Bab 4: Hari Pertama
BLAAM!
Suara bantingan pintu terdengar sesaat setelah Vello memasuki kamar. Nuansa feminin dengan dominasi cat berwarna putih dan merah muda langsung menyambutnya.
Vello menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Mencengkeram bantal yang tak bersalah untuk melampiaskan amarahnya.
Ini benar-benar gila! Seorang bodyguard? Sungguh ia tak membutuhkannya. Setiap orang yang ada di sekitarnya pasti akan semakin mengambil jarak darinya bila ada seorang bodyguard yang mengikuti dirinya. Hidup kesepian seperti apa lagi yang akan didapatkan setelah ini?
Vello menggigit-gigit kukunya setelah mengusap wajah. Ia kembali mencengkeram bantal di sampingnya. Belum merasa puas, ia melempar bantal itu hingga terjatuh di dekat pintu.
Ia hanya membutuhkan seorang sahabat untuk berbagi cerita. Ia membutuhkan seorang sahabat yang akan meledeknya tiap kali ia bertingkah konyol atau berbagi rahasia yang hanya mereka ketahui. Seperti para sahabatnya dahulu di Spanyol.
Vello meringkuk memeluk lulutnya sendiri dengan tidur menyamping. Ia mencoba memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah mimpi belaka.
***
Bolos kuliah? Mustahil bagi seorang Vellonica. Pagi-pagi sekali ia sudah sibuk mengenakan pakaian, bersiap untuk berangkat ke kampus lebih pagi dari biasanya.
Dengan mengendap-ngendap ia keluar dari mansion. Beberapa kali mengisyaratkan para pelayan serta penjaga untuk menutup mulut mereka dan membiarkan Vello melenggang meninggalkan kediamannya.
Vello mendesah lega saat keluar dari taksi. Ia memandang pelataran kampus dengan bangga karena berhasil meloloskan diri. Entah mengapa pagi ini terasa begitu cerah. Ia melangkahkan kakinya dengan ringan menyusuri taman kampus menuju gedung jurusan.
Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti ketika seorang pria yang harusnya ia hindari tengah berdiri tak jauh darinya.
Pria itu berjalan mendekat. “Selamat pagi, Nona Vellonica.” Ia mengangguk hormat.
“Kau? Mengapa bisa ada di sini?” Vello tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya melihat pria berjas hitam itu.
“Saya sudah berada di dekat Anda sejak Anda keluar kamar,” jawabnya datar.
Apa-apaan ini? Vello tanpa sadar membuka mulutnya lebar. Baru saja tadi ia tersenyum bangga dan saat ini ia justru seperti orang bodoh. Jadi setelah keluar dari kamar pria itu sudah mengikutinya? Mengapa ia bisa tak menyadari hal itu? Vello merutuki kebodohannya sendiri. Saat ini ia benar-benar merasa konyol.
“Anda melewatkan sarapan, Nona. Nyonya Camilla menitipkan ini untuk Anda.” Dexter menyerahkan sebuah tas kanvas kecil berisi mealbox.
Bahkan ibunya sudah menyiapkan bekal? Ya Tuhan, pergerakannya sangat mudah terbaca ternyata. Vello menerima tas kecil itu dengan lesu.
“Silakan, Nona.” Dexter menyampingkan tubuhnya, memberi ruang pada Vello untuk lebih dahulu melangkah.
Pagi yang cerah? Pagi ini suram!
“Mr. Dexter, apakah kau tidak punya seragam lain selain jas hitam itu?” Langkahnya terhenti, berbalik menghadap Dexter setelah memperhatikan bahwa saat ini mereka menjadi pusat perhatian.
“Anda cukup memanggil saya Dexter, Nona dan maaf, saya tidak sedang membawa pakaian lain,” jawab Dexter setelah mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Menyadari penyebab rasa tidak nyaman pada Nona muda.
Lagi-lagi Vello mendesah lesu. Ia mengangguk. “Kalau begitu bisakah kau membuat jarak denganku? Kau bisa mengawasiku dari kejauhan,” ujar Vello berhati-hati. Takut menyinggung perasaan bodyguard-nya tersebut dan lagi, ia masih takut dengan aura pria itu.
“Maaf, saya tak bisa melakukan hal tersebut, Nona,” jawab Dexter tanpa berpikir, ringan dan datar. Seperti otaknya sudah dapat menebak bahwa sang nona muda akan meminta hal tersebut padanya sehingga ia telah menyiapkan jawaban.
Belum apa-apa Dexter sudah merasa pekerjaan ini begitu membosankan. Ia merindukan teriakan kesakitan korban yang berlumuran darah dari pada harus melihat gadis melankolis di depannya itu. Pekerjaannya benar-benar turun level.
Vello kembali mengangguk lesu. Ia memilih duduk di bangku taman kampus untuk menyantap sarapan yang diterimanya tadi. Lagi pula masih terlalu pagi untuk masuk kelas di jam pertamanya.
Ia melirik Dexter yang tengah tegap berdiri di samping tak jauh darinya. Mata pria itu begitu awas memperhatikan sekitar.
Lagi, Vello mendesah lesu. Ia membuka tas kanvas kecil di pangkuannya dan menemukan sebuah kertas kecil di dalamnya. Tanpa minat, ia membuka lipatan kertas itu.
[Maafkan aku Princesa. Cobalah sarapan yang kubuat untukmu. Nasi goreng, menu sarapan orang Indonesia.]
“Russell,” gumamnya pelan. Ia jadi teringat penolakan yang ia lemparkan pada kakaknya kemarin. Kini Vello menyesalinya, ia sadar Russell hanya berusaha melindunginya. Tak sepantasnya ia malah berkata kecewa pada Russell yang bahkan rela pulang ke London hanya untuknya.
“Dexter, apakah kau sempat bertemu Russell tadi?”
“Tentu, Nona, tetapi siang ini ia akan kembali ke Indonesia”
Vello mengangguk pelan. Mungkin setelah ini akan menelepon Russell untuk meminta maaf.
Tangan mungilnya melanjutkan membuka mealbox yang Russell sebut tadi berisi nasi goreng. Ia tersenyum kecil kemudian memulai makan.
Cukup lezat, batinnya. Lagi dan lagi, ia menyendokkan nasi goreng itu ke mulut kecilnya.
Namun, sarapan buatan Russell tak berhasil merubah suasana hatinya karena lagi-lagi ia mendapati orang-orang yang berlalu lalang tengah saling berbisik dengan memandang ke arahnya. Ia meletakkan sendoknya dan menutup mealbox dengan nasi goreng yang masih tersisa.
***
Mereka tengah berjalan menuju gedung jurusan ketika Vello berbalik badan secara tiba-tiba.
“Dexter, aku mohon. Ambillah jarak dariku.” Dengan mengumpulkan keberaniannya, Vello berusaha memandang manik hijau kecokelatan bodyguard tersebut.
Ia benci orang-orang semakin menjauhinya. Ia benci orang-orang semakin melempar pandangan aneh padanya.
“Maaf, Nona, ini sudah perintah dari Russell.”
Vello baru menyadari bahwa Dexter menyebut kakaknya tanpa embel-embel. Sedikit mengusik pikiran tetapi apa yang terjadi pada dirinya saat ini, ia rasa lebih penting untuk dibahas.
“Namun, bukankah saat ini tak ada Russell? Tolong, turuti keinginanku.”
Ia begitu takut pada Dexter hingga membuat Vello sangat berhati-hati memilih perkataan, meskipun di dalam hati ia sudah berteriak meronta.
Sungguh aneh ketika majikan justru takut pada bodyguard-nya sendiri. Namun begitulah kenyataan ketika Vello dihadapkan dengan bodyguard seperti Dexter yang justru memiliki aura dominasi dan intimidasi dari sorot matanya.
“Ini semua demi kebaikanmu, Nona,” jawab Dexter datar, lagi.
Vello rasanya ingin berteriak kencang saat ini juga. Kenapa sulit sekali orang lain untuk mengerti isi hatinya. Tak bisakah bodyguard tersebut menurutinya? Mengapa ia sebagai majikan justru yang memohon padanya?
BUGH!
Sebuah pukulan mendarat di perut. Mata Vello membulat sempurna. Terkejut oleh beberapa detik yang baru saja terjadi.
“Aaw!”
Bukan, itu bukan suara Dexter yang kesakitan karena pukulan yang Vello layangkan, tetapi suara Vello sendiri yang kesakitan memukul pria itu.
Vello mengibaskan tangannya ke udara sembari masih tak percaya dengan tubuhnya sendiri. Bagaimana bisa ia justru memukul pria itu? Dan lagi, terbuat dari apa perut bodyguard-nya tersebut? Sangat keras!
Dengan takut-takut Vello mencoba melihat bodyguard-nya tersebut. Ia yakin bahwa setelah ini tubuhnya akan mengeluarkan darah dengan sendirinya oleh tatapan menyeramkan Dexter.
Namun tidak, bodyguard tersebut justru memandang Vello dengan datar seakan tak ada hal apa pun yang baru saja terjadi.
“Apa tangan Nona baik-baik saja?” tanyanya kemudian. Tetap dengan wajah datar, tanpa ada jejak khawatir yang tak menggambarkan bentuk pertanyaannya.
“Bukankah kelas Anda akan segera dimulai, Nona?” Dexter melirik sesaat pada jam di pergelangan tangannya. “Saya akan menjaga jarak sesuai yang Anda mau,” putus Dexter akhirnya. Ia tak menyangka akan semelelahkan ini menghadapi seorang gadis. Benar-benar merepotkan.
Mata Vello berbinar seketika. Akhirnya permohonannya terpenuhi. “Terima kasih, Dexter.”
Vello kembali melanjutkan langkahnya dan sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan bodyguard-nya benar-benar mematuhi perintah untuk menjaga jarak darinya.
Ketika jarak mereka sudah sangat jauh, diam-diam Vello menyelinap di sela-sela para mahasiswa lain untuk kabur dari pandangan bodyguard datar yang menyeramkan itu.
Ia tersenyum ketika bodyguard itu sudah benar-benar tak terlihat. Ia bebas sekarang, tetapi tiba-tiba sebuah tangan menarik tubuh dan mendorongnya kasar hingga membentur loker.
PLAAK!
“Dasar jalang!”
Arabelle berteriak sambil menunjuk wajah Vello. Napas gadis itu memburu, siap meledakkan lagi amarahnya.
Vello yang masih terlampau kaget, belum dapat berkata-kata. Kali pertama yang ia rasakan adalah panas yang menjalar di pipi. Matanya mengerjap beberapa kali seakan memaksa otaknya untuk bergerak cepat merespons gadis di depannya.
“Kau! Beraninya gadis aneh sepertimu menggoda Kenneth! Apakah kau tak memiliki kaca?” Lagi, Arabelle menampar pipi Vello.
Arabelle menyeringai ketika mereka mulai menjadi tontonan. Justru itu yang ia harapkan. Semakin mempermalukan Vello karena rasa sakit hatinya.
“Aku tak pernah menggodanya.”
Arabelle menarik kerah baju Vello dan kembali membenturkan punggung itu ke loker.
BRAAK!
Gadis itu menahan tubuh Vello yang mulai memberontak dengan lengan bawahnya.
“Aku melihatmu kemarin bersamanya di lorong! Dasar jalang! Kau membuatnya pergi dariku!”
Vello sudah memejamkan matanya ketika tangan Arabelle sudah kembali melayang siap menamparnya, tetapi rasa panas di pipinya tak kunjung bertambah, Vello memberanikan membuka mata dan langsung terbelalak melihat Arabelle yang kini tengah tersungkur di lantai.
...To Be Continued...
Makasi banyak sudah baca chapter ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu ya. Segala info tentang karya dan visual bisa cek di IG @saltedcaramely_
