Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2: Pistol

DOR!! DOR!! DOR!!

Suara tembakan saling bersahutan dalam dinginnya dinding gedung terbengkalai di sudut kota Virginia.

“Ia hanya membawa dua puluh orang untuk menyambutku? Apakah ia sedang mencoba meremehkanku?” gumam seorang pria dengan balutan jaket kulit berwarna hitam serta celana senada yang tengah bersembunyi di balik pilar untuk sementara waktu, sedang tangannya sibuk mengisi kembali pelurunya.

Bibirnya berdecap dan sesaat kemudian seringai kejinya terbit seiring peluru kembali melesat dari desert eagle miliknya. Menumbangkan satu persatu pria berjas hitam bersenjata yang terlambat menekan trigger pistolnya.

Tak ada peluru yang terbuang percuma. Semua tembakannya tepat mengenai sasaran dada ataupun kepala para musuhnya hingga menyisakan satu pria paruh baya yang saat ini tengah berjalan mundur ketakutan menatap seringai bengis pria di depannya.

“To-tolong, ja-jangan bunuh aku.”

“Maaf kau bicara apa? Aku tidak bisa mendengar jelas suara gagapmu itu,” tanyanya berpura-pura mendekatkan telinga.

“Ja-jangan bunuh aku. Tolong.”

Kucuran keringat dingin sudah membasahi wajah yang kini tampak semakin pucat seiring dengan langkah pria di depannya yang kian dekat.

Pria bermata hijau kecokelatan itu terkekeh yang justru terdengar seperti nyanyian iblis di bawah pendengaran pria paruh baya itu.

“Kalau begitu memohonlah lagi padaku.”

“Tolong jangan bunuh aku.”

Pria itu berlutut dengan penuh rasa takut berharap ada sedikit iba yang menyentuh pria muda di depannya.

DOR!

Teriakan kesakitan memecah kegelapan malam. Pria paruh baya itu terduduk seraya menahan sakit di pahanya.

“Oh, maafkan aku. Pistolku tak sengaja menembakmu,” ujarnya dengan nada menyesal yang sangat berbeda dengan senyuman kebahagiaan yang terbit sesudahnya.

“A-aku akan berikan apa pun padamu. To-tolong jangan bunuh aku,” katanya terbata menahan luka.

Pria muda itu memiringkan wajahnya, menikmati setiap inci ketakutan yang tergambar di wajah pria di depannya. Ia menyalakan rokok yang baru diambilnya dari saku celana.

“Benarkah? Apa yang bisa kau tawarkan padaku?” Dihisapnya rokok itu sekali kemudian dipandangnya sesaat.

Ia sedikit berjongkok. Menekan puntung rokok yang menyala itu kepada luka tembak di paha yang baru tadi ia ciptakan. Segera saja teriakan kesakitan kembali terdengar dan itu sangat merdu di telinga pria berjaket hitam itu.

Belum merasa puas, ia kembali berdiri tegak. Membuang puntung rokoknya asal. Dengan sengaja ia menekan luka tembak di paha pria itu dengan sepatu hitamnya dan teriakan kembali menyambut pendengarannya yang mungkin menyayat hati pada setiap orang yang mendengar namun tidak baginya. Sangat menyenangkan.

Ia selalu menyukai teriakan dan kesakitan dari setiap orang yang menjadi targetnya. Sedikit bermain-main dengan mereka sebelum ia melangkahi tangan Tuhan untuk mempercepat ajal para targetnya adalah hiburan tersendiri baginya.

“Uang? Aku memiliki banyak uang untukmu.”

“Bagaimana bila aku meminta yang lain saja?” tanyanya santai tak berminat dengan melirik jam di pergelangan tangannya seakan perbincangan mereka hanya sebuah obrolan ringan di sore hari.

“Apa yang kau minta?” Udara serasa tercekat di dadanya seiring sakit pada luka yang terus menguar di sekujur pahanya.

Pria berambut brunette itu berjongkok, menyetarakan tinggi dengan pria berbadan tambun yang sudah terduduk lemah. Ia menyeringai. Sangat menyukai wajah korbannya yang semakin memucat seiring darah yang terus mengucur pada luka tembaknya.

Ia mengeluarkan sebuah pisau dari balik celananya. Memperlihatkan benda tajam itu di depan wajah korban yang kini terbelalak tak sanggup bila benda itu turut mengoyak tubuhnya.

“Aku ingin kau menyampaikan salam pada kawan lamaku. Lucifer di neraka.”

Ia menyeringai lebar dan seiring dengan itu pisau langsung menancap dalam menembus rahang hingga dinding mulut pria paruh baya itu. Darah memercik ke sekitar termasuk pakaian pria muda tersebut.

“Terima kasih sudah menghiburku, Pak Tua.”

***

“Mr. Quinton sudah menunggumu di dalam.”

Pria berjaket kulit hitam itu hanya mengangguk sekilas pada salah satu rekan berjas hitam yang tengah berjaga di sisi pintu.

“Mr. Quinton.” Sapanya setelah memasuki ruangan dengan furnitur kayu klasik mewah yang dapat dengan jelas menyuarakan seberapa berkuasanya pemilik ruangan tersebut.

Kursi dengan punggung tinggi itu tengah menghadap kaca lebar yang menyuguhkan pemandangan kota New York, kini berputar, menampilkan pria tua berambut dan jenggot putih yang menghiasi wajah yang berangsur keriput. Namun, tubuh gagah dengan lekukan otot di tubuhnya masih jelas tercetak di kemeja putih dengan tiga kancing teratas yang dibiarkan terbuka, hingga menampakkan bulu halus dadanya serta lengan baju yang ia gulung hingga siku, menunjukkan hiasan tato di sepanjang lengan berototnya.

“Duduklah, Dexter.” Jemari yang tengah mengapit cerutu itu memberi kode untuk mempersilakan pria muda di depannya untuk duduk.

“Terima kasih, Sir.”

Ia mengibaskan tangan di depan wajah dengan malas. “Sudah berulang kali kubilang, panggil aku Vernon jika hanya kita berdua.”

Dexter menarik ujung bibirnya hampir tak terlihat. “Maafkan aku.”

“Kudengar kau sudah menyelesaikan tugas dari klien kita kemarin?”

“Ya, aku sudah melenyapkannya,” jawabnya datar.

Vernon tertawa bangga. “Kau memang selalu bergerak rapi dan cepat.”

Dexter hanya memandang datar atasannya. Ia menunggu basa basi yang sedang berlangsung ini untuk segera berakhir. Tidak mungkin ia dipanggil hanya untuk mendengar pujian dari seorang Vernon Quinton.

“Kau adalah salah satu senjata andalanku. Apakah kau tahu itu?” Vernon menyesap cerutunya penuh nikmat.

“Terima kasih, Vernon.”

“Kau berhak mendapatkan cuti. Tenang saja kau tetap mendapat bayaranmu.”

“Apa maksudmu?”

“Kau bukan benda. Meskipun kau adalah senjata unggulanku, tetapi kau tetap manusia. Kau butuh merenggangkan ototmu untuk siap menerima misi dari klien selanjutnya.”

Vernon Quinton merupakan pemilik dari perusahaan swasta terbesar di Amerika Serikat yang menyediakan jasa keamanan berupa alat hingga bodyguard untuk lingkup pribadi maupun corporate dan juga beberapa perusahaan dalam bidang pertambangan serta perhotelan.

Namun, tidak banyak pihak yang tahu jika perusahaan milik Vernon juga bergerak di bawah tanah dalam menyediakan jasa pembunuh bayaran. Pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh Dexter dan beberapa rekannya.

Vernon mengeluarkan sebuah paspor dari laci mejanya. Meletakan di atas meja dan mendorongnya dengan kedua jari ke arah Dexter. Terdapat tiket pesawat yang terselip di dalam paspor tersebut.

“Lusa, kau akan menjalankan tugas sebagai bodyguard di London. Kau hanya akan menjaga seorang nona muda di sana. Pergunakan waktumu dengan baik,” ujar Vernon setelah kembali menyesap cerutunya dan menopang siku pada bagian tangan kursi.

“Aku akan menghubungimu saat misi selanjutnya telah dating,” imbuhnya mengakhiri pembicaraan dengan memberi kode dengan dagunya.

Dexter berdiri mengangguk hormat setelah mengambil paspornya. Ia segera berlalu meninggalkan ruangan Vernon dengan langkah tegap tanpa ada yang tahu bahwa terdapat gemuruh di dadanya ketika mendapatkan kabar tersebut.

Ia mengumpat seiring dengan langkah lebarnya meninggalkan gedung perusahaan Vernon. Cuti? Menjadi seorang bodyguard? Apakah Vernon mulai meragukan kemampuan kerjanya sehingga ia menurunkan job desc untuknya dan harus menerima pekerjaan rendahan seperti itu?

Ia kembali mengumpat karena tak ada yang bisa ia lakukan selain menjalankan perintah itu. Ia terlalu menyegani Vernon untuk sekadar membantah perintahnya.

Dexter mendesah pasrah. Ia kembali menekankan dalam dirinya untuk sabar menunggu misi selanjutnya sesuai janji Vernon.

...To Be Continued...

Makasi banyak sudah baca chapter ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu ya. Segala info tentang karya dan visual bisa cek di IG @saltedcaramely_

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel