Bab 5: Siapa Dia?
“Aku sudah memberimu kesempatan dan kau masih ingin menamparnya lagi?” Suara dingin Dexter menyambut seiring tangan pria itu menarik Arabelle untuk berdiri dengan cara mencekik lehernya dan membenturkan tubuh itu ke dinding. Lebih menyakit dari yang sudah dilakukan gadis itu pada Vello.
Wajah Arabelle memerah ketakutan serta menahan sakit di bagian kepala dan lehernya. Tak ada yang berani menolongnya. Semua mahasiswa langsung hening, tak ada yang berani bergerak ataupun berkomentar seperti sebelumnya.
Dexter menyeringai melihat ketakutan di wajah gadis itu. Ia memperhatikan sesaat pakaian yang Arabelle kenakan. Sebuah kaus off shoulders berwarna turquoise dengan rok berpotongan rendah yang memperlihatkan hampir keseluruhan paha rampingnya.
“Jalang berteriak jalang, huh?” Dexter kembali membenturkan tubuh itu ke tembok tanpa melepas cekikan di leher gadis itu.
Arabelle beberapa kali mengerjapkan mata untuk tetap tersadar dari sakit yang semakin bertambah di kepala dan punggungnya, serta napas yang semakin sulit ia dapatkan dari cengkeraman tangan pada lehernya yang sudah terasa akan remuk.
“Dexter hentikan! Kau melukainya.” Vello berusaha meraih lengan Dexter tetapi pria itu justru mendorong tubuh Vello untuk mundur.
“Jangan menganggu hiburanku, Nona.” Dexter berbalik memandang Vello sesaat dengan seringainya.
Seketika tubuh Vello menegang. Tatapan itu bukan seperti manusia normal. Vello mundur selangkah. Ketakutannya bertambah berkali-kali lipat dibanding teriakan yang Arabelle berikan tadi padanya.
“To-tolong.” Arabelle memukulmukul tangan Dexter semampunya. Wajahnya sudah semakin memerah.
Seringai Dexter semakin lebar dan cekikan itu semakin erat mengarahkan tubuh itu ke atas. Arabelle berusaha mencari pijakan dengan meronta, tetapi ia sudah tak bisa meraihnya.
“Dexter, hentikan!” Vello berteriak dengan sisa-sisa keberaniannya. Menatap iba pada Arabelle yang mulai lemah kehabisan napas.
BRAAK!
Dexter menghempaskan tubuh gadis itu ke lantai.
Ia tersenyum miring melihat gadis itu terbatuk-batuk tak berdaya dengan tubuh gemetar ketakutan. Sangat jelas terlihat bekas merah kebiruan di leher yang menunjukkan sekuat apa Dexter telah mencekik Arabelle.
Dexter beralih memandang Vello. “Mari Nona, jam mata kuliah Anda akan segera dimulai.”
Vello terbelalak dengan ekspresi Dexter yang telah kembali datar. Apakah dia benar-benar manusia? Bagaimana bisa ia berekspresi seperti itu setelah hampir membuat nyawa seorang gadis melayang?
Dengan kaku, Vello mengangguk. Memandang Arabelle sekilas dengan mengucap, “maafkan aku,” Begitu lirih.
***
Vello menunduk ketika Dexter membantu membukakan pintu kelas untuknya.
Seketika kelas yang tadinya ramai mendadak sunyi. Vello mendongak pada teman-teman kelas yang memandang seseorang di sampingnya. Vello mengikuti arah pandangan tersebut.
Sesaat setelah membenarkan kacamatanya yang sedikit merosot, Vello berujar dengan hati-hati.
“Dexter kau tidak boleh masuk ke ruangan ini. Tunggulah aku di depan hingga kelas selesai.”
Ia masih terbayang seringai dan perlakuan bodyguard-nya tersebut pada Arabelle beberapa saat lalu.
“Saya memiliki surat izin untuk berada di sini, Nona.”
