,” usul wanita yang sempat mengenalkan diri bernama Jolie, ketika mobil Dexter sudah melaju pada jalanan kota London yang lengang.
“Kita tidak akan ke hotel.” Dexter melirik sekilas.
“Lalu?” tanya Jolie dengan berbisik sensual. Ia bergelayut manja di lengan Dexter.
“Kita akan bersenang-senang tanpa ada satu pun orang yang dapat menganggu kita. Kau menyukai danau?”
Api gairah semakin berkobar di kepala Jolie. Membayangkan bercinta di ruang terbuka pasti akan begitu panas.
“Aku menyukai idemu!” serunya setelah menjilat rahang Dexter, membuat pria itu meremas setir dengan rahang mengeras, menahan sesuatu dalam dirinya agar tak segera muncul ke permukaan.
***
Jolie dan Dexter duduk di atas cap mobil, memandang danau yang hanya dibantu penerangan dari lampu mobil. Keduanya meneguk botol beralkohol yang sempat dibeli oleh Dexter sebelumnya.
Mereka jauh dari ingar-bingar kota. Bahkan Dexter perlu menjalankan mobilnya memasuki jalanan kecil yang rimbun oleh semak belukar.
Terdengar binatang-binatang malam yang saling bersahutan mengisi sela-sela kesunyian dan remang malam.
Jemari bercat merah itu menjatuhkan botol kosongnya di atas rumput sebelum akhirnya tangan itu mulai merayap menyentuh dada bidang Dexter.
Dexter tersenyum miring seraya menahan tangan itu. “Bukan begitu aturan mainnya. Kita bersenang-senang dengan caraku.”
“Dan bagaimana caramu?” bisiknya dengan mata sayu. Pria itu benar-benar membuatnya mati penasaran karena gairah.
“Aku akan mengikatmu di pohon itu,” tunjuk Dexter pada pohon tak jauh dari mereka dengan tangan yang masih memegang botol kaca minumannya.
Jolie menggigit bibir bawahnya, menanti percintaan dalam level berbeda yang akan ia rasakan.
Ia turun dari cap mobil. Matanya mengekori Dexter yang telah turun lebih dahulu dan tengah berjalan ke belakang mobil.
Beberapa saat kemudian pria itu keluar dengan membawa sebuah tali dan telah menanggalkan jaket hitamnya hingga menyisakan kaus berwarna putih lengan pendek yang mencetak jelas tubuh atletisnya.
Dexter menggerakkan kepalanya memberi kode wanita itu untuk lebih dahulu berjalan ke arah yang ia tunjuk.
Jolie dengan tenang mengikuti pergerakan Dexter ketika pria itu menali kaki serta bagian tubuh atasnya ke pohon.
“Kau tak ingin melepas bajuku dahulu? Kau akan kesulitan nantinya jika mengikatku seperti ini.” Godanya.
Dexter hanya tersenyum miring kemudian meletakkan telunjuknya di bibir wanita itu, tetapi Jolie langsung menjilat telunjuk itu, membuat Dexter terkekeh.
Benar-benar sial! Baru menjilat telunjuk pria itu saja telah membuat inti tubuhnya basah. Ia tak sabar milik pria itu meledak dalam tubuhnya.
Oh apakah mereka akan memainkan sebuah menyandraan yang erotis? Jolie menyukai percintaan kasar.
Fantasi liar membuat Jolie membiarkan Dexter melakukan apa pun padanya termasuk menutup mulutnya dengan kain yang telah terikat ketat di belakang kepalanya.
“Aku akan mulai dengan menghukum jemari nakalmu. Apakah kau sudah tak sabar?”
Jolie mengangguk cepat, membuat Dexter langsung menyeringai, tetapi ketika sebuah pisau keluar dari balik tubuh pria itu, mata Jolie langsung membulat.
Tidak, bukan seperti ini yang ia harapkan. Jolie mencoba melontarkan protes namun suaranya sudah tertelan oleh kain yang telah membekap mulutnya.
Dexter mendekatkan bibirnya ke telinga Jolie dan berbisik, “Jangan takut. Aku akan melakukannya secara perlahan”
Jolie menggeleng cepat. Kilatan gairahnya sudah meluap entah ke mana bergantikan ketakutan yang membuat jantungnya berdebar meronta.
Dexter membalik tangan wanita itu untuk membuatnya menengadah. Ia kembali memandang ketakutan yang jelas tergambar di mata Jolie yang justru membuat seringai Dexter melebar. Ia begitu menikmati wajah ketakutan itu.
Jolie mencoba meronta dan melepaskan diri meskipun usahanya sia-sia. Dexter menahan tangan itu dengan kuat agar tak bergerak. Wanita itu memejamkan matanya dengan erat ketika ujung runcing pisau mengarah pada telapak tangannya.
Teriakan keras Jolie gagal menyibak sunyi malam ketika pisau itu sesuai dengan janji Dexter melubangi telapak tangannya secara perlahan. Gerakan pelan itu justru menciptakan siksaan luar biasa pada setiap lapisan kulitnya.
Senyum Dexter melebar ketika melihat darah semakin mengucur memberi warna di setiap tetes yang terjatuh pada rerumputan di bawah sepatunya.
Ia memutar pisau yang telah menancap di telapak tangan tersebut dengan gerakan perlahan membuat luka pada tangan itu semakin melebar. Jolie semakin meraung kesakitan. Tubuhnya terlihat bergetar.
“Ssstt! Jangan menangis. Kita bahkan baru memulainya.” Dexter memasang wajah sedih sambil mengusap pipi Jolie yang sudah basah akan air mata.
Wanita itu melirik telapak tangannya yang telah tertembus pisau pada bagian tengah dengan darah yang terus mengucur seiring rasa perih tak tertahankan. Ia semakin menangis dan menggelengkan kepala.
“Please don’t,” ucapnya lemah, tetapi mampu didengar Dexter secara tersamar.
“Please don’t? Don’t stop? Ok Jolie!” Dexter terkekeh mempermainan permohonan wanita itu.
“Bagaimana bila aku menghilangkan salah satu jari nakalmu ini?”
Jolie kembali meronta dengan isak tangis, tetapi ikatan tali itu terlalu rapat membelit tubuhnya. Dexter beralih pada tangan kanan Jolie, mengusap jari tengahnya. Ia dapat mendengar wanita itu terus melayangkan sumpah serapah. Ternyata wanita itu masih saja bersikeras meskipun mulutnya tersumpal kain.
“Kau sedang memujiku? Terima kasih banyak.”
Dexter kembali tersenyum, tetapi kemudian sumpah serapah itu cepat berganti dengan teriakan kesakitan yang lagi-lagi tertahan oleh kain di depan mulut tersebut ketika ujung jari tengah bercat merah itu terjatuh ke rumput.
Dexter tertawa keras sampai kepalanya menengadah menghadap langit malam.
Jolie tak menyangka bertemu seorang psycho iblis seperti pria di depannya. Tawa Dexter membuat ia semakin ketakutan dengan mata terpejam seiring sakit yang menggerogoti setiap saraf di tubuhnya dari kedua luka di tangan tersebut.
Wajah wanita itu sudah berubah pucat seiring darah yang tak pernah berhenti mengucur membuat rerumputan hijau di bawahnya menjadi merah.
Dexter kembali menatap Jolie, tetapi kali ini tanpa ada seringai maupun senyuman di wajahnya. Mata hijau kecokelatan itu tampak menggelap diselimuti amarah yang sudah tertahan dalam rongga dada. Ia memainkan dengan lincah pisau yang sudah berselimut darah di tangannya.
Sebelah tangan Dexter menggenggam rambut Jolie dan menariknya dengan keras, membuat kepala wanita itu mendongak ke samping. Ia melihat Jolie meringis kesakitan.
“Dasar wanita jalang!” teriak Dexter. “Kau pantas mati!”
Mata Jolie seketika terbelalak saat pisau itu tiba-tiba menancap dalam ke perutnya. Membuat darah merembes membasahi kaus. Rahang Dexter mengeras. Ia kembali menusukkan pisau itu dengan membabi buta. Berkali-kali seakan satu tusukan tak mampu membuat nyawa wanita itu melayang.
Ia terus menghunuskan pisaunya seiring bayangan wanita di mimpinya yang terus bermunculan.
“Kau pantas mati!”
“Kau pantas mati!”
“Kau pantas mati!”
“Pergilah ke neraka wanita jalang!”
Dexter menjatuhkan pisau yang telah berlumuran darah kental, kemudian meraih parang dari balik punggungnya.
Ia kembali menyeringai iblis sebelum akhirnya parang itu menggorok leher Jolie hingga setengah bagian dengan darah yang memercik mengenai wajah dan kaus Dexter, lalu ....
BLAAASS!
Dengan sekali tebas, kepala Jolie menggelinding jatuh di rerumputan dengan mata dan mulut yang terbuka lebar. Dexter menyeringai puas.
***
Dexter menghentikan langkah kakinya yang akan menaiki tangga ketika sudut matanya menemukan sang nona muda tengah terbaring di salah satu sofa.
Ia mendekati gadis yang tengah terpejam itu. Pandangannya menelisik seluruh permukaan wajah yang terlihat begitu damai dalam tidur.
Lipatan di dahi Dexter menyuarakan beberapa pertanyaan yang bermunculan di kepala terhadap nona mudanya yang tidur di sofa dengan masih mengenakan kacamata serta sandal bulu. Apakah ia tertidur di sini? Dan bagaimana bisa ia sampai tertidur di sini?
Dexter mundur selangkah ketika mendapati nona mudanya mulai mengerjapkan mata. Wanita itu terbangun dan menangkap kehadiran bodyguard-nya yang membuat ia langsung terduduk.
“Kau sudah pulang?”
Mata kelabu gadis itu seakan sedang memindai tubuh Dexter dari ujung kepala hingga kaki. Vello menyadari bahwa bodyguard-nya itu tak lagi mengenakan kaus yang sama seperti sebelumnya. Deheman tak nyaman dari Dexter membuat Vello tersadar dari aksi matanya.
“Apa yang Nona lakukan di sini?” Pria itu justru melempar pertanyaan lain.
Vello tampak menggaruk lehernya “Ah, aku tertidur saat membaca buku.”
Jawaban Vello membuat mata Dexter mencari keberadaan buku yang menjadi alibi nona mudanya tersebut. Namun, tak ada buku di sekitar gadis itu. Vello menyembunyikan bibir. Merutuki kebodohannya dalam membuat kebohongan.
“Aku ingin membuat cokelat panas. Kau mau?” Vello bangkit dari duduknya berusaha kabur dari sorot pandangan Dexter yang entah mengapa semakin membuatnya merasa terpojok.
Dexter hanya diam dan terus memandang Vello sampai gadis itu berbalik dan berjalan ke dapur. Dexter mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya ia memilih melangkahkan kaki menuju taman belakang mansion.
Meskipun langit masih setia dalam kegelapan, tetapi itu semua tak dapat menutupi keindahan taman belakang mansion yang bertaburan lampu-lampu kecil. Mempercantik bunga-bunga di sekitar deretan pepohonan hijau yang terlihat kembar berbentuk kerucut, tampaknya pelayan mansion selalu rajin memotongnya untuk menjaga bentuk pohon tersebut.
Bunyi mug yang diletakkan pada meja kecil berbahan kaca membuat Dexter mengalihkan pandangannya. Nona mudanya meletakkan dua mug dengan uap mengepul sebelum akhirnya ia menjatuhkan bokong pada kursi di seberang Dexter.
“Madre selalu memimpikan memiliki taman luas untuk mengoleksi berbagai macam bunga dan Russell berhasil mengabulkan mimpi itu.” Vello tersenyum dengan pandangan jauh ke depan, memandang taman mansion.
Ia melirik pada bodyguard-nya yang ternyata juga sedang memandang taman. Namun, Vello cukup cerdas untuk menangkap mata itu hanya memandang kosong.
Ia menggeser tubuhnya menyamping. Tangannya meraih mug cokelat panas untuk menghangatkan jemari yang terasa dingin.
“Kau tahu? Dahulu ketika aku masih berada di Spanyol, aku memiliki teman pertukaran pelajar dari Turki.”
Dexter mengerjap sebelum akhirnya memandang Vello. Gadis itu meniup lembut atas mugnya sehingga membuat uap yang tengah mengepul itu bergulir ke samping dan lenyap. Bibir kemerahan apel itu menempel pada lekukan keramik mug berwarna putih. Menyesap cairan cokelat secara perlahan. Tak lama bibir itu menjauh meninggalkan sedikit jejak kecokelatan di sudut bibir Vello.
“Dia pernah berkata padaku cara mengusir mimpi buruk.”
Vello melihat salah satu alis tebal Dexter terangkat.
“Dengan dream catcher?” tebak pria itu asal setelah menyesap cokelat panasnya.
Vello tertawa kecil kemudian menggeleng. “Bukan. Dia berkata ketika terbangun dari mimpi buruk, kita harus segera merubah posisi tidur dan membuang udara dari mulut sebanyak tiga kali ke arah kiri sebelum kembali tidur.”
Dexter mengerutkan alisnya mendengar cara mengusir mimpi buruk yang menurutnya terbilang sama anehnya dengan menggantung hiasan bernama dream catcher.
Ia kembali menangkap nona mudanya tertawa kecil. Membuat sudut bibir Dexter tertarik samar. “Aku tahu itu terdengar aneh. Namun, percayalah aku pernah beberapa kali mencoba dan berhasil. Namun, aku berharap kau tidak sampai mencobanya karena aku tak ingin kau kembali mengalami mimpi buruk.”
Bibir Dexter terkatup rapat tak menjawab, membuat suasana mansion yang sudah sunyi semakin senyap. Keduanya saling memandang dalam diam.
Sebuah tarikan dari mata hijau kecokelatan itu seakan meraih pandangan Vello untuk membawanya menyusuri lorong gelap di dalam sana. Vello menyambutnya. Memasuki lorong gelap itu semakin dalam, tetapi ketika dirinya tertelan oleh kegelapan itu, ia mendapati hatinya merasakan kesedihan tanpa sebab yang jelas. Ada sesuatu yang mengimpit dirinya membuat kesedihan itu semakin merayap menguasai hati.
Tanpa sadar jemari Vello terulur pada tangan Dexter yang berada di meja kaca berbentuk lingkaran kecil yang memisahkan tubuh mereka.
Dexter tertegun ketika jemari Vello menyentuh jemarinya. Tubuhnya tiba-tiba menegang. Ia menatap gadis di depannya dengan tajam kemudian beralih pada jemari Vello di tangannya. Sebelum jemari itu menggenggamnya, Dexter dengan cepat menyentak tangan itu untuk menjauh.
“Kenapa? Apa aku menyakitimu?” pandang Vello heran.
Dexter memandang Vello sesaat dengan raut tak terbaca sebelum akhirnya pria itu berlalu pergi meninggalkan Vello.
...To Be Continued...
Makasi banyak sudah baca chapter ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu ya. Segala info tentang karya dan visual bisa cek di IG @saltedcaramely_
