Bab 7: Wilfred Orville
“Selamat pagi, Nona.” Dexter merendahkan kepalanya sedikit seraya membukakan pintu mobil Range Rover berwarna putih yang selalu ia gunakan untuk mengantar jemput Vello.
“Pagi Dexter.” Vello sedikit melirik Dexter sekilas yang tengah memakai jaket kulit cokelat berlapis kaus hitam, sebelum akhirnya ia memasuki mobil.
“Kenapa kau tak ikut sarapan? Madre menanyakanmu,” tanyanya ketika Dexter sudah duduk di bangku kemudi.
“Tadi ada sedikit keperluan yang perlu saya urus, Nona,” jawab Dexter tanpa menoleh dan datar seperti biasa. Vello sudah mulai terbiasa dengan hal itu semua.
Range Rover putih itu segera membawa mereka keluar mansion.
“Madre menyiapkan bekal sarapan untukmu. Aku akan meletakkannya di bangku belakang.”
Ekor mata Dexter mengikuti pergerakan nona mudanya yang meletakkan sebuah mealbox di bangku belakang mobil.
“Aku heran kenapa Madre kelihatannya begitu menyayangimu. Bahkan kedua orang tuaku begitu menerimamu dengan tangan terbuka.” Vello bergumam dengan suara sangat kecil, tak menyadari bahwa Dexter mampu menangkapnya dengan jelas.
“Saya rasa Tuan dan Nyonya Shawn hanya berusaha bersikap baik,” pandang Dexter datar.
Vello terperanjat dan langsung menoleh pada Dexter. Ia menggigit bibir bawahnya. Tak enak hati karena bodyguard tersebut mendengar gumamannya yang mungkin dapat menyinggung perasaan Dexter.
“Maaf aku tidak bermaksud ....” Vello kebingungan untuk menjelaskan. Setelah lama menggantung kalimatnya sendiri karena kesusahan memilah kata yang tepat, Vello menyerah. “Yang terpenting, jangan absen dari meja makan lagi.”
“Baik, Nona”
Suara musik dari layar entertainment mengambil alih pendengaran kedua orang beda usia itu di dalam mobil. Namun tak ada satu pun di antara mereka yang benar-benar mendengarkan musik yang berdentum tersebut.
Vello tenggelam dalam buku yang sudah berada di pangkuannya, sedangkan Dexter berkelana pada pikirannya yang bercabang.
Ia jelas berbohong pada nona mudanya ketika memberi alasan tak mengikuti sarapan karena ia justru baru saja pulang dari bersenang-senang dalam dunia gelapnya.
Vernon benar-benar tak memberi kabar apa pun tentang misi selanjutnya, sementara ia tahu bahwa Jake hampir tak pernah terpejam untuk menuntaskan segala misinya. Dengan itu Dexter semakin sadar bahwa Vernon sengaja tak memberikannya misi. Egonya benar-benar tersentil. Ia merasa tersisihkan dengan perlahan sedangkan Dexter sangat merasa selama ini kerjanya tak pernah mengecewakan.
Perasaan itu tak bisa membuatnya lelap tertidur dan akhirnya ia memaksa keluar dari mansion untuk melampiaskan gemuruh di dadanya. Ia cukup menikmati pelampiasannya pada sekawanan berandalan yang ditemukannya tengah mencoba memperkosa seorang gadis remaja.
Namun sayang, Dexter tak bisa bersenang-senang dengan mengoyak tubuh mereka karena ia cukup sadar bahwa ia sendirian di negara ini tanpa ada yang akan membantunya untuk membereskan mayat-mayat tak berguna itu. Bahkan ketika berandalan itu sudah menjadi seonggok tubuh tak bernyawa pun mereka tetap menjadi sampah yang merepotkan. Dexter hanya melubangi masing-masing tempurung mereka dengan pistol, setelah sebelumnya ia sempat menghajar dengan tangan kosong yang sudah panas untuk menyentuh darah.
Saat ini perkataan nona mudanya turut menyita pikirannya. Dexter tak menampik, menyetujui perkataan gadis berkacamata itu. Dexter juga turut merasakan perlakuan Rolland dan Camilla cukup berlebihan pada dirinya yang hanya sekadar seorang bodyguard. Terasa omong kosong bagi Dexter ketika orang asing mendapatkan perlakuan istimewa seperti itu.
Namun, ia juga tak bisa menghindari rasa hangat yang merayap pada hatinya setiap kali mendapat perlakuan yang begitu baik dari Rolland dan Camilla, sebuah hal yang tak berani Dexter harapkan sebelumnya.
Mencoba mengesampingkan pikiran itu, Dexter mengasumsikan kemungkinan kedua orang tua nona mudanya tersebut hanya menyalurkan kasih sayang atas kerinduan pada anak pertamanya, Russell yang jarang pulang ke negara ini.
Fokus Vello dan Dexter segera naik ke permukaan ketika mereka sudah tiba di parkiran kampus. Seperti biasa, Dexter lebih dahulu keluar untuk membukakan pintu dan Vello akan berjalan lebih dahulu disusul Dexter di belakangnya.
Semenjak Dexter mendampinginya, Vello dapat bernapas dengan tenang di setiap langkah karena tak ada satu pun orang yang mencoba mengganggunya. Beberapa dari mereka hanya berani melukai dari sorot mata tanpa berani menyakiti fisiknya karena tak ingin bernasib sama dengan teman cantik mereka, Arabelle.
Vello menaiki anak tangga di dalam kelas dengan melirik Kenneth yang tampak memilih duduk berjauhan dengan satu tingkat lebih tinggi dari tempat duduk Arabelle. Tampaknya keduanya memang sudah tidak memiliki hubungan lagi. Tidak ada yang akan memamerkan ciuman panas di kelas seperti beberapa waktu lalu.
Bola mata Kenneth dan Vello saling bertabrakan, tetapi dengan cepat Vello segera memutusnya. Tentu saja ia masih tak sanggup untuk bertatapan dengan si pria tampan itu. Insiden bodohnya masih terus menempel di kepala seakan berteriak agar ia tidak melupakan hal memalukan itu.
Sang dosen, pria dengan banyak guratan keriput itu memulai perkuliahan dengan suara seraknya. Vello melirik ke arah pintu tempat Dexter berdiri. Tidak biasanya ia melihat pria bertubuh atletis itu sibuk memperhatikan ponsel di tangannya. Apakah bodyguard-nya itu mulai berkencan dengan seorang wanita?
Vello menaikkan satu alisnya. Mulai merangkai praduga penyebab Dexter tak mengikuti sarapan pagi ini dan hasil kesimpulan pikiran liarnya adalah Dexter baru saja pulang dari rumah teman kencannya pagi tadi. Kini lipatan pada kening mungilnya menunjukkan bagaimana gadis berkacamata itu berpikir keras, menerka wanita seperti apa yang menjadi teman kencan pria dengan aura menyeramkan seperti Dexter.
Vello mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali seraya membenarkan posisi kacamata yang sebenarnya masih berada pada posisi yang tepat. Ia melihat Dexter tersenyum samar pada layar ponsel itu. Jadi benar Dexter sudah memiliki teman kencan?
Tak lama dari itu Vello melihat Dexter keluar kelas begitu saja dengan terburu-terburu. Vello mendesah lesu dan kembali menyibukkan jemari serta pendengarannya pada materi kuliah.
Dexter melesat masuk ke dalam mobil setelah kakinya begitu tak sabar berlari ke arah parkiran. Semangatnya mencuat ketika mendapat sebuah pesan singkat dari nomor asing berisi sebuah lokasi stasiun kereta bawah tanah di London barat.
Itu bukanlah pesan singkat sembarangan. Dexter sudah sangat hafal bahwa itu adalah tanda baginya untuk mendapatkan misi. Dengan seringainya, Dexter keluar dari mobil. Merapikan jaket cokelatnya dan melangkah masuk ke dalam Shepherd’s Bush.
Dexter penyapukan pandangan secara perlahan sembari melangkah. Menelisik setiap orang yang berlalu lalang, sampai seorang pria berbadan tambun menabrak bahunya. Dexter tak berbalik untuk menegur pria itu karena sebuah ponsel keluaran tahun 2000-an sudah terselip di tangannya. Dexter berjalan menjauh dari keramaian sebelum menekan tombol panggilan dan mendekatkannya ke telinga.
Sebuah suara berat nan dingin dari seorang pria yang sudah sangat dikenal menyambut pendengarannya. “Maaf mengganggu masa cutimu. Misi ini terlalu sayang untuk ditolak.” Ujar Vernon di seberang sana.
“Aku sangat menantikan misi ini. Cuti ini justru membuatku stres, jika kau tahu itu. Aku ingin segera kembali ke New York secepatnya.” Dexter mengeraskan rahangnya menahan diri untuk tidak memberi sumpah serapah pada Vernon. Ia cukup tahu diri dan menghormati pria itu.
Vernon terkekeh kecil di tengah suaranya yang dingin dan penuh kuasa. “Sabar dan nikmatilah waktumu di sana.” Vernon berdeham sebelum melanjutkan pada pembicaraan serius. “Misimu kali ini adalah membunuh Wilfred Orville. Kau tentu tahu siapa politikus sekaligus pengusaha sukses itu. Anak sulungnya yang menjadi klien kita. Ia ingin kau membunuhnya hari ini di kantor pria tersebut. Bermainlah bersih seperti biasanya.”
Dexter mendengar seksana segala informasi yang Vernon terangkan agar ia bisa menjalankan misinya tanpa gangguan. Ia berjalan keluar stasiun dengan tetap menempelkan ponsel itu, lalu membuang di tempat sampah setelahnya.
Ia tak perlu repot-repot menghapus nomor yang tadi meneleponnya karena dalam hitungan beberapa detik pun ponsel itu akan rusa dengan sendirinya.
***
Range Rover putih yang dikendarai Dexter terparkir di dekat gedung pencakar langit di pusat kota London tempat ia untuk menjalankan misinya.
Di balik kemudinya, jemari Dexter sibuk mengetik pada layar laptop untuk merentas CCTV gedung tersebut agar ia dapat bergerak bebas.
Senyum miring di bibir Dexter muncul ketika dengan mudahnya ia merentas CCTV tersebut. Ia segera memindahkan laptop ke kursi penumpang di sampingnya dan beralih memasangkan gun silencer pada desert eagle kesayangannya.
Darah berdesir panas membangkitkan adrenalinnya ketika ia memasukkan pistol tersebut ke belakang pinggang. Dexter menyeberangi jalan sebelum akhirnya ia melenggang masuk ke dalam gedung tersebut.
Di dalam lift jemarinya sibuk mengatur frekuensi sebuah alat yang akan menghubungkannya dengan earpiece para bodyguard Wilfred Orville. Dexter segera memasang earpiece untuk mengecek apakah ia sudah terhubung. Ketika suara salah seorang bodyguard tersebut muncul, Dexter mendengarkan secara saksama dan segera mematikan earpiece pria itu untuk mengambil alih.
“Mr. Orville meminta kita semua turun ke loby untuk mengawal kedatangan Mr. Thomas,” ujar Dexter menirukan suara dan aksen yang sama persis dengan salah satu bodyguard yang tadi didengarnya.
Thomas adalah salah satu kolega terdekat Wilfred Orville, setidaknya itu yang ia tahu dari informasi yang Vernon berikan.
“Copy that,” jawab masing-masing bodyguard.
Dexter tersenyum puas dan keluar lift ketika pintu besi itu terbuka di lantai tempat ruang kerja Wilfred Orville. Dexter dengan santai membuka pintu berwarna hitam yang bebas dari penjagaan bodyguard.
“Siapa kau?” Wilfred Orville mendongak dari fokusnya pada lembaran kertas di meja kerjanya.
“Saya datang untuk menjemput Anda, Sir.” Dexter melangkah lebih dekat hingga berada di dekat kursi pria paruh baya tersebut.
“Apa maksudmu?” Guratan kebingungan di dahi pria berambut putih itu semakin terlihat seiring ia berdiri dari kursinya.