Vello mengernyit heran, mengikuti pergerakan Dexter yang memberikan sebuah surat pada dosennya yang baru saja datang. Dosen tersebut juga melayangkan pandangan heran, tetapi ia segera membacanya dan dengan gerakan tangan dosen itu mempersilakan Dexter untuk berada di ruangan.
Pandangan datar Dexter kembali mengarah pada Vello. Seakan memahami, Vello mengangguk dan berjalan mengambil tempat duduk. Membiarkan Dexter berdiri memandangnya di dekat pintu.
Semua pasang mata hanya berani melirik Vello dengan pandangan takut. Mungkin mereka turut menyaksikan kejadian tadi. Vello semakin menunduk, tak tahu harus berbuat apa.
Bahkan sepanjang mata kuliah tak ada yang berani mengajaknya berbicara untuk sekadar meminjam alat tulis. Ini jauh lebih parah dari hari-hari sebelumnya. Vello benar-benar merasa kesepian dan asing pada kelasnya sendiri. Apakah setelah ini masih ada harapan untuknya memiliki seorang sahabat?
***
“Dexter,” pandang Vello pada bodyguard-nya yang kini tengah mengemudikan mobil menuju jalan pulang.
Vello bersikeras memberanikan diri untuk duduk di depan. Ia ingin membahas kejadian tadi pada Dexter.
Kemejanya kini sudah begitu kusut karena sedari tadi jemarinya tak berhenti untuk mencengkeram ujung kemeja tak berdosa itu.
“Kau tak perlu terlalu keras pada orang-orang yang menyakitiku di kampus.” Vello menunduk, mengintip Dexter yang meliriknya sebentar dari ujung mata.
“Aku tak tega melihatnya dan lagi bagaimana bila ada yang melapor pada pihak kampus? Bukankah masalahnya akan semakin panjang?”
Kali ini Dexter memandang Vello, meskipun hanya sesaat karena ia harus kembali berkonsentrasi pada jalan.
“Biarkan saya yang mengurusnya, Nona tak perlu khawatir,” jawabnya datar.
Vello mengangguk pelan. Suasana kembali hening. Vello bagai menyusut menjadi anak ayam. Jika sebelumnya Vello sudah ketakutan pada Dexter, maka saat ini semakin bertambah berkali lipat. Ia semakin ngeri pada pria di sampingnya tersebut. Dexter seperti bukan manusia.
Sampai Dexter membukakan pintu mobil ketika mereka sudah sampai di depan mansion pun, Vello masih belum berani memandang mata bodyguard-nya itu.
“Nona.”
Langkah Vello terpaksa terhenti ketika ia sudah mencapai anak tangga menuju pintu utama mansion. Perlahan ia berbalik pada Dexter yang masih berada di depan mobil.
“Saya minta maaf karena sempat membiarkan gadis tadi menampar Nona. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa keinginan Nona tadi adalah pilihan yang kurang tepat.”
Vello terperanjat. Bukankah ucapan Dexter tadi terlalu lancang untuk seorang bodyguard? Jadi pria itu sudah melihat sejak awal saat Arabelle tiba?
Tangan Vello terkepal. Mulutnya sudah terbuka untuk melepas kekesalannya, tetapi ketika manik hijau kecokelatan itu bertemu dengannya, seakan sorot pandang itu menyedot habis segala kemungkinan yang akan Vello layangkan pada pria itu. Bibir Vello kembali terkatub.
Tak ada yang bisa Vello lakukan. Akhirnya ia memilih untuk kembali berjalan memasuki mansion, tetapi sebelum ia mencapai pintu utama. Vello kembali berbalik.
“Bisakah kau besok mengenakan baju kasual? Kau tidak perlu memakai setelan jasmu lagi.”
“Baik, Nona,” jawabnya mengangguk patuh dengan wajah yang lagi-lagi begitu datar.
Vello kembali melanjutkan langkahnya sambil menggeleng. Ia sungguh tak bisa memahami makhluk apa bodyguard-nya itu.
Baiklah, mungkin seorang bodyguard memang terlatih dengan wajah datar. Tetapi ada apa dengan sorot mata dan seringgai yang masih tergambar jelas di kepala Vello itu?
***
“Kau sudah pulang?” Camilla tersenyum hangat dengan merentangkan tangan menyambut putri kecilnya.
“Sí (Iya), Madre.” Vello membalas dengan senyum kecil dan memeluk sang ibu sesaat.
“Kenapa pipi kananmu memerah seperti ini, Sayang?”
Vello memang patut memberikan penghargaan kepada penglihatan ibunya yang selalu jeli. Tak ada seinci pun dari tubuhnya yang pernah terlewat dari perhatian Camilla.
“Tak apa, Madre. Dexter sudah membantu menyelamatkanku.”
Camilla menangkup pipi putrinya dengan sendu. Namun, kemudian perlahan senyumnya kembali terbit, tetapi tak secerah sebelumnya. Seakan menyembunyikan kesedihan di balik wajah yang tetap cantik itu di usianya yang sudah tidak lagi muda.
Dikecupnya pipi sang ibu sekilas kemudian Vello melanjutkan langkah, meninggalkan Camilla menuju kamar.
“Nyonya,” sapa Dexter.
Camilla kembali menyunggingkan senyum ramahnya. “Terima kasih sudah menjaga putriku hari ini. Bergabunglah nanti untuk makan malam bersama kami.”
“Terima kasih, Nyonya.”
Camilla menatap kosong setelah kepergian bodyguard-nya. Ia berharap keputusan yang dibuatnya bersama Russell adalah keputusan yang tepat karena meskipun sang putri tak menceritakan apa saja yang sudah terjadi hari ini, Camilla dapat menangkap jelas pandangan kesepian yang semakin menggerogoti putrinya.
***
Langkah kaki Vello sempat terhenti ketika menemukan Dexter duduk bersama kedua orang tuanya di meja makan.
Pria itu sudah mengenakan pakaian santai, kaus lengan pendek berwarna biru dan entah bawahan apa yang dikenakannya, Vello tak dapat melihat dengan posisi duduk pria itu.
Pandangan mereka bertemu. Lagi, Vello menemukan kegelapan di mata bodyguard-nya. Bukankan seharusnya mata orang yang berwarna hijau kecokelatan itu indah dan teduh? Namun, Vello sama sekali tak menemukan jejak teduh di sana. Seakan keteduhan tak pernah singgah di matanya.
Lagi-lagi, Vello memutus terlebih dahulu benang pandangan di antara mereka.
“Waah ini terlihat menggiurkan!” Mata Vello berbinar melihat hidangan utama rabo de torro yang tersaji di atas meja.
Rabo de torro adalah jenis masakan Spanyol yang berbahan utama buntut banteng. Namun, tentu saja tak ada banteng di London. Jadi Camilla menggantinya dengan buntut sapi. Warna makanan ini cokelat kehitaman dengan kuah kental yang memiliki cita rasa kuat dari berbagai rempah yang ada di dalamnya.
Camilla tersenyum senang melihat putrinya yang begitu antusias dengan masakannya malam ini.
Makan malam di meja tampak sunyi. Hanya dentingan pisau garpu dan piring yang terdengar samar hingga suara Rolland memecahkan kesunyian itu.
“Jadi kau berasal dari New York?” tanyanya dengan suara berat khas Rolland yang berwibawa.
“Sebenarnya saya lahir di Winconsin, Tuan, Namun, besar di New York dan saat ini saya bekerja di London,” jawabnya dengan menyelipkan gurauan di wajah datarnya yang saat ini sedikit menyunggingkan senyum.
Berusaha ramah untuk membalas perlakuan hangat keluarga tersebut. Bagaimanapun ia membawa nama besar perusahaan Vernon di pundaknya.
Rolland dan Camilla tertawa kecil di sela-sela makan mereka.
Vello tertegun menemukan senyum samar yang sempat singgah di wajah bodyguard tersebut. Pria itu juga bisa melempar gurauan? Dexter sungguh tak dapat ditebak. Jika pria itu memperbanyak sikap seperti tadi, mungkin dapat mengikis aura menyeramkan yang selalu menjadi bayangan gelap di setiap langkah bodyguard-nya tersebut.
“Jadi keluargamu saat ini berada di Winconsin?” Kini Camilla turut bergabung dalam obrolan.
Vello hanya mencuri pandangan interaksi kedua orang tuanya bersama Dexter di sela-sela kegiatan menikmati makanan di piringnya.
“Saya sudah tidak memiliki keluarga dan orang tua, Nyonya.”
“Oh Dexter maafkan aku.” Camilla mengusap lengan Dexter. Merasa ia telah salah menanyakan hal yang membawa kesedihan.
“Tak apa, Nyonya. Itu sudah berlangsung lama.”
“Sekarang kau memiliki kami sebagai keluarga di London.” Rolland menepuk bahu Dexter dengan hangat.
Dexter terdiam sesaat dengan khas wajah datarnya. Memandang Rolland dan Camilla secara bergantian.
“Terima kasih.”
***
Dexter menemukan Vello yang tengah sibuk mencuci bekas makan malam mereka di dapur. Ia cukup terkejut menemukan sang Nona muda, turun ke dapur untuk mencuci piring.
Vello sedikit tersentak ketika menemukan bodyguard tersebut sudah berdiri tak jauh darinya. Ia berdeham mengusir ketakutan yang lagi-lagi selalu muncul ketika ada pria itu. “Apa kau sedang membutuhkan sesuatu?” tanya Vello akhirnya.
“Saya tidak menemukan pelayan untuk meminta mereka membuatkan kopi jadi saya pikir untuk membuatnya sendiri di dapur.”
Vello mengangguk maklum. “Pekerjaan utama pelayan di sini hanya untuk membersihkan mansion, selebihnya kami melakukannya sendiri. Jadi wajar jika kau kesulitan menemukan mereka, terutama malam hari.” Vello meletakkan piring terakhir dan mengelap tangannya yang basah.
“Saya bisa membuatnya sendiri, Nona,” cegah Dexter ketika Vello mengambil cangkir dari salah satu lemari di atas kepala gadis itu.
“Aku juga ingin minum kopi. Jadi tak ada salahnya membuatkan untukmu juga. Kopi apa yang kau inginkan?” tunjuk Vello pada deretan kemasan berbagai jenis kopi di salah satu rak dekat mesin kopi.
Dexter memandang satu persatu jenis kopi tersebut. Banyak yang ia tidak ketahui. Membuatnya bingung. Selama ini yang sering ia minum hanya americano dan espresso.
“Apa kau ingin mencoba kopi luwak? Kudengar kopi itu cukup mahal dan Russell baru saja membawanya dari Indonesia. Aku ingin mencobanya.”
“Ya, kopi luwak ide yang bagus,” jawab Dexter asal.
Jika seperti ini, Vello menemukan sosok manusia normal dalam diri Dexter. Sungguh pria itu begitu membingungkan dan misterius.
***
“Bagaimana?” tanya Vello ketika keduanya masih berdiri di dapur sambil meminum kopi di cangkir mereka.
“Cukup enak,” jawabnya datar. Menyembunyikan rasa nikmat yang tak ia sangka baru saja memanjakan lidahnya.
Bibir kemerahan gadis berkacamata di depannya itu tertarik sempurna ke atas. Melukisnya senyum yang menerpa wajah datar Dexter.
Vello berbalik, meninggalkan ia di dapur. Dexter terus mengekori punggung itu dengan matanya hingga gadis itu menghilang dari jarak pandangnya. Sesaat kemudian Dexter menghela napas. Ia mengalihkan pandangan pada cangkir kopi di tangannya masih terus mengepul. Mengapa ia merasakan hal aneh pada dirinya ketika melihat bibir kemerahan tadi?
...To Be Continued...
Makasi banyak sudah baca chapter ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu ya. Segala info tentang karya dan visual bisa cek di IG @saltedcaramely_
