Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6: Pisau

Sudah lebih dari seminggu Dexter berada di kediaman Shawn. Tak ada hal menarik selama beberapa hari itu. Kesenangannya hanya secuil ketika ia mencekik salah satu teman nona mudanya itu. Setelahnya bahkan gadis itu belum kembali terlihat di kampus.

Hal itu membuat Dexter merasa aneh pada tubuhnya. Seperti sebuah puzzle yang terlepas hingga membuat sebuah gambar pada potongan puzzle itu tak lagi utuh.

Ia melangkah gusar. Tubuhnya terasa panas di dalam ruangan kamar yang dingin. Baru kemarin Camilla memindahkan kamarnya tepat berada di sebelah kamar sang nona muda karena dirasa kamar ini jauh lebih besar dan sudah siap ditempati karena sebelumnya saluran air di kamar mandi ini sempat terganggu.

Dexter menanggalkan kaus yang ia kenakan menyisakan celana Panjang berwarna abu-abu yang menampakkan V line bagian tubuh bawahnya.

Diraihnya pisau kesayangan yang tersimpan di laci nakas. Benda tajam itu telah menjadi saksi tiap darah yang pernah melumuri hausnya tangan dingin Dexter dalam melukis tubuh-tubuh yang ia koyak dengan indah.

Jemari kirinya menekan sebuah nomor yang sudah lama tak ia hubungi. Sedangkan tangan kanannya memainkan pisau tersebut dengan lincah.

Sesaat kemudian, sebuah suara seorang pria terdengar dari seberang sana. “Apakah kau begitu bosan di sana hingga menghubungiku?” Pria di seberang sana terkekeh.

“Ya, tanganku sudah gatal ingin melubangi kepala orang. Tak adakah seseorang yang kau benci di London? Mungkin aku bisa membantumu untuk membunuhnya.”

“Tidak, bayaranmu terlalu mahal!” Lagi-lagi pria di seberang sana terkekeh. “Kau masih ingat pada tua bangka James?”

“Tentu saja, aku sudah lama ingin membunuhnya. Namun, aku belum mendapatkan klien yang ingin membunuh pria tua itu.”

“Dan ia sekarang menjadi targetku. Aku sedang di hotel menunggu kedatangannya.”

“Damn you, Jake! Jika tak berada di sini aku pasti segera menyusulmu dan ikut berpesta.” Tangan lincahnya berhenti memainkan pisau bergantikan cengkeraman pada gagang benda tajam itu.

Jake tertawa puas. “Tentu saja. Apakah kau ada permintaan khusus? Aku akan dengan senang hati melakukannya untukmu.”

Seringai Dexter terbit. Ia kembali memainkan pisaunya. “Aku ingin kamu memotong jemarinya satu persatu. Irislah secara perlahan, sebelum kau menebas kepala tua bangka itu.”

“Kau selalu menyukai foreplay terlebih dahulu, Dex. Oh shit!” sentak Jake tiba-tiba.

Dexter menaikkan sebelah alisnya. “Ada apa?”

“Tua bangka itu membawa enam jalang sekaligus ke kamarnya. Aku menjadi tak yakin memiliki kesempatan untuk membunuhnya.”

“Mereka hanya jalang. Kau bisa menyingkirkan mereka seperti mengusir lalat.” Dexter merasa aneh dengan ucapan rekannya itu.

“Apa kau bodoh? Dia sudah tua! Aku yakin tua bangka itu sudah lebih dahulu terkena serangan jantung saat para jalang itu baru menggoyang ranjangnya.”

Sontak keduanya langsung tertawa membayangkan tua bangka seperti James mati konyol sebelum mendapat pelepasan.

Tiba-tiba pintu kamar Dexter terbuka. Memunculkan wajah Vello yang terperanjat kaget, menutupi mulutnya dengan tangan dan sebuah buku yang terjatuh di sisi kaki telanjang gadis tersebut.

Pemandangan apa itu? Bodyguard-nya telah menodai matanya! Vello susah payah meneguk salivanya, melihat Dexter bertelanjang dada yang berdiri tak jauh darinya. Tubuh itu begitu terbentuk sempurna. Lekukan di setiap otot perut dan lengannya mengalirkan rasa panas di sekujur tubuh Vello, membuat jemari kecil nona muda itu tanpa sadar mendamba untuk menyentuhnya.

Namun, pandangan mata Vello berhenti pada salah satu tangan bodyguard-nya yang tengah memegang pisau. Pisau? Seperti kilat yang membelah malam, fantasi liarnya terbelah dan hilang begitu saja bergantikan ketakutan yang mengguyur tubuhnya.

Dexter menatapnya tajam. Ia paling tidak suka privasinya diganggu dan nona mudanya telah lancang memasuki kamar tanpa mengetuk pintu.

Vello mematung di ambang pintu melihat sorot mata itu dan lagi, pria itu semakin mencengkeram pisau yang ada di tangannya. Pikiran Vello berkeliaran memunculkan banyak pertanyaan yang membuatnya pusing.

Dexter mematikan sepihak sambungan teleponnya. Melempar asal benda pipih tersebut. Kakinya melangkah menghampiri sang nona muda tanpa ingin repot-repot menyembunyikan pisau yang masih setia di tangannya.

“Ma-maaf aku tidak tahu kau menempati kamar ini.”

Vello memberanikan diri mendongak, menatap Dexter yang lebih tinggi darinya untuk sekadar meyakinkan pria itu bahwa ia benar-benar tak sengaja. Namun, sepertinya itu adalah keputusan yang salah karena ketika sorot tajam itu bertemu dengan manik kelabunya, tubuh Vello terasa seperti terimpit oleh dinding hitam tebal yang membuatnya sesak untuk bernapas.

“A-aku akan pergi. Maaf.” Vello bergerak cepat berbalik untuk segera pergi, tetapi tangan Dexter dengan cepat menahannya.

Vello menatap takut pada tangan kokoh Dexter yang memegang lengannya. Ia berharap saat ini bukanlah akhir dari hidupnya. Meskipun ia begitu kesepian tetapi itu tak membuatnya ingin mati dengan cepat.

“Aku benar-benar tak tahu jika kau berada di kamar ini. Bukankah kamarmu berada di ujung? Maafkan aku.”

Vello tak ingin mengulang kesalahan dengan menatap Dexter. Kali ini ia lebih memilih menunduk dengan suara hampir berbisik karena ia tak yakin dengan kalimat itu bisa menyelamatkannya dari kematian yang sepertinya sudah berada di ujung.

Sudut matanya menangkap salah satu tangan bodyguard-nya itu yang tengah memainkan pisau dengan lincah di tangannya. Vello memejamkan matanya rapat-rapat hingga membuat sisi mata dan dahinya berkerut. Ya Tuhan apa pria itu sedang menyunggingkan seringai mengerikannya seperti ketika melukai Arabelle?

“Aku biasa ke kamar ini untuk membaca. Jika aku mengetahui kau menempati kamar ini, tentu aku tidak langsung masuk seperti ini,” imbuhnya lagi dengan tangan bergetar membenarkan kacamatanya. Berharap tambahan penjelasan itu dapat menjadi penyelamatannya.

“Nona, kau begitu cerewet,” bisik Dexter tepat di telinga Vello yang membuat seketika tubuh gadis tersebut seperti dialiri listrik yang merambat menyentuh seluruh tubuhnya.

Tangan Dexter merenggang dari lengan Vello, hingga akhirnya terlepas. “Kau melupakan bukumu, Nona.” Suara bodyguard itu tiba-tiba kembali datar.

Ia melihat jemari pria itu sudah menyodorkan buku yang tadi dibawanya. Dengan cepat Vello mengambil buku itu dan langsung berlari pergi dengan kepala yang masih setia menatap lantai.

Tanpa Vello sadari, Dexter terus memperhatikan punggung nona mudanya tersebut dengan seringai yang terlukis di wajah tegasnya. Ia menikmati ketakutan dari gadis itu. Mungkin lain waktu ia akan bermain-main dengan wajah ketakutan nona muda untuk mengusir kebosanannya.

***

Vello berjalan mondar-mandir di depan ranjang. Diketuk-ketuknya ponsel yang ada di tangannya ke dagu. Menimbang sesuatu hingga akhirnya ia memutuskan untuk tetap menghubungi kakaknya.

“Princesa? Apa yang kau baik-baik saja?” Suara khawatir Russell langsung menyambut pendengarannya.

“Aku baik-baik saja.”

“Lalu ada apa menelepon? Bukankan di London saat ini masih jam empat pagi?”

“Aku tidak bisa tidur. Kau di mana? Ramai sekali.” Vello akhirnya memilih untuk duduk bersandarkan kepala ranjang.

“Aku sedang berada di kafe menunggu seseorang. Bagaimana kuliahmu?”

“Baik ...,” jawab Vello lesu. “Rush, mengapa kau memilih Dexter sebagai bodyguard-ku?”

“Kudengar dia adalah orang terbaik. CEO perusahaannya sendiri yang merekomendasikan Dexter padaku. Ada apa? Apa dia melakukan kesalahan?”

“Tidak ... dia hanya ... menyeramkan,” ujar Vello akhirnya. Entah kenapa kalimat yang sudah di ujung lidah itu justru ia telan begitu saja bersamaan perasaan aneh yang memenuhi kepalanya.

Terdengar tawa geli Russell. “Tentu saja dia menyeramkan, Princesa karena dia bodyguard. Tidak ada bodyguard yang menggemaskan.”

Vello tersenyum kecut. Tentu saja ia tahu dan tidak sekonyol itu mengharapkan bodyguard berwajah imut.

Sesaat kemudian Vello dan Russell mengakhiri perbincangan mereka. Vello merebahkan tubuhnya dengan kedua tangan terbentang. Ia mengembuskan napasnya perlahan melalui mulut dan memejamkan mata, merayu mimpi menjemputnya.

***

Di meja makan maupun dalam perjalanan menuju kampus, Vello selalu melarikan diri dari pandangan Dexter. Rasa takut bodyguard-nya masih kental, bergelayut di dalam dadanya. Sedangkan pria berbadan tegap itu justru terang-terangan memandanginya dengan wajah datar. Bukankah terbalik? Seharusnya Dexter sebagai seorang bodyguard tidak lancang untuk terus memandangi nona mudanya, tetapi apa yang bisa Vello lakukan? Ia justru takut pada bodyguard-nya sendiri.

“Arabelle?” Mata Vello membulat ketika menemukan teman sekelasnya yang tak tampak lebih dari seminggu itu kini tengah duduk di salah satu bangku kelas.

Kaki Vello melangkah lebar menaiki anak tangga yang berada di tengah-tengah deretan bangku. Arabelle hanya menoleh malas ketika Vello sudah duduk di sampingnya.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Vello sembari membenarkan kacamatanya yang turun.

“Setelah menjalani perawatan untuk leherku selama seminggu, ya ... aku baik-baik saja.” Arabelle bersedekap sembari menyandarkan tubuhnya ke kursi.

Sesungguhnya ia dan keluarganya sangat ingin menuntut pria yang mencekiknya tersebut. Namun, ketika ia memikirkan ulang, Arabelle mengurungkan niat dan meredam orang tuanya. Arabelle rasa ia akan mendapatkan masalah yang lebih besar jika ia menuntut pria tersebut. Tatapan dan seringai pria berambut brunette itu seakan menikamnya dan Arabelle tahu, pria tersebut bukan orang biasa. Seorang yang berbahaya dan siap melukai tanpa belas kasih.

“Ka-kau sampai menjalani perawatan?” Mata Vello melebar.

“Apa kau bodoh? Tentu saja! Kekasihmu itu hampir meremukkan leherku.”

Kini Vello mengerjapkan matanya beberapa kali. Apa ia tak salah mendengar? “Dexter bukan kekasihku. Dia bodyguard.”

Jawaban Vello sontak membuat Arabelle tertawa sembari memandang remeh gadis di depannya. “Kau menyedihkan sekali,” cibirnya.

Vello menunduk mendengar ucapan itu. Ya, dia memang sangat menyedihkan jadi tak perlu ada orang yang mempertegas dengan mengatakan hal itu padanya. Sementara itu Arabelle berdeham sedikit merasakan hal aneh melihat teman sekelasnya itu tertunduk karena ucapannya.

“Aku pikir kau memiliki selera pada pria matang dan liar seperti itu,” liriknya pada Dexter yang berdiri di dekat pintu kelas sembari memperhatikan sekitar.

“Apa yang kau bicarakan?” Kening Vello sukses menciptakan beberapa lipatan karena keheranannya.

“Bukankah dia sangat menggoda? Jika ia tak pernah mencekikku, mungkin aku akan menerjang dan menyeretnya ke ranjang.” Mata Arabelle tak lepas memperhatikan bodyguard temannya itu dari bawah hingga atas.

Dexter tengah mengenakan kaus berwarna maroon dengan beberapa kancing di atasnya yang ia biarkan terbuka. Sangat seksi karena kaus itu berhasil mencetak ototnya secara samar. Sementara bagian lengannya ia tarik hingga mencapai siku yang memperlihatkan lengan bawahnya. Sedangkan pada bagian celana Dexter mengombinasikan dengan celana jeans biru gelap beserta sepatu docmart berwarna cokelat. Penampilan Dexter terlihat begitu jantan.

Vello turut memperhatikan bodyguard-nya. “Dia pria yang menyeramkan,” gumam Vello tetapi mampu didengar oleh teman cantiknya itu.

Arabelle memutar bola matanya. “Yeah, aku sudah tahu.”

“Ara, maafkan aku atas kejadian itu dan sungguh aku tak pernah menggoda Kenneth. Aku cukup sadar diri bahkan untuk memandangnya.”

Bertepatan dengan perkataan Vello, pria yang tengah kedua gadis itu bicarakan baru saja melewati mereka setelah sedikit melirik ke arah Arabelle dengan wajah muak.

Arabelle berbalik memandang Vello. Ia mengibaskan tangan di depan wajah. “Sudahlah lupakan hal itu. Aku hanya sedang melampiaskan kekesalan padamu saja tetapi berujung sial.”

“Apa maksudmu?”

Lagi-lagi Arabelle memutar matanya. “Aku hanya merasa tak terima ketika Kenneth memutuskanku karena ia melihatku sedang bercumbu dengan kakaknya. Aku selalu berada pada posisi yang memutuskan, bukan diputuskan seperti saat itu.”

Vello mengerjapkan matanya beberapa kali. Berusaha mencerna baik-baik perkataan Arabelle. Ia merasa akan salah paham jika ia tergesa-gesa menelannya, tetapi sekeras apa pun otaknya bekerja, perkataan Arabelle begitu menyulut api di dalam dadanya.

Dengan tangan terkepal Vello langsung merubah posisi duduknya menghadap depan. Mengeluarkan buku catatannya. Ia menyesal sudah meminta maaf.

***

Dexter memperhatikan dari belakang nona mudanya yang sedang mengentak-entakkan kaki ketika berjalan keluar gedung jurusan. Entah apa yang dibicarakan sang nona dengan teman yang sempat mencelakainya itu hingga ia berjalan dengan membawa kekesalan.

Dexter menyembunyikan kedua tangan di balik saku celana sambil terus memandangi punggung gadis yang tertutupi oleh rambut golden blonde yang terurai bebas, membuat rambut itu bergoyang seiring langkah kasar yang diciptakan oleh kaki yang beralaskan sepatu kets itu.

Matanya terus mengekori ketika Vello memilih berbelok pada area taman dan menghempaskan bokongnya di salah satu bangku dekat pohon besar yang rindang.

“Kita pulang setelah ini,” perintah Vello tanpa melihat pada bodyguard-nya. Tangannya sibuk mengorek isi ransel cokelat berbahan kanvas itu dan mendesah lega ketika menemukan headset yang ia cari.

Pria berkaus maroon itu hanya mengangguk dan memilih menyandarkan tubuhnya di pohon. Hampir seharian berdiri membuat kakinya begitu lelah tetapi tak mungkin jika ia duduk di samping gadis berkacamata itu.

Vello merebahkan kepalanya pada sandaran bangku taman. Matanya terpejam seiring alunan musik memenuhi pendengarannya dari headset yang baru ia pakai. Sedikit banyak, musik dapat merubah moodnya meskipun tak secepat ketika ia membaca buku ataupun meminum kopi.

Dexter hanya memandang datar melihat wajah damai gadis itu yang tengah terpejam menikmati musik di telinganya. Ia melempar pandangannya ke sekitar area taman ketika sang nona muda tetap setia menghabiskan bermenit-menit menikmati musik di telinganya.

Ia melirik sesaat pada jam di pergelangan tangan yang menunjukkan bahwa mereka sudah hampir satu jam berada di taman fakultas.

Mata Dexter kembali pada sang nona muda ketika bibir Vello melukiskan sebuah senyuman. Mata itu terbuka perlahan, menatap langit diiringi oleh embusan angin yang berhasil mengibarkan beberapa anak rambut yang membelai wajahnya.

Dexter memperhatikan kepala gadis itu menegak dan menoleh padanya. Vello tersenyum ke arah Dexter, tetapi segera sirna ketika bodyguard tersebut tetap memandangnya datar.

Bibir Vello mendesah, menyesali perlakuan ramahnya pada Dexter beberapa detik lalu padahal suasana hatinya sudah berangsur kembali baik. “Kita pulang,” kata Vello akhirnya.

...To Be Continued...

Makasi banyak sudah baca chapter ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu ya. Segala info tentang karya dan visual bisa cek di IG @saltedcaramely_

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel