Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3: Kepulangan Kakak

Bisakah Vello meminjam kantong ajaib Doraemon untuk mengeluarkan ‘pintu ke mana’ saja? Pasti akan sangat melegakan karena ia bisa langsung memasuki ruang kuliah tanpa harus melalui orang-orang di kampus yang rasanya tak pernah lelah memandang dirinya seperti kuman yang harus segera menyingkir dari penglihatan mereka.

Sebenarnya kesalahan apa yang masih melekat pada dirinya? Ia sudah tak pernah lagi banyak bicara, ia juga tak melawan perlakuan buruk mereka. Lalu apa yang membuat mereka masih memandangnya seperti itu? Apakah baju yang ia kenakan selalu tampak kuno? Sehingga mereka begitu jijik melihat kehadirannya?

Sembari terus melangkah, Vello memperhatikan lagi pakaian yang sedang ia kenakan. Sepatu datar hitam, celana panjang jeans hitam, kemeja jeans biru yang ia padukan dengan sweater berwarna maroon. Rasanya tidak ada yang aneh.

Ia memang tak pernah mengenakan pakaian branded ataupun barang-barang mewah jika ke kampus. Ia hanya memakai pakaian sederhana. Baginya tak ada pentingnya memakai barang-barang mahal tersebut untuk ke kampus, tak akan berpengaruh dengan prestasi perkuliahannya. Bahkan ia lebih memilih menggunakan taksi ataupun kereta dari pada mengendarai Maserati yang justru bernasib terselimuti di garasi mansion, hingga membuat orang-orang tidak ada yang mengetahui bahwa Vello termasuk mahasiswa super kaya di kampusnya.

Vello mendesah, lebih baik ia terus belajar untuk tak peduli. Menebalkan hati dan menutup mata. Fokus pada perkuliahannya kemudian mewujudkan mimpinya untuk menjadi dokter anak.

Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika sesuatu menabrak dan dadanya terasa langsung basah.

“Oh ya Tuhan, maafkan aku.”

Perempuan yang Vello yakini sebagai pelaku utama yang telah sengaja menumpahkan jus kemasan ke bajunya itu terkekeh mengejek.

Vello menarik napas dalam. Ia tertunduk, tetapi Vello tak dapat menyembunyikan kepalan tangannya karena begitu geram bercampur nyeri di dadanya.

Perempuan itu melirik kedua tangan Vello yang terkepal di bawah sana. Ia tersenyum miring.

“Apakah kau akan marah?” Ia mencengkeram kedua pipi Vello dengan ibu jari dan telunjuknya. “Sebelum kau marah, segeralah menyingkir dengan tubuhmu yang bau jus itu! Ewh!” Ia segera berlalu setelah menatap jijik pada hasil karyanya sendiri.

“Kasihan sekali,” ejek salah satu teman perempuan itu yang sempat menarik rambut Vello hingga ikatan rambutnya terlepas. Vello memekik kesakitan dan perempuan itu berlalu begitu saja tanpa rasa bersalah.

Seperti hari-hari biasanya, ia menjadi tontonan yang menghibur bagi orang-orang di sekitarnya. Tawa mereka begitu lepas. Lagi, Vello menarik napas panjang. Ia harus selalu menambah kesabarannya. Dada Vello terasa sesak. Sampai kapan ia harus mendapatkan perlakuan seperti itu?

Vello mengikat lagi rambutnya secara asal sembari berlari sejauh mungkin dari pandangan orang-orang. Ia harus kuat. Seorang dokter harus memiliki mental baja.

Mengesampingkan rasa sakit hati dari perlakuan salah satu temannya tadi, ia kembali teringat oleh kelas perkuliahannya. Ia harus segera melepas sweaternya dan mengejar kelas yang lima menit lagi akan segera dimulai.

Terlalu jauh jika ia harus berlari ke toilet yang berada di ujung gedung. Vello akhirnya memutuskan untuk menghentikan langkahnya di lorong sepi. Ia cukup melepaskan sweaternya dengan cepat, tidak perlu ke toilet karena ia masih mengenakan kemeja, tidak telanjang. Vello mengangguk meyakinkan dirinya sendiri.

Ia segera melepas tas ranselnya lalu menarik ujung sweaternya ke atas.

“Wow!” seru seorang pria yang terdengar di ujung sana.

Kening Vello berkerut heran. Ia ingin melihat siapa pria itu tetapi kenapa sweaternya sangat susah dilepaskan. Ia tak bisa melihat apa pun, sweater itu menggantung menutupi kepalanya. Vello semakin heran karena ia merasakan embusan angin yang menyentuh halus perutnya.

“O Dios Mio! Apa kemejaku ikut terangkat?” gumamnya panik.

“Yeah, tepat sekali,” jawab pria itu terkekeh geli yang sepertinya sudah berada tak jauh darinya karena suara itu begitu dekat. “Let me help you.”

Segera saja ia membantu menurunkan kemeja yang menggantung ke atas itu setelah beberapa kali mengerjapkan mata karena melihat jelas dada padat yang bersembunyi di balik bra hitam berenda milik perempuan itu. Namun, untungnya ia dapat menguasai diri dan segera melanjutkan membantu meloloskan sweater maroon yang menghalangi pandangan salah satu teman kuliahnya tersebut.

“Kenneth!” Mata Vello membulat sempurna seakan hendak lepas saat itu juga ketika melihat pria yang telah membantunya adalah kekasih khayalannya. Wajah itu seketika memerah seperti kepiting rebus. Mau ia buang ke mana wajahnya kini?

“Yeah it’s me,” jawab Kenneth kembali tertawa geli melihat wajah memerah Vello. “Apakah kau berharap orang lain yang melihatnya?”

“Tidak, tentu saja tidak!”

“Jadi kau mengharapkan aku yang melihatnya?”

“Tentu, maksudku tentu saja tidak!” Vello merutuki bibirnya yang keseleo dalam berucap.

Kenneth dengan susah payah melipat bibirnya untuk menahan tawa yang sudah ingin meledak melihat salah tingkah perempuan itu yang begitu polos.

“Terima kasih kau sudah membantuku.” Vello membenarkan kacamatanya yang sedikit turun ke ujung hidung menggunakan telunjuk.

“Dan maaf kau sudah melihatnya,” imbuhnya dengan mengecilkan suara di kata-kata terakhir. Ia tertunduk tak sanggup menatap pria itu.

Dengan cepat kaki mungil itu membantu Vello segera berlari menyelamatkan diri dari rasa malu yang sudah menguliti wajahnya.

***

Gesekan sepatu kets yang beradu dengan lantai mansion membawa Vello semakin memasuki kediamannya dengan bergandengan bersama suasana buruk hatinya. Masih teringat jelas kejadian memalukan tadi pagi.

Ya ampun, mengapa ingatan itu terus mengejek dirinya? Kejadian itu benar-benar hal terburuk yang pernah ia alami dibandingkan hal buruk yang selalu diterimanya tiap hari dari orang-orang yang membullynya.

Demi Tuhan, kejadian itu seperti sebuah vacum cleaner yang menyedot habis mukanya di depan Kenneth. Tadi ia cukup bernapas lega karena setidaknya Vello tidak memiliki jam mata kuliah yang sama dengan Kenneth tetapi ia bersumpah tidak akan pernah berani bertatapan dengan Kenneth setelah ini.

Seketika mata Vello berbinar saat melihat punggung pria yang sudah sangat ia kenali sedang duduk di taman mansion membelakangi dirinya.

“Russell!!” Seakan mendapat suntikan energi, Vello berteriak sambil berlari.

Pria di bangku taman itu segera berdiri dan menoleh melihat adiknya yang tengah berlari ke arahnya.

Russell tersenyum lebar sembari merentangkan kedua tangan dengan lebar dan segera disambut oleh Vello yang berhambur kepelukannya.

“Te extraño tanto, Princesa (Aku sangat merindukanmu, Putri.)”

“Yo también te extraño. (Aku juga merindukanmu).”

Russell terkekeh setiap kali adik yang memiliki selisih umur cukup jauh itu membalas panggilannya dengan begitu riang.

Bagi Vello, Russell adalah kesatria di dalam keluarga, terutama dirinya. Russell adalah seorang kakak yang begitu dewasa, melindungi dan selalu sekuat tenaga untuk membahagiakan adik beserta kedua orang tuanya.