Seringai keji Dexter terbit yang langsung membuat alarm tanda bahaya di otak Wilfred Orville berbunyi nyaring. Ia gelapan mencoba menghubungi para bodyguard-nya tetapi dengan gesit Dexter mencegahnya.
“Waktuku sangat pendek. Aku tidak ingin berbasa-basi.” Dexter mengeluarkan pistol dari balik jaket kulit cokelatnya yang langsung diarahkan ke dada pria itu.
Tanpa Dexter sadari, tangan Wilfred Orville meraih salah satu trofi kaca di dekatnya dan menusukkan secara asal ke perut Dexter agar pria di depannya itu mundur dan ia dapat keluar dari ruangan untuk menyelamatkan diri.
Seketika mata Dexter terbelalak merasakan nyeri di perutnya. “Keparat!”
Peluru Dexter langsung melesat menyusup dan melubangi jantung Wilfred Orville. Tanpa suara, tetapi mampu membuat pria paruh baya tersebut langsung terkulai tak berdaya. Dexter mendorong Wilfred yang sudah tak bernyawa itu untuk kembali duduk di kursinya.
“Sial!” umpat Dexter lagi ketika membuka kausnya yang telah robek untuk melihat luka di bawah perut bagian kirinya. Luka itu cukup lebar meskipun tak begitu dalam.
Dexter mengambil trofi kaca yang sudah terjatuh di lantai karpet tersebut. Membersihkan dari noda darahnya untuk menghilangkan jejak.
Ia segera keluar sembari mengepalkan tangan merutuki dirinya sendiri yang begitu bodoh tak menyadari hal sepele seperti tadi. Dexter menaikkan ritsleting jaketnya sampai batas di bawah dada untuk menutupi luka di perut.
Diliriknya jam di pergelangan tangan. “Damn it!” Dexter segera bergegas setengah berlari keluar lift. Ia sudah telat untuk menjemput nona mudanya.
***
Vello keluar dari kelas terakhir dengan mengedarkan pandangan mencari bodyguard-nya. Ia mengentakkan kakinya dengan kesal. Bagaimana bisa bodyguard itu malah berkencan dan meninggalkannya di kampus, bahkan sampai kuliah berakhir pun pria itu belum juga muncul.
Diraihnya ponsel di saku celana untuk menghubungi Dexter, tetapi ia urungkan ketika melihat beberapa gadis berhenti tepat di depannya.
“Di mana pria yang biasanya bersamamu itu?” ejek gadis berambut pendek dengan menyilangkan tangan di depan dada.
Vello mendengkus kesal. Ia melangkah melewati gadis itu, tetapi salah satu dari mereka menahan tangan Vello.
“Mau ke mana kau?” Salah satu gadis berambut ombre itu menyudutkan Vello ke dinding.
“Jauhkan tanganmu dariku,” tepis Vello kasar.
Sejak mendengar alasan Arabelle kala itu, Vello bertekat untuk menekan dalam rasa takutnya agar tidak selalu ditindas dan dimanfaatkan. Ia akan melindungi diri bagaimanapun caranya.
PLAAK!
Satu tamparan mendarat di pipi Vello.
“Bitch! Beraninya kau menepis tanganku.”
PLAAK!
Vello membalas tamparan itu dengan lebih keras. Napasnya memburu seiring gemuruh panas di dadanya karena emosi.
Salah seorang di antara mereka menarik rambut Vello dengan keras hingga ia meringis kesakitan. Vello tak ingin menyerah. Ia ikut menarik rambut gadis itu hingga pertengkaran tak terelakkan dan menjadi tontonan para mahasiswa di sana.
Vello meringis kesakitan ketika kedua lengannya dicengkeram erat dan salah satu dari mereka merobek baju Vello. Tak berhenti di sana, gadis berambut panjang yang berada di hadapannya itu menyiramkan susu tepat di wajah Vello.
Mereka tertawa keras melihat Vello kini tertunduk menahan tangis. Namun, seakan belum puas, salah satu dari mereka sudah akan menyiram jus di kepala Vello sebelum suara seseorang menghentikan mereka.
...To Be Continued...
Makasi banyak sudah baca chapter ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu ya. Segala info tentang karya dan visual bisa cek di IG @saltedcaramely_
