Bab 10: Rumah Duka
Dexter terduduk di ranjang king sizenya. Ia mengusap wajah dengan kasar kemudian memandangi jemari yang tadi disentuh oleh nona mudanya.
Ia menggeleng keras. Dexter segera meraih laptop yang tersimpan di laci nakas. Ia teringat sesuatu yang harus segera ia bereskan. Jemarinya sibuk menari di atas keyboard ketika laptop tersebut sudah menyala.
Matanya menelisik setiap gambar bergerak yang terbagi pada deretan persegi yang memenuhi layar. Tak lama, wajah serius Dexter tergantikan oleh seringai. Ujung jarinya memperbesar salah satu gambar di pojok layar dan memunculkan wajah-wajah pelaku yang telah menyakiti Vello pada rekaman CCTV kampus.
Kali ini ia tidak ingin mengotori tangannya dengan darah. Ia ingin dengan cara lain dalam menghancurkan mangsanya. Cara kotor yang sudah lama tak ia lakukan.
Dexter akan segera mencari tahu masing-masing kartu AS dari para gadis sialan itu agar ia dapat dengan mudah menghancurkan mereka.
***
“Selamat pagi,” sapa Vello pada kedua orang tua dan Dexter yang sudah berada di meja makan, sebelum akhirnya ia menarik kursi kosong untuk diduduki.
“Selamat pagi, Querida,” jawab kedua orang tuanya bersamaan.
“Selamat pagi, Nona” Dexter mengangguk hormat seperti biasanya.
Vello mendesah lega ketika bodyguard itu bersikap biasa padanya. Seakan pria itu tak pernah menyentak tangannya seperti beberapa jam lalu di taman belakang mansion.
Setidaknya ia juga bisa beranggapan bahwa kejadian itu tak pernah terjadi meskipun begitu menggelitik rasa penasarannya. Apakah bodyguard tersebut anti bersentuhan dengannya? Jika iya, Vello cukup tersinggung karena ia bukan orang yang akan menularkan penyakit hingga bisa membuat pria itu tak mau bersentuhan dengannya, tetapi ketika mengingat bahwa Vello sempat memeluk pria itu, rasanya dugaan Vello tadi sangat tidak tepat.
Lalu apa yang membuat pria itu begitu kasar menepis tangannya? Mengingat kejadian di saat Vello memeluk bodyguard-nya tersebut membuat jantung Vello tiba-tiba bekerja lebih dari biasanya. Kini, ia menunduk, tak berani memandang Dexter.
Tanpa sengaja mata Vello menangkap pada tajuk berita di surat kabar yang tergeletak di dekat piringnya.
“Wilfred Orville meninggal? Bukankah dia adalah pemilik perusahaan tempat Padre bekerja?”
Dexter hampir saja tersedak oleh air mineral di mulutnya ketika mendengar perkataan Vello. Matanya turut mengikuti arah pandangan Vello yang tengah memandang Rolland.
Ia sungguh tak menyangka bahwa Rolland bekerja di perusahaan Wilfred Orville. Ia hanya tahu bahwa Rolland bekerja sebagai manager area, sebuah posisi yang baru di embannya beberapa waktu lalu, tetapi ia tak mengingat jelas nama perusahaan tersebut.
“Ya, Querida. Kabarnya ia terkena serangan jantung. Untunglah dia masih memiliki putra yang andal sebagai penerus perusahaannya. Apakah kalian berdua hari ini ada acara? Jika tidak, ikutlah bersama kami untuk datang ke rumah duka setelah ini.”
Putra yang andal? Tentu saja ia begitu andal sampai menggeser paksa kedudukan ayahnya sendiri. Dexter kembali meneguk air dalam gelas agar menutupi senyum remehnya.
***
Mobil hitam Rolls Royce milik keluarga Shawn membelah deretan karangan bunga yang berjejer setelah melewati pagar halaman menuju mansion Orville.
Setelah lima berlalu, mobil tersebut sampai di sebuah mansion mewah bergaya modern.
Vello melangkahkan kakinya memasuki pintu utama mansion di belakang kedua orang tuanya, sedangkan Dexter berada dua langkah di belakang Vello. Awak media turut hadir di tengah-tengah banyaknya pejabat pemerintah dan kolega bisnis Wilfred Orville.
Vello turut bersalaman mengikuti kedua orang tuanya yang bertemu rekan bisnis Rolland. Ia merasa tidak nyaman berada di lautan orang-orang yang sama sekali tak dikenalnya. Entah sejak kapan ia mulai benci keramaian dan takut oleh tatapan orang-orang.
“Dexter, bisakah kau berjalan di sampingku? Aku tak nyaman di sini.”
Vello menoleh ke belakang, setengah berbisik pada Dexter yang hari ini mengenakan setelah formal jas serta dasi hitam yang mengingatkan Vello tentang pertemuan mereka kali pertama kala itu. Dexter mengangguk dan mengambil langkah di samping Vello.
“Kita akan menemui Mr. Orville,” ujar Rolland dengan menunjuk menggunakan matanya pada pria muda berambut cokelat yang tertata begitu rapi dengan garis wajah tegas yang kini sedang menyiratkan kesedihan yang mendalam di wajah tampannya yang entah mengapa mengingatkan Vello dengan wajah seseorang.
Meskipun jas hitamnya hampir mirip dengan semua orang yang datang, tetapi aura pria itu menguar menunjukkan dengan jelas siapa tuan rumah mansion tersebut.
“Mr. Orville, saya beserta keluarga turut berduka cita atas meninggalnya ayah Anda.” Rolland berujar ketika ia dan keluarga sudah sampai di hadapan anak sulung Wilfred Orville.
Keduanya berjabat tangan dengan Rolland yang menepuk punggung tangan pria muda tersebut dengan hangat. Menunjukkan bela sungkawanya.
“Terima kasih Mr. Shawn, Anda dan keluarga telah datang kemari. Saya mewakili ayah, memohon maaf bila ayah saya pernah berlaku tidak adil ataupun mengatakan suatu hal yang menyinggung Anda di masa lalu.”
“Oh tidak-tidak Mr. Orville, Ayah Anda merupakan pribadi yang baik dan bijaksana. Saya merasa terhormat sebagai karyawan yang pernah dipimpin oleh Ayah Anda.”
Pria muda mengangguk dan tersenyum kecil. Selanjutnya bersalaman dengan Camilla.
“Ini adalah putriku, Vellonica dan pria di sampingnya adalah Dexter,” ujar Rolland ketika pria berambut cokelat itu hendak bersalaman dengan Vello.
Mereka saling bersalaman termasuk Dexter yang memainkan peran dengan sangat baik sebagai salah satu orang yang turut berduka atas kematian Wilfred Orville.
Termasuk anak sulung tersebut yang tidak menyadari bahwa ia baru saja bersalaman dengan pria yang telah menuntaskan keinginannya untuk membunuh sang ayah karena tidak semua klien mengetahui siapa yang menjalankan tugas kotor tersebut, kecuali klien itu bertanya ataupun menunjuk khusus orang-orang Vernon.
“Apakah itu adik Anda?” tanya Rolland ketika seorang pria muda lain berjalan mendekat ke arah mereka setelah anak sulung tersebut memberi kode pada pria itu untuk mendekat.
“Ya, dia adalah adikku.” Putra sulung tersebut menepuk punggung adiknya ketika pria itu sudah berada di sampingnya.
Pria yang juga memiliki surai cokelat tersebut mengembuskan napas tak nyaman sebelum akhirnya menyunggingkan senyum palsu untuk bersalaman dengan Rolland dan Camilla.
“Kenneth?”
Rasa penasaran yang sedari tadi tertahan oleh Vello akhirnya terucap ketika mata pria itu sampai padanya.
“Vello?” Kenneth ternyata baru menyadari ada salah satu teman sekampusnya yang turut hadir.
“Kalian saling kenal rupanya,” ujar putra sulung tersebut membuat pandangan kedua orang itu terpotong.
“Ya Spencer, dia teman kuliahku,” lirik Kenneth sesaat pada kakaknya.
“Terima kasih sudah datang.”
Kali ini senyum tulus Kenneth tergambar di wajah tampan tersebut pada Vello. Ia merasa senang menemukan orang yang ia kenal di antara lautan manusia yang mengharuskannya memasang wajah tegar di tengah-tengah kemelut kesedihannya.
Jika bisa memilih, ia lebih ingin menghabiskan hari-harinya di dalam kamar daripada harus turun ke bawah menemui orang-orang yang tidak ia kenali. Namun, ia harus menekan egonya demi nama baik sang ayah.
“Kami turut berduka cita,” balas Vello.
Sungguh selama ini ia sama sekali tak menyadari bahwa nama belakang Orville yang disandang oleh Kenneth merupakan nama belakang sebagai anak dari pemimpin perusahaan tempat ayahnya bekerja.
***
“Kau juga menyembunyikan diri di tengah keramaian?”
Vello tersentak, menoleh dan menemukan Kenneth sudah duduk di sampingnya. Sebelumnya tak ada niatan bagi Vello untuk berjalan ke belakang mansion dan duduk di anak tangga yang menjadi akses menuju kolam renang di depannya.
Ia hanya mencoba melarikan diri dari tengah-tengah lingkungan asing ketika kedua orang tuanya menjauh untuk berbincang dengan para rekan bisnis dan Dexter tak kunjung kembali dari toilet.
“Iya. Kau memiliki taman dan kolam renang yang indah.”
Kenneth tersenyum samar, turut memandang kolam renang di tengah-tengah taman di depan mereka. Keduanya terdiam cukup lama hingga pertanyaan Kenneth yang terasa seperti gumaman, mendobrak kesunyian di antara mereka.
“Kira-kira apa yang akan kau lakukan ketika dirimu sudah tak memiliki siapa-siapa lagi?”
“Bukankah kau masih memiliki seorang kakak?” tanya Vello hati-hati.
Ia dapat melihat Kenneth tersenyum sinis meskipun pria itu masih betah memandang kolam renang dengan air yang begitu tenang. Angin berembus lembut meniupkan beberapa dedaunan yang terjatuh di atas air kolam.
“Aku tak memiliki hubungan baik dengannya”
Vello dapat melihat kehancuran serta keputusasaan pria itu.
“Dahulu ketika aku tinggal di Spanyol. Aku seperti tak memiliki kekurangan apa pun. Aku mempunyai semuanya, keluarga, teman, bahkan sahabat.”
“Kau orang Spanyol?” potong Kenneth.
Ya, meskipun mereka sudah saling mengenal nama selama beberapa tahun kuliah, tetapi keduanya memang tak benar-benar mengenal.
Vello mengangguk kecil dan tersenyum maklum, kemudian melanjutkan ucapannya. “Ya, meskipun dahulu kami hidup sederhana. Namun, ketika kami pindah ke sini, aku tak lagi memiliki sahabat bahkan teman sekali pun. Kau tahu sendiri bagaimana orang-orang di kampus memandang dan memperlakukanku.”
“Aku tahu cerita kita berbeda. Namun, bukankah intinya tetap sama? Kehilangan?”
Kenneth memandang dengan sabar, menunggu kelanjutan Vello.
“Tugas kita hanya melanjutkan hidup, Kenneth. Apa pun yang terjadi, sebelum Tuhan memanggil kita. Aku tahu ini sangat mudah untuk diucapkan terlebih oleh orang yang belum pernah merasakan ditinggal selamanya oleh orang tua.”
Vello menjeda kalimatnya dengan meraih napas berat sebelum akhirnya ia melanjutkan kembali.
“Tetapi, aku rasa kau bisa menyisipkan sedikit logika di sudut hatimu untuk mengingat bahwa ayahmu hanya pergi mendahuluimu, sebelum kalian kembali bertemu di sana. Seperti ayahmu yang menaiki pesawat keberangkatan pagi dan kau menyusulnya saat keberangkatan malam. Bukankah tujuan akhir kalian tetap sama? Kau hanya perlu memastikan untuk tidak salah menaiki pesawat.”
Kenneth tertunduk tak mampu merespons setiap kalimat Vello. Semua itu seakan menamparnya. Memaksa ia melebarkan sudut pandang pikirannya yang terlalu sempit.
Ia menjadi teringat percakapan dengan ayahnya beberapa malam yang lalu. Betapa pria setengah baya tersebut meletakkan harapan pada Kenneth untuk menjadi seorang dokter bedah yang andal, menjadi tangan Tuhan untuk menyelamatkan banyak nyawa agar tak bernasib sama dengan mendiang ibunya.
Padahal Kenneth mengingat betul bagaimana ayahnya dahulu sangat bersikeras menuntutnya mempelajari bisnis. Ia begitu berharap pada Kenneth untuk meneruskan kerajaan bisnis Orville.
Ayahnya tak pernah sependapat bahkan sering bersih tegang dengan Spencer meskipun kakaknya tersebut begitu menyegani dan terus membantunya mengelola perusahaan.
Yeah, gadis di sampingnya benar. Ia harus melanjutkan hidup. Memenuhi harapan ayahnya untuk menjadi dokter bedah andal. Membuat ayah dan ibunya bangga di sana.
“Nona.”
Sebuah suara yang terdengar tak begitu jauh, menyelusup masuk di tengah Kenneth dan Vello. Membuat keduanya menengok pada sumber suara.
“Tuan dan Nyonya mencari Anda.” Dexter berujar dengan khas wajah datarnya. Vello mengangguk dan beranjak berdiri diikuti oleh Kenneth.
“Sekali lagi terima kasih sudah datang. Lain waktu aku akan mentraktirmu makan malam.” Kenneth tersenyum tulus dan terkekeh di akhirnya. Vello hanya membalasnya dengan senyum kecil meskipun jantungnya berdebar hebat saat mendengar Kenneth akan mentraktirnya makan malam yang mungkin saja pria itu lupakan setelah Vello pulang dari mansionnya.
Keduanya berpelukan sekilas sebelum akhirnya Vello dan Dexter berjalan meninggalkannya.
Kenneth tak melepas matanya pada punggung Vello yang semakin menjauh sampai gadis itu benar-benar menghilang dari pandangan ketika memasuki mansion.
Ia kembali berbalik memandang kolam renang dengan menyembunyikan kedua tangan di saku celana. Kenneth mengembuskan napas berat seakan mencoba mengeluarkan beban dalam diri bersama napasnya, tetapi kemudian senyum tipis terukir ketika ia mengingat perkataan Vello.
...To Be Continued...
Makasi banyak sudah baca chapter ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu ya. Segala info tentang karya dan visual bisa cek di IG @saltedcaramely_