Russell adalah orang pertama yang selalu memeluknya dengan erat ketika ia bersedih saat ia kecil. Tentu saja kenangan masa kecilnya itu begitu melekat karena ketika Russell berusia dua puluh tahun, kakaknya memutuskan untuk masuk universitas di Inggris, meninggalkan Vello yang saat itu masih berusia sepuluh tahun, tetapi jarak antar negara tidak pernah memisahkan mereka. Bahkan sampai saat di usia Vello yang menginjak dua puluh tahun ini, ia adalah orang yang hampir setiap hari dihubungi oleh Russell dibanding kedua orang tuanya.

“Apakah kau membawakan sesuatu untukku dari Indonesia?” tanya Vello antusias sambil bergelayut manja memeluk lengan Russell.

Kapan lagi ia bisa bermanja-manja dan berekspresi dengan bebas pada seseorang? Terlebih Russell adalah kakaknya yang jarang pulang menemui keluarga.

Sudah hampir enam bulan ini kakaknya berada di Indonesia. Kabarnya ia akan menambah cabang restoran serta mendirikan perusahaan di sana. Namun, tidak biasanya ia selama itu menetap di sebuah negara. Vello cukup penasaran, mungkin ia bisa menggalinya nanti.

“Tentu saja, Princesa. Aku membawakanmu kopi luwak dan kopi Toraja.”

Russell memang sangat mengetahui bahwa Vello adalah penikmat kopi. Buku dan kopi adalah sahabat baiknya.

“Kau memang yang terbaik!” Vello langsung berjinjit memberi kecupan di pipi kakaknya. Russell terkekeh gemas dengan perlakuan Vello.

“Tunggu dahulu, kau tidak membawakan mie instan yang sudah ku pesan itu?” Bibir Vello mencebik mengingat Russell tidak menyebutkan pesanannya.

Russell mendesah dan mencoba memberi penjelasan. “Mie instan tidak baik untuk kesehatan, Princesa.”

“Tetapi hampir semua youtuber kuliner me-review mie itu, Rush! Aku sudah mati penasaran ingin mencobanya. Kau menyebalkan!” Vello langsung menyentak lengan pria itu.

Russell langsung memutar bola matanya. Adik kecilnya mulai merajuk. Ia langsung mengapit leher Vello dengan sikunya dan mengacak rambut adiknya itu hingga berantakan.

“Rush! Hentikan!” Vello berteriak memohon ampun pada Russell yang mulai menggelitik pinggangnya.

Tawa mereka menggema. Vello meronta dan langsung berlari menghindar dari kejaran Russell hingga tubuh Vello menabrak sang ayah.

“Apa kalian tidak malu dengan umur? Kekanakan,” tegur Rolland tegas.

“Kami masih muda, Padre! (Ayah!),” jawab kakak beradik itu kompak.

Camilla yang berada di samping suaminya langsung berdecap serta memutar bola matanya.

Setelah mengembuskan napas berat, Rolland beralih memandang pada anak lelakinya yang tengah terengah mengatur napas setelah berlarian mengejar Vello. “Apakah kau sudah memberitahukan tentang hal itu pada Vello?”

“Memberitahukan tentang apa, Rush?”

Vello merasa ada hal serius yang belum kakaknya sampaikan. Ia berharap hal itu bukan tentang bullying yang terjadi. Demi Tuhan, ia sudah belajar tak peduli tentang itu. Ia tak ingin keluarganya merasa terbebani dengan yang dialaminya tersebut.

“Mandi dan gantilah bajumu terlebih dahulu, Princesa. Kita akan membicarakannya setelah ini.” Russell mengusap rambut Vello dengan lembut sebelum akhirnya Vello mengangguk kemudian menaiki tangga menuju kamar

***

“Jadi?”

Vello sudah duduk di depan Russell, menanti pembicaraan yang sudah membuatnya penasaran selama mandi tadi. Tak jauh dari mereka, kedua orang tuanya tengah duduk sambil menikmati secangkir teh di tangan mereka.

Russell menghela napas berat sebelum akhirnya ia mengambil duduk di samping adiknya yang tengah bersedekap tak sabar.

“Aku sudah mendengar semua dari, Madre. Kenapa kau tak pernah menceritakan hal seberat itu padaku, hm?”

Vello menggeleng lesu. Tebakannya benar. Ini semua tentang kasus bullying yang selalu ia sembunyikan dari Russell. Jadi karena itu Russell memilih segera pulang? Vello tertunduk.

“Kau tahu aku tak akan pernah membiarkan hal itu terjadi pada adikku, bukan? Jika kau bercerita lebih awal padaku, hal seperti ini bisa kita cegah.” Russell mengelus rambut Vello penuh sayang. Ia melirik pada luka lebam di lengan adiknya yang sudah sedikit memudar.

“Sudahlah, Rush. Aku sudah terbiasa mengalaminya. Aku baik-baik saja. Mereka tak ada yang benar-benar serius mencelakaiku.”

“Tak serius mencelakaimu bagaimana?!” bentak Camilla yang sedari tadi sudah menahan diri untuk tidak ikut bicara.

Ibu mana yang dapat terbiasa melihat hari-hari anak gadisnya selalu dicelakai teman-teman kampusnya sendiri.

“Tuan Nyonya, maaf saya menyela. Tamu Anda sudah tiba,” ujar seorang pelayan wanita yang baru saja datang dengan wajah tertunduk karena merasa kurang sopan menyela pembicaraan keluarga tersebut.

“Persilakan ia masuk dan bergabung bersama kami,” jawab Russell dengan sedikit melirik ke arah Vello.

Pelayan itu mengangguk patuh dan segera meninggalkan mereka untuk menjemput tamu yang sudah menunggu di depan pintu utama mansion.

Russell hanya memandang Vello tanpa niat menjawab tatapan tanya dari sang adik.

Tak berselang lama, pelayan itu kembali dengan seorang pria muda dengan setelan jas hitam di sampingnya.

Vello memperhatikan pria yang tampaknya seusia dengan kakaknya itu dari bawah hingga atas.

Ia bergidik ngeri dengan wajah datar yang cenderung dingin itu. Mungkin untuk seukuran pria dewasa, ia dapat terbilang cukup tampan dengan rahang tegas yang ditumbuhi rambut-rambut halus, membuatnya terkesan begitu maskulin serta alis tebal dan rambut brunette yang tertata rapi. Belum lagi tubuh tegap berotot yang bersembunyi di balik jasnya itu, jika Vello wanita dewasa, mungkin ia akan terpana. Ditambah jas hitam yang pria itu kenakan tampak mahal yang mengesankan bahwa pria depannya itu adalah pria dengan profesionalitas tinggi dan tidak sembarang.

Manik Vello bertabrakan dengan mata tajam berwarna hijau dengan bagian iris dalam yang berwarna kecokelatan. Entah mengapa, lingkaran pria itu mengeluarkan aura kegelapan yang seketika menyergap Vello. Bola mata itu seakan menariknya memasuki lorong gelap panjang yang tak berujung. Hanya dengan memandangnya, Vello dapat merasakan aura dominan dan intimidasi. Benar-benar pria yang menakutkan.

Pria itu mengangguk memberi salam hormat pada orang-orang di depannya.

“Selamat datang di rumah kami, Mr. Dexter.” Rolland berdiri menyambut. Keduanya bersalaman dan Rolland menepuk pundak pria itu dengan hangat.

“Terima kasih Mr. Shawn”

“Semoga kau betah di rumah kami.” Camilla turut menyambut dan memberi pelukan pada Dexter yang langsung menegang karena mendapat perlakuan tak terduga dari wanita paruh baya tersebut.

“Tentu saja Mrs. Shawn. Terima kasih kau telah berbaik hati mengizinkan saya tinggal di sini.”

“Tentu aku sangat senang ada anggota baru di rumah ini.” Camilla tersenyum hangat dengan mengusap pelan kedua lengan Dexter.

“Tunggu, kenapa pria ini harus tinggal di sini?” Vello yang sedari tadi bingung menyaksikan kedua orang tuanya menyambut pria menyeramkan itu akhirnya melontarkan rasa penasarannya.

“Vello, bersikaplah sopan,” ujar Rolland mengingatkan dengan suara beratnya.

Kembali, mata Vello dan Dexter bertemu tetapi kini Vello lebih cepat memutus pandangannya sebelum ia tersesat dan tak dapat kembali.

“Mr. Dexter perkenalkan dia adalah Vellonica adikku dan Vello, dia adalah Mr. Dexter. Bodyguard yang mendampingimu ke mana pun mulai besok,” ujar Russell dengan menyentuh lengan Dexter dan tangan lainnya terbentang mengarah pada adiknya.

“Nona Vellonica.” Dexter mengangguk pelan memberi salam hormat.

“Bo-bodyguard? Kenapa aku harus memiliki bodyguard?” Vello memandang Russell dan pria bernama Dexter itu secara bergantian.

“Mr. Dexter akan melindungimu dari perilaku kejam teman-temanmu di kampus, Querida (Sayangku),” tutur Camilla dengan lembut.

Vello langsung beralih menatap Russell. “Kau yang memiliki ide itu?”

“Maaf. Aku tak bisa membiarkan orang lain terus menyakitimu, Princesa.”

Vello memejamkan mata rapat-rapat sebelum akhirnya berkata dengan lirih. Sarat akan permohonan pada sang kakak yang begitu ia segani. “Demi Tuhan, Rush. Aku lebih butuh seorang sahabat dari pada seorang bodyguard.” Ia sekilas memandang wajah datar Dexter. Rasanya Vello ingin menjerit saat ini juga.

“Vello, ini untuk kebaikanmu,” bujuk Rolland.

Vello kini hanya mampu tertunduk meskipun hatinya telah berteriak mendobrak dada.

Dexter hanya diam dengan wajah datar menyaksikan drama keluarga dengan seorang gadis melankolis. Di dalam hati ia tertawa memandang remeh gadis yang kini menyembunyikan wajah dengan memilih memandang ubin marmer di bawah kakinya.

“Jika ada jasa yang menyewakan sahabat, tentu saja aku sudah melakukannya. Namun, apakah sahabat dapat melindungimu dari perilaku buruk orang-orang itu?” Russell mencoba menjelaskan. Ia begitu nelangsa mengetahui fakta lingkungan adiknya.

“Aku tak ingin ada bodyguard!” Vello memandang Russell dengan sedikit meninggikan suara untuk mempertegas ketidaksetujuannya. Namun, matanya tak berani sedikit pun melirik pada pria yang akan menjadi bodyguard-nya tersebut. Terdapat perasaan tak enak hati karena menolak jasa pria itu secara terang-terang di depan orangnya langsung, tetapi tak ada upaya lain. Ia sungguh tak ingin memiliki bodyguard.

“Ini bukan penawaran yang bisa kau pilih, Princesa.”

Kembali Vello memejamkan mata untuk menahan segala gemuruh di dadanya. Ia kembali berkata dengan tegas, “Terserah apa katamu, Rush. Namun, aku jelas tak akan pergi ke kampus dengan seorang bodyguard.”

“Aku kecewa padamu,” tambah Vello akhirnya, sebelum ia berlari menaiki tangga menuju kamarnya.

Russell mengembuskan napas berat menatap sedih punggung adiknya yang sudah menjauh.

“Kau tetap menjalankan tugasmu mulai besok Mr. Dexter.” Pandangannya beralih pada pria di sampingnya.

“Baik, Mr. Shawn. Namun, jika Tuan, Nyonya dan Anda berkenan, Anda cukup memanggil saya Dexter.”

“Kalau begitu panggil aku Russell. Bukankah kau hanya lebih tua satu tahun dariku?”

Russell tersenyum kecil sambil menepuk bahu Dexter untuk mencairkan kekakuan di antara mereka. Kedua orang tuanya mengangguk, turut menyetujui.

“Aku rasa pelayan sudah kopermu tadi bukan? Ayo, aku akan mengantarmu menuju kamar yang akan menjadi tempat ostirahatmu selama ini. Letaknya tidak jauh dengan kamar Vello. Jadi akan memudahkanmu menjaganya selagi kami tak berada di rumah.” Camila tersenyum ramah yang disambut anggukan pelan oleh Dexter dan segera menyusul nyonya itu dari belakang.

Pertemuan pertama dengan sang nona sudah membuat Dexter tak berselera. Nona manja penuh drama. Bisakah ia bertahan untuk menjadi bodyguard gadis itu?

...To Be Continued...

Makasi banyak sudah baca chapter ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu ya. Segala info tentang karya dan visual bisa cek di IG @saltedcaramely_

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel