Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8: Jarum Jahit

“Jika kalian tak ingin bernasib sama sepertiku dahulu, lebih baik kalian cepat pergi. Bodyguard Vello sudah berjalan ke arah sini,” ujar Arabelle dengan bersedekap angkuh.

Mendengar hal tersebut, para gadis itu langsung saling berpandangan dan segera pergi meninggalkan Vello begitu saja. Arabelle menarik napas panjang melihat Vello yang semakin tertunduk seraya memeluk tubuhnya sendiri untuk menutupi baju yang sudah robek.

“Aku berbohong pada mereka.” Arabelle menyelipkan beberapa lembar tisu ke tangan Vello dan meninggalkannya sendiri.

Vello mendongak menatap kepergian Arabelle dengan pandangan yang terhalang noda susu dan beralih pada tisu di tangannya. Ia mengembuskan napas berat sebelum akhirnya ia mengambil totebag-nya yang sudah terjatuh di lantai. Diapitkan totebag tersebut untuk menutupi tubuh bagian depannya. Tangan itu bergetar ketika membersihkan noda susu dari kacamatanya.

Ia benci pada dirinya sendiri yang masih saja lemah dan menjadi pihak tertindas seperti saat ini. Ia muak.

“Nona, apa yang telah terjadi padamu?” Dexter yang baru tiba memandang nona mudanya dari bawah hingga atas yang begitu kacau. Rambut yang berantakan, wajah yang dipenuhi cairan berwarna putih yang tercium seperti susu serta kedua lengan yang berwarna merah kebiruan.

Dexter mengetatkan rahangnya. Mengumpat dalam hati karena tak becus menjaga nona mudanya. “Siapa yang melakukannya, Nona? Saya akan membereskan mereka.”

Vello mendongak. Tiba-tiba amarahnya menyeruak begitu saja. “Membereskan apa? Semua sudah terjadi! Dari mana saja kau? Sibuk berkencan, huh?” Vello memukul Dexter dengan membabi buta dengan sisa-sisa tenaganya.

Dexter menggigit bibir bawahnya ketika pukulan Vello mengenai luka di bawah perutnya.

“Kau seharusnya memprioritaskan aku dibanding teman kencanmu itu!” Kedua tangan Vello meremas jaket di dada Dexter. Ia terisak, menempelkan kening di dada bidang tersebut dan kembali memukulnya dengan lemah.

Tubuhnya bergetar, tak berhasil membendung air mata yang semakin deras, luruh menjatuhi pipinya. Kemarahan serta sakit hati seakan menari di dalam dada Vello saat ini.

Dexter seketika menegang merasakan tubuh sang nona muda yang telah menempel padanya.

Tangis Vello semakin pecah seakan ingin mengeluarkan seluruh air mata yang sudah ia tahan selama ini. Ia tak pernah lagi menangis setiap kali mendapatkan perlakuan buruk teman-temannya di kampus, tetapi entah mengapa kini air matanya lolos begitu saja.

“Kenapa kau tega meninggalkanku? Kau harusnya memprioritaskan aku! Kau seharusnya tak berkencan dengan siapa pun dan ini semua tak akan terjadi.”

Kening Dexter berkerut heran dengan tuduhan berkencan yang dilontarkan nona mudanya beberapa kali tadi, tetapi ia tak menghiraukan. Memilih diam mendengar seluruh amarah Vello.

Tanpa Vello sadari, tangannya kini sudah berhenti memukul dan justru melingkari pinggang bodyguard-nya. Tubuh Dexter kini semakin kaku merasakan kedua tangan gadis itu begitu erat memeluk pinggangnya. Ia mengumpat dalam hati. Ia ingin rasanya menyentak tubuh itu untuk segera menjauhinya, tetapi tubuhnya justru hanya berdiri kaku.

Tangis Vello berangsur berhenti seiring ia menempelkan telinga di dada bodyguard-nya tersebut. Mendengar debaran jantung yang entah mengapa justru membuatnya tenang, serta tubuh Dexter yang membawa dirinya dalam kehangatan. Ia tak pernah merasakan senyaman ini memeluk seseorang.

“Terima kasih sudah menenangkanku.” Vello merenggangkan pelukannya meskipun sebenarnya ia sangat berat meninggalkan dada bidang tersebut, tetapi Vello cukup sadar diri dan tahu tempat.

Ia mendongak menatap Dexter yang begitu dekat dengan wajahnya saat ini. Manik keduanya saling bertemu. Untuk kali pertama, entah mengapa Vello merasa aman dengan sorot mata hijau kecokelatan tersebut meskipun ia masih dengan jelas melihat kegelapan yang menyelimuti manik itu.

Dexter mundur beberapa langkah mengambil jarak di antara mereka. Ia melihat baju nona mudanya yang tampak robek hingga memperlihatkan sebagian pakaian dalamnya, Dexter dengan cepat melepas jaket dan mengenakannya pada Vello. Menarik ritsleting hingga menutupi dada. Tampak begitu lucu karena tubuh Vello seakan tenggelam oleh jaket Dexter.

Aroma tubuh bodyguard-nya langsung menguasai indra penciuman Vello. Jaket ini justru membuatnya seperti berada dalam dekapan Dexter karena wangi parfum tersebut menempel sempurna pada jaket kulit cokelat itu.

“Katakan siapa yang menyakitimu, Nona? Saya berjanji akan membereskan mereka.” Dexter menatap Vello dengan keseriusan. Ia tak akan membiarkan orang yang sudah mencelakai sang nona muda lolos begitu saja.

Namun, tak ada kata satu pun yang masuk dalam pendengaran Vello ketika matanya jatuh melihat kaus bodyguard-nya yang robek di bagian bawah dengan darah di sekitar kaus tersebut. Tanpa berpikir panjang, jemarinya menarik ke atas kaus itu hingga menunjukkan luka robek di perut bagian bawah yang tampak mengerikan.

Dexter dengan cepat menutup kembali kausnya membuat Vello kembali mendongak dan menemukan wajah Dexter yang berubah mengeras marah, tetapi Vello tak peduli. “Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan itu padamu?”

“Hanya luka pisau kecil dari seorang pencopet ketika saya dalam perjalanan kemari.” Jawabnya berubah datar.

Vello menyipitkan kedua matanya. “Kau pikir aku bodoh? Luka seperti itu jelas bukan dari benda tajam.” Dengan cepat Vello menarik lengan Dexter namun pria itu segera menyentaknya.

Seakan memahami yang dipikirkan bodyguard-nya, Vello berujar, “Aku akan membawamu ke ruang praktik untuk menjahit luka itu.”

Dexter terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk dan mengikuti nona mudanya. Lagi pula ia memang harus segera menutup luka itu.

***

Bau khas rumah sakit langsung menyelusup ke hidung Dexter ketika Vello baru saja membukakan pintu ruangan di sayap kiri lantai tiga gedung fakultas kedokteran.

Dexter duduk di atas brankar. Matanya tak pernah lepas dari nona mudanya, seakan terdapat tali tak kasat mata yang mengikat.

Vello dengan sigap mencuci tangan dan mempersiapkan segera perlengkapan yang ia letakkan di meja beroda dekat bodyguard-nya. Tak lupa ia mengenakan sarung tangan steril dan duduk di kursi yang lebih rendah dari brankar Dexter sehingga posisi Vello tepat menghadap perut pria tersebut.

“Apakah Nona sudah terbiasa melakukan ini?” Akhirnya pertanyaan itu terlontar setelah tertahan begitu lama di ujung lidahnya.

“Tidak, aku hanya tahu teorinya, tetapi aku begitu antusias untuk mempraktikkannya,” jawab Vello dengan senyum lebar yang menampakkan deretan gigi putihnya.

Dexter sudah menduganya. “Saya bisa melakukannya sendiri, Nona.”

“Kenapa? Kau meragukanku?” Suara Vello berubah sedih.

Dexter akhirnya hanya mendesah pasrah yang ditangkap oleh Vello sebagai bentuk persetujuan untuk menyerahkan hal tersebut kepadanya. Vello menunduk menyembunyikan senyumnya. Ia menarik napas dalam sebelum akhirnya ia membersihkan luka tersebut dengan cairan antiseptik. Membuat Dexter turut menarik napas dalam dan ikut tegang.

Sial! Dexter benar-benar merasa konyol, tegang hanya karena nona muda menjadikannya subjek praktik. Bahkan ketika berhadapan dengan dua puluh pria bersenjata pun ia tak pernah tegang seperti ini.

Gerakan tangan Vello tak sedikit pun luput dari pengamatan Dexter. Mulai dari ia mengganti sarung tangan, mengaitkan benang ke lubang jarum curved needle hingga akan memulai menjahit. Tanpa sadar Dexter turut menahan napas karena melihat jemari itu gemetar ketika akan menusukkan jarum tersebut ke kulit bodyguard-nya.

Dexter mengumpat dalam hati. Ia dengan cepat menahan pergelangan tangan sang nona muda dan membuat gadis itu segera mendongak ke arahnya.

“Nona, jika Anda ragu, saya bisa melakukannya sendiri,” ujarnya dengan suara rendah menahan diri untuk bersabar.

“Aku tidak ragu,” kilah Vello, mengerjapkan matanya beberapa kali karena tak percaya dengan perkataannya sendiri dan sial, kenapa bodyguard-nya itu bisa tahu?

“Then just do it and stop trembling!” tukas Dexter sarat akan perintah dengan tegas.

Vello meneguk salivanya dengan kasar dan mengangguk kaku. Ia kembali menarik perhatiannya pada luka di perut bodyguard-nya. Satu tusukan jarum berhasil menembus kulit tersebut hingga berlanjut membentuk sebuah barisan jahitan.

Suasana yang begitu sunyi dengan iringan samar dari denting jarum jam dinding membuat Vello semakin gugup. Ia mendongak untuk melihat ekspresi pria di hadapannya tersebut.

“Apakah tidak sakit?” Pandangan Vello sarat akan tanda tanya besar karena wajah pria itu terlampau datar untuk orang yang sedang dijahit lukanya.

“Ini hanya luka kecil dibanding dengan luka yang pernah saya dapatkan sebelumnya.”

“Benarkah? Ceritakan padaku.” Vello kembali meneruskan jahitannya. Jemarinya kini lebih rileks dari sebelumnya.

“Saya tak pandai bercerita.”

“Kalau begitu mulailah belajar untuk bercerita,” lirik Vello dengan senyum kecil.

“Bagaimana jika Nona saja yang bercerita? Saya pendengar yang baik.”

“Apa yang perlu aku ceritakan? Aku tak punya kisah menarik. Tak sepertimu yang misterius.” Vello mendengkus tersamar.

“Bagaimana dengan memulai menceritakan kejadian tadi?”

Dexter mendengar jelas tarikan napas panjang yang diembuskan gadis berkacamata itu yang menerpa luka jahitannya, menciptakan sensasi dingin yang merayap.

“Kau tahu? Aku sudah berusaha berani. Aku mencoba melawan perlakuan buruk mereka dengan menampar salah satu dari gadis itu. Tetapi aku tak mampu menandingi karena jumlah mereka berempat. Mereka mulai menampar balik, menarik rambutku, mencengkeram lengan, merobek bajuku hingga menyiram wajahku dengan susu. Namun, sebelum mereka kembali menyiramku dengan sebotol jus, Arabelle datang mencegah mereka.” Vello tanpa sadar mulai mengadu dengan suara manja yang tak pernah ia keluarkan sebelumnya bahkan kepada Camilla sekali pun.

Dexter menaikkan satu alisnya mendengar suara manja sang nona muda. Suara itu lebih terdengar seperti seseorang yang sedang mengadu dari pada hanya sekadar bercerita.

Vello mendongak setelah curahan hatinya tak mendapatkan respons suara sedikit pun dari lawan bicaranya. “Kenapa kau hanya diam?”

“Lalu saya harus merespons bagaimana?” Dexter berbalik melemparkan pertanyaan dengan wajah datar khasnya yang membuat Vello ingin mencubit pada luka jahitannya itu.

“Yeah, harusnya aku sadar jika sekarang sedang berbicara denganmu,” gerutu Vello dengan suara kecil sambil mengoleskan krim pada luka yang kini sudah tertutup dengan jahitan karyanya.

Keduanya kembali diam sampai Vello menyelesaikan tugasnya dengan memasang hypafix pada luka jahit yang sudah tertutup kasa steril.

“Ingatkan aku sepuluh hari lagi untuk melepas jahitanmu.”

***

Langit malam telah menyambut ketika mobil yang dikendarai Dexter dan Vello telah berhenti di depan mansion.

Dexter keluar terlebih dahulu untuk membukakan pintu mobil di samping Vello. Ia melirik sesaat pada pakaian berwarna hijau muda yang membalut sempurna tubuh putih nona mudanya.

Sebelum mobil mereka meluncur menyusuri arah jalan pulang, Dexter menyempatkan diri berhenti pada sebuah toko pakaian untuk membelikan nona muda dan dirinya sendiri. Vello sepakat akan hal tersebut. Mereka tak ingin memancing sebuah pertanyaan yang mungkin bisa dilontarkan oleh Camilla ataupun Rolland ketika mereka berada di mansion nanti.

“Dari mana saja hingga pulang menjelang makan malam seperti ini?” Camilla sudah berdiri dengan berkacak pinggang di depan pintu utama mansion. Menatap Vello dengan hunjaman pertanyaan yang sudah mengantre di ujung lidahnya.

Vello memutar matanya. Omelan Camilla membuat ia malu pada dirinya sendiri. “Madre, bahkan teman seusiaku pulang hampir pagi dan orang tua mereka tak mempermasalahkannya. Lagi pula ada Dexter. Jangan khawatir berlebihan seperti ini.”

Ucapan putri bungsunya membuat Camilla melempar pandangan pada Dexter yang berdiri di samping belakang Vello. Senyum Camilla tiba-tiba merekah.

“Aku pasti tak akan sekhawatir ini jika dari awal kalian mengatakan pulang larut karena berbelanja baju.” Camilla mendesah lega setelah menatap baju dua anak muda di depannya bergantian.

Vello memilih tak menanggapi dan berlalu menaiki tangga. Sementara Dexter mengangguk hormat pada Camilla dan akan melangkah pergi, tetapi tangan Camilla mencegahnya.

“Apakah kau sudah memakan sarapanmu?”

“Sudah Nyonya. Terima kasih dan maaf sudah merepotkan. Sungguh Nyonya tak perlu melakukan hal sebaik itu terhadap saya.” Dexter menundukkan kepalanya lebih dalam.

Camilla meraih kedua lengan Dexter, membuat pria muda itu kembali menegakkan kepalanya. Camilla mengusapnya lembut. “Kau bisa memanggilku Madre atau Mom jika kau mau dan jangan tinggalkan sarapanmu lagi.”

...To Be Continued...

Makasi banyak sudah baca chapter ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu ya. Segala info tentang karya dan visual bisa cek di IG @saltedcaramely_

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel